Kamis, 05 April 2012

KKAEJIN MAEMEURO "PATAH HATI"

Aku dan Choi Jin Wook duduk di atas tribun deretan paling atas di gedung Istora Gelora Bung Karno. Duduk santai di kursi berwarna biru yang berjajar rapi. Berhadapan langsung dengan panggung utama.
Satu dua orang bertebaran di kursi-kursi itu dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang membaca buku, ada yang menatap panggung utama, ada yang sedang makan camilan. Ada yang duduk melamun dangan tatapan kosong jauh ke depan. Ada pula yang sedang asyik mengupil.
Aku menatap hilir mudik pengunjung pameran book fair di bawah sana. Lalu beralih menatap panggung utama. Seorang penulis novel terkenal sedang mengadakan bedah buku. Dikerumuni oleh para penggemarnya. Takjim mendengarkan penuturan sang novelis. Tentang ide cerita novel yang telah dia buat.
”Eotteohkaji, Kang Dey? (Apa yang harus aku lakukan, Kang Dey)”
Jin Wook memutus pengembaraan mataku. Aku beralih menatap mata kecil dengan kelopak mata tunggal itu. Mata itu terlihat muram.
Ia baru saja putus dengan pacarnya. Dan ia masih belum bisa menerima kenyataan. Akan kandasnya hubungan percintaannya.
”Keumanhae (Sudahlah). Lupakan saja dia. Dunia ini kan tidak selebar daun talas, Jin Wook”
”Tapi dia itu cinta pertamaku, Kang. Sulit melupakan dia begitu saja. Aku juga ingin melupakannya. Tapi aku tidak bisa. Andweyo, Kang Dey (Tidak bisa, Kang Dey)”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan wajah nelangsa.
”Bukan tidak bisa, Jin Wook. Tapi belum. Dengan berlalunya waktu, aku yakin. Kamu akan bisa melupakannya”
”Algo ittneundeyo. Eojol su ebseoyo (Aku tahu sih. Tapi, tidak ada cara lain). Untuk saat ini aku masih belum bisa melupakannya”
Choi Jin Wook tertunduk. Kedua tangannya meremas-remas rambut gondrongnya. Terlihat frustasi sekali.
Aku mengenal cowok Korea ini secara tak sengaja.
Setahun yang lalu, aku hendak ke book fair. Saat busway transit di Harmoni. Aku bergabung dengan antrian panjang ke arah Senayan.
Tiba-tiba saja seseorang dibelakangku mendorong tubuhku hingga aku nyaris terjerembab jatuh. Untung saja, seorang Bapak di depanku sigap menahan tubuh olengku.
”Aissshhh, cinca!”
Aku mendesis. Tanpa sadar aku menggunakan kosa kata bahasa Korea. Kata-kata itu sering digunakan dalam drama Korea yang aku tonton. Saat orang sedang kesal karena suatu hal.
”Mianhae. Mianatahaeyo (Maaf. Maafkan saya)”
Aku menoleh. Melihat seorang cowok seusia denganku. Memiliki wajah menyanjung dengan tulang pipi tinggi atau persegi dan mata kecil dengan kelopak mata tunggal. Tipikal orang Korea.
Berulangkali menundukkan kepalanya. Meminta maaf padaku.
Ia tak sengaja. Ada dorongan kuat dari arah belakangnya sehingga dia merangsek ke arahku. Dan aku pun terdorong.
Ia menjelaskan. Wajahnya penuh penyesalan.
”Gwaenchanayo. (Ya, sudah. Tak apa-apa)”
Aku beranikan diri menggunakan bahasa Koreaku yang belum fasih. Setelah yakin bahwa cowok itu orang Korea. Lumayan, bisa mempraktekkan bahasa yang aku gemari itu. Meskipun badanku jadi panas dingin karenanya.
Selama ini aku ingin sekali mempraktekkannya, tapi tak ada lawan untuk kuajak bicara. Jadi seringnya berbicara sendirian seperti orang gila.
”Wa, neoneun hanggugeoreul malhal su itgunyo? (Kamu bisa berbahasa Korea rupanya)”
Ia terlihat girang.
”Ne, geurojiman geureoke jal haji mothaesseoyo (Bisa, tapi nggak terlalu fasih menggunakannya)”
Dan kami pun berkenalan.
Namanya Choi Jin Wook. Ia orang Korea yang sudah lama menetap di Indonesia.
”Kang Dey...”
Panggilan itu menyadarkanku yang tenggelam dalam arus lamunan. Mengingat awal kami berkenalan.
Aku tersenyum. Menutupi malu karena ketahuan sedang melamun.
”Mian (Maaf) Museun irindeyo? (Ada apa?) Malhae bwayo (Katakan saja)”
”Eotteohkaji? (Apa yang harus aku lakukan?)”
Ini kedua kalinya ia mengatakan kata-kata itu dengan wajah memelas. Tak bergairah. Seolah hidup segan, mati pun tak mau.
Aku menghela nafas perlahan.
”Saat kamu memutuskan untuk jatuh cinta pada seseorang. Seharusnya sejak awal kamu harus sudah siap dengan resiko yang akan kamu tanggung. Salah satunya yaitu putus cinta. Dengan mengetahui resiko apa saja yang akan kamu hadapi kelak. Kamu pasti tidak akan terlalu sakit hati apalagi sampai frustasi seperti sekarang ini. Hanya karena dia memutuskanmu dan pergi meninggalkanmu”
”Keuraeso, naega calmothaeso? (Jadi, aku yang salah?)”
”Aku tidak menyalahkanmu, Jin Wook. Aku hanya mengatakan bahwa dalam hidup ini. Apa pun yang kita lakukan pasti ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Apapun itu. Jadi, saat kamu memutuskan berpacaran, kamu harus siap dengan resiko putus. Saat kamu memutuskan sendiri, tanpa pasangan, kamu juga harus siap dengan ucapan orang lain pada kamu. Misalnya dibilang tidak laku. Atau jomblo karatan. Atau bujang lapuk. Dan lain sebagainya. Itu maksud dari ucapanku”
”Nan ihae haesseo (Aku sudah mengerti)”
Choi jin Wook menjawab lirih. Nyaris seperti bisikan.
Kita memang tidak bisa menganggap putus cinta itu hal yang sepele. Bagaimana bisa disebut sepele, kalau gara-gara putus cinta ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Berita itu begitu marak menghiasi pemberitaan di televisi akhir-akhir ini.
Dan melihat kondisi sahabatku ini. Aku jadi khawatir. Khawatir dia melakukan hal-hal gila. Dan diluar dugaan.
”Apa yang membuat kalian putus?”
Aku mulai mengorek keterangan darinya.
“Dia jatuh cinta pada orang lain”
“Mengapa dia jatuh cinta pada orang lain?”
“Mungkin karena aku dinilai tidak pantas berdampingan dengannya”
“Kalau itu alasannya. Mengapa tidak dari awal saja”
”Mungkin, dia hanya ingin coba-coba saja denganku”
”Kata lainnya adalah mempermainkanmu, begitu?”
”Geureon geot gathayo (Sepertinya begitu)”
”Kamu yakin dengan hal itu?”
”Aku juga tidak yakin, Kang”
” Keuttae (Lalu?)”
“Mungkin dia bosan padaku, Kang”
“Jawabanmu selalu mungkin dan mungkin. Itu artinya sesuatu yang belum pasti. Hanya praduga semata. Mengapa kamu tak bertanya langsung padanya. Kenapa kau putuskan aku? Begitu…”
“Aku sudah menayakannya, Kang. Dia bilang, kita sudah tidak ada kecocokan lagi”
“Apakah kamu merasakan hal itu. Bahwa benar diantara kalian sudah tak ada kecocokan lagi?”
“Aku merasa, kami baik-baik saja. Kalau tidak ada kecocokan, buat apa selama ini kami merajut kisah bersama. Mengapa baru sekarang dia mengatakan soal ketidakcocokan itu? Mengapa tidak dari awal saja. Supaya aku tidak berdarah-darah seperti ini karena ditinggalkannya”
“Kalau menurutku, itu hanya alasannya saja. Alasan supaya hubungan diantara kalian berakhir. Pada dasarnya, dia memutuskan hubungan denganmu, karena dia sudah bosan denganmu. Itu saja...”
Aku mengelus bahu Jin Wook. Menyalurkan kekuatan kepadanya. Dan melanjutkan kata-kataku.
”Dia telah merasakan segala apa yang ingin dia rasakan denganmu. Saat rasa itu telah habis. Ia ingin berhenti untuk merasa. Dan mencari rasa yang lainnya. Kalau diibaratkan kamu rasa melon, dia mungkin ingin rasa mangga, nanas, apel dan lain sebagainya. Yang mungkin, dia pikir dia bisa menemukan berbagai macam rasa itu pada diri orang lain”
“A, geurogunyo (Oh, begitu, ya). Tapi mengapa dia lakukan hal itu padaku, Kang? Mengapa dia mencampakkan aku begitu saja? Padahal aku adalah cowok setia. Tapi mengapa kesetiaanku dia lukai. Kepercayaanku dia hancurkan. Ketulusanku dia injak-injak”
Ia meradang. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh dengan tekanan.
Bulir bening menggenangi wajah putihnya. Ia terisak.
Ya, Tuhan. Please, jangan menangis. Aku paling nggak bisa menghadapi orang menangis.
“Jebal, uro hajima (Tolonglah, jangan menangis). Dangdanghake sarara (Kamu harus tegar, Jin Wook)”
Terbata-bata aku mengatakan kata-kata itu. Aku pikir kata-kata itu yang paling cocok untuk mewakili perasaanku. Menghiburnya.
“Mengapa dia lakukan hal itu padaku, Kang?”
Dia mengulangi lagi pertanyaannya itu. Tangannya sibuk menghapus air yang melelehi wajahnya.
Aku terdiam.
Tanganku sibuk mengelus-elus sampul novel yang tadi aku beli. Novel dari pengarang yang sedang berbicara di panggung utama sekarang.
”Neomu aphayo, Kang (Sakit sekali rasanya, Kang)”
Aku menghela nafasku perlahan.
”Aku mengerti. Tapi apapun alasan dia memutuskanmu. Yang jelas, sekarang dia sudah bersama dengan orang lain. Itu artinya, kamu juga harus belajar untuk melupakannya. Buat apa kamu memikirkan orang lain yang sudah tak memikirkanmu lagi. Rugi. Buang-buang waktu dan tenaga saja”
Aku mencoba memberi masukan padanya. Mungkin saja kata-kataku bisa menjadi penawar untuk hatinya. Yang terkontaminasi racun patah hati.
”Kalau dia tahu, kamu masih memikirkannya. Dan kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Dia pasti akan bahagia sekali. Karena ada manusia bodoh sepertimu. Yang masih memikirkannya sementara dia sudah tak ingin mengingatmu lagi”
”Geulseyo (Entahlah). Neomu phigonhaeseo iraeyo (Aku lelah sekali, Kang)”
”Keokjeongma, naega ittjanha, Jin Wook (Jangan khawatir, aku ada disampingmu, Jin Wook). Aku akan selalu menjadi sahabatmu. Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri dalam kesedihan ini”
Aku mengucapkan kata-kata itu seolah-olah sedang memainkan peran dalam drama kehidupan ini.
”Gomawo, Kang Dey (Terima kasih). Neomu kamkyeok haeso nunmuri nanda (Menyentuh banget, sampe mau nangis nih)”
Aku meringis.
”Nae seongjil geondeulijima (Jangan bikin aku grogi deh)”
Jin Wook mulai tersenyum kembali.
“Eottaeyo? Jigeum gwenchanayo? (Bagimana? Kamu sudah merasa baikan sekarng?)
“Ne, mani gwaencanajyeoseoyo (Ya, aku sudah jauh lebih baik)”
“Geurom dahaengiyeyo (Untunglah)”
Aku lega sekarang. Perasaan Jin Wook sudah jauh lebih baik sekarang.
Kami terus berbincang-bincang di atas tribun. Sementara itu kemeriahan pesta book fair masih berlangsung di bawah sana.
Balaraja, 15 Maret 2012
JERAWAT OH JERAWAT

Aku baru saja akan memasangkan headsheat di telingaku. Ketika tiba-tiba seorang remaja tanggung, berusia sekitar empat belas tahunan mendekatiku.
Ia memakai kaos oblong yang sudah belel. Celana yang sempit dibagian betisnya. Dengan wajah bertabur jerawat.
Ia nyengir lebar.
”Ini Kang Dey, kan?”
Aku melongo. Tapi aku buru-buru mengangguk.
Siapa, ya. Aku nggak kenal deh...
Ia langsung duduk disebelahku. Kebetulan hanya kursi itu yang kosong. Diantara deretan kursi tunggu di dealer motor itu.
Aroma khas tubuh remaja menguar dari tubuhnya. Tipikal remaja yang tak memperdulikan pentingnya deodorant.
”Nggak kenal aku, ya. Pastinya. Soalnya kalau di facebook, aku selalu pake foto kartun, Kang”
Aku nyengir.
Oh, ternyata temen fb...
”Namaku Raihan, Kang Dey. Biasa dipanggil Rey. Kalo di Fb namanya Samurai R”
Ia memperkenalkan diri dengan riang.
Aku tersenyum. Senang bertemu orang yang baru dikenal tapi sok akreb begini. Aku lebih santai menghadapinya.
Tanpa kutanya terlebih dahulu, dia sudah memceritakan tentang dirinya. Kedatangannya ke tempat dealer ini. Yaitu untuk service motor juga. Sama denganku. Dan ia masih duduk dibangku sekolah SMP. Terlihat dari gaya berpakaiannya yang tak jauh berbeda dengan remaja zaman sekarang pada umumnya.
Melihat tingkah polahnya dan gaya bicaranya itu, aku seperti melihat keponakanku sendiri. Kumisnya masih tipis. Baru tumbuh. Terlihat sekali kalau bocah itu sedang dalam masa puber.
”Muka Kang Dey bersih, ya. Nggak ada jerawatnya. Sama dengan foto yang di fb. Nggak seperti aku...”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan wajah tertunduk lesu. Menimang-nimang ponsel ditangannya tanpa gairah.
”Siapa bilang? Dulu, waktu Kang Dey seumuran kamu juga jerawatan. Lebih parah malah”
Aku berusaha membesarkan hatinya. Sepertinya ia sedang terserang sindrom minder. Tak percaya diri karena jerawat yang bejibun di wajahnya.
Ia menjebikkan mulutnya. Tak mempercayai ucapanku.
”Lihat dong dengan jelas. Bercak-bercak kecil ini, ini bekas jerawat loh, Rey”
”Trus, gimana cara ngatasin jerawat-jerawat sialan ini, Kang?”
Ia manyun.
Tangannya sibuk menyentuh jerawatnya yang tumbuh disana-sini. Menghiasi permukaan wajahnya. Kedua pipi, dahi dan dagu. Dari yang kecil hingga yang sebesar jagung. Rata memenuhi area wajah hingga ke leher.
Masalah jerawat memang terlihat sepele. Tidak membahayakan, tapi menjengkelkan. Terutama kaum remaja yang menjadi sasaran empuknya. Tapi tidak sedikit pula masalah jerawat ini pun menyerang kaum dewasa.
Sejak memasuki masa pubertas, berbagai macam perubahan terjadi dalam tubuh seseorang yang disebabkan oleh hormon, terutama androgen. Hormon yang lebih banyak pada pria ketimbang pada wanita. Dan hormon ini punya peran terhadap munculnya jerawat.
Produksi hormon androgen ini meningkat pada masa pubertas. Sehingga kelenjar lemak menjadi lebih aktif menproduksi palit yaitu cairan berupa lemak yang berfungsi menjaga permukaan kulit dan rambut tetap lentur, mengkilap dan tidak tembus air, serta mencegah masuknya bakteri lewat pori-pori.
”Rajin merawat kulit wajah dong, Rey”
“Caranya?”
“Setelah Rey beraktifitas atau berpergian, biasanya wajah kamu pasti kotor, berminyak dan berkeringat, kan. Nah, itu akibat debu juga polusi disekitar kita, Rey. Jadi, kalau kamu udah nyampe di rumah, harus langsung cuci muka. Biar yang melekat di wajah kita luntur seketika. Dan jangan lupa, kamu harus memilih sabun muka yang cocok dengan jenis kulitmu. Untuk kulit berjerawat”
“Kadang males, Kang. Ribet...”
Ia menyandarkan tubuhnya seolah tak punya tenaga.
“Ya udah, kalo nggak mau ribet mah. Silakan saja. Jerawat-jerawat itu akan setia menemani hari-harimu. Melekat erat diwajahmu. Dan membuatmu kehilangan rasa percaya diri”
Aku tertawa. Sementara Rey cemberut.
”Selain merawat kulit wajah, kebiasaan kita makan juga bisa menjadi pencetus jerawat, Rey”
”Iya, Kang?” Aku mengangguk.
”Hindari makanan yang terlalu banyak mengandung lemak dan yang terlalu gurih. Kurangin makan coklat, kacang tanah juga goreng-gorengan”
”Banyak amat pantangannya, Kang. Mana aku hobi banget ma coklat juga gorengan. Gorengan adalah makan yang nggak bisa dipisahkan dalam kehidupanku sehari-hari. Jajanan murah dan mengenyangkan”
Ia tertawa.
”Sah-sah aja sih, nyari jajanan murah dan mengenyangkan. Tapi lihat dulu dong dari segi kesehatannya. Tertutup rapat apa nggak wadahnya. Jangan sampai dikerumuni lalat dan juga debu. Hati-hati juga, Rey. Sekarang banyak gorengan yang pake lilin juga plastik”
”Iya, Kang Dey”
Aku mendesis.
”Iiiisssshhh. Ketauan, ya. Nggak pernah nonton berita”
Rey nyengir sambil memainkan rambutnya yang terpotong ala tin-tin.
”Banyakin makan sayuran dan buah-buahan, Rey. Banyak makan buah-buahan itu bisa bikin kulitmu kencang dan segar. Oh ya, itu jerawat yang bengkak dan berdarah abis kamu apain, Rey?”
Aku menunjuk jerawat sebesar jagung dijidatnya. Memerah dan sedikit mengelurkan darah.
”Dipencet. Trus, aku tusuk pake jarum, Kang. Biar cepet kempes. Abis nyebelin sih”
Ia cengengesan. Merasa tidak berdosa telah memencet dan mengorek-ngorek jerawatnya itu dengan tanpa belas kasihan.
”Nggak boleh, Rey. Kamu nggak boleh sembarang pencet dan sembarang tusuk tuh jerawat. Bisa infeksi. Meradang. Tambah parah. Muka bisa rusak. Dan meninggalkan bekas yang nggak bisa ilang, loh. Nih, kayak yang dipipi Kang Dey. Ini karena tangan usil Kang Dey dulu. Yang nggak sabaran. Main pencet dan tusuk aja pake jarum pentul. Padahal itu nggak boleh”
Rey tercengang. Mendengar kata-kata infeksi, peradangan dan rusak berhamburan dari mulutku. Dengan nada naik dua oktaf.
”Oh gitu, ya”
”Iya. Alih-alih pengen sembuh. Yang ada malah tambah parah, Rey, Rey...”
Aku mendecakkan lidahku. Sambil geleng-geleng kepala.
”Oh ya, Kang. Bener nggak sih. Kata temen-temen aku nih, jerawat bisa sembuh pake...pake...”
Rey terlihat ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
”Pake apa?”
”Pake celana dalem cewek, Kang. Katanya, celana dalem itu diolesin ke jerawat. Nanti cepet sembuh”
Rey mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik-bisik. Seolah takut didengar orang-orang yang ada di tempat itu.
Aku ngakak. Wajah Rey langsung merah padam.
”Ngaco, ah. Itu mah mitos. Jangan dipercaya kebenarannya, Rey. Kamu mah ada-ada aja. Apa hubungannya coba, jerawat ma celana dalam. Nggak ada sama sekali, Rey. Kalo kamu ngambil celana dalem orang, trus ketauan. Yang ada, kamu habis digebukin orang sekampung. Trus, di cap sebagai anak abnormal. Mau, kamu?”
”Ogah. Tapi temen-temen sekolahku ada yang melakukan hal itu, Kang Dey”
”Trus, sembuh nggak?”
”Boro-boro sembuh, yang ada dia kebanyakan...” dia menyebut kata jorok yang artinya sama dengan onani. ”...gara-gara nyimpen celana dalam anak orang. Dengkulnya juga pada leklok”
Kami tertawa bersama.
”Kalo jerawat kamu ingin sembuh, datang aja ke dokter ahli penyakit kulit, Rey”
Aku menyarankan.
Rey mendengus.
”Mahal, Kang Dey. Emang nggak ada resep tradisional gitu. Yang murah meriah, tapi lumayan ampuhmenyembuhkan”
”Ada juga sih. Tapi kamu kan orangnya nggak mau ribet”
”Dih, Kang Dey mah...”
Ia merajuk.
”Cuci muka pake teh basi”
”Ogaaaah...” Rey meringis. Aku nyengir.
”Atau cuci muka pake air daun sirih aja. Daun sirih itu airnya mengandung zat antiseptik yang dapat mencegah peradangan dan infeksi akibat jerawat sekaligus menetralkan kelebihan lemak pada wajahmu. Apalagi kamu hobi banget tuh, asal pencet dan ngorek-ngorek jerawat. Padahal tangan kamu belum tentu bersih”
Aku merepet. Rey nyengir kuda.
“Nah, kalau pake air daun sirih aku mau, Kang. Di depan rumahku banyak, Kang Dey. Nanti abis service motor, aku mau nyoba, ah”
”Buat muka kok coba-coba”
Aku menyindirnya dengan kata-kata yang kucontek dari iklan.
Rey tergelak mendengarnya.
”Begitu dong semangat. Buat kesehatan sendiri mah jangan males-malesan atuh”
Aku menepuk-nepuk bahunya.
”Iya, Kang. Makasih saran, nasehat dan juga tipsnya”
”Siiiip. Jangan lupa, kamu juga harus rajin olahraga”
”Ngapain olahraga?”
”Ngapain, apaan. Kalau kamu males olahraga, kulit kamu akan keliatan layu, kusam dan pori-pori nggak bernafas dengan baik. Kalo udah gitu, si jerawat seneng banget ngedon di wajah kamu. Trus, nambah banyak deh jerawat yang nongol, karena pori-pori wajahmu tersumbat. Mau?”
Rey menggeleng kuat-kuat.
”Hindari juga stres, Rey. Karena itu bisa memicu timbulnya jerawat juga” Aku menambahkan.
”Stres kenapa? Emangnya, aku gila”
”Emangnya stres itu gila aja. Kamu mikirin jerawat kamu yang bejibun dengan hati sedih, nelangsa dan uring-uringan itu sudah dikategorikan stres, Rey”
“Oh, begitu ya. Kok Kang Dey banyak tahu sih, soal jerawat dan cara ngatasinnya segala?”
“Ya, iya dong. Kang Dey kan rajin baca. Baik dari buku kesehatan, majalah juga nyari di internet. Emangnya kamu, ke warnet cuma buat ngeliat yang begituan doang. Heuuu, dasar!”
Ia nyengir lebar sekali. Wajahnya sedikit memerah. Seolah ketangkep basah, pipis dicelana.
”Kok, Kang Dey tahu”
”Taulah, Kang Dey kan ahli membaca pikiran orang”
Rey terbeliak.
”Bo’ongan kale, Rey hehe...”
Aku tertawa sambil mendorong tubuhnya. Dan Rey pun ikutan tertawa.
@@@
Balaraja, Pertengahan Maret 2012

Minggu, 01 April 2012

MALU KARENA GIGI

Aku berdiri di atas balkon lantai tiga mall di daerah Serpong. Menatap semua yang terhampar dihadapanku. Sambil merasakan belaian angin. Semilirnya mengelus setiap inchi tubuhku. Membuat pikiranku fresh seketika.
Aku menunggu teman facebook yang tinggal tak jauh dari mall. Ia mengajak copy darat saat tahu aku akan ke mall melalui status yang aku buat.
”On the way mall Serpong...berburu buku murah hehe…”
Begitu bunyi sebaris status yang aku buat.
Tak lama kemudian. Sebuah pesan menyambangin inbox-ku. Dari seseorang yang bernama Aku YangSelalu Tersakiti.
”Mau nggak ketemuan ma aku, Kang Dey. Kebetulan, aku tinggal di daerah Serpong juga. Nggak jauh dari mall. Mau, ya. Penasaran ma Kang Dey setelah membaca note2nya”
Aku mengiyakan permintaan teman facebook-ku itu. Tak ada salahnya bertemu dengan orang yang menyebut dirinya, Si Aku YangSelalu Tersakiti. Lumayan, menambah teman dalam artian sebenarnya. Tak hanya sekedar dalam daftar teman facebook saja.
Percuma punya teman bejibun, kalau tak menjadi benar-benar teman.
Siapa tau copdar ini akan menambah erat tali silaturahmi yang terjalin.
Setiap liburan anak sekolah, aku memang kerap mendatangi mall ini. Menghadiri pameran buku dengan diskon gila-gilaan. Bayangkan, diskonnya hingga 80 persen. Membuatku sakit kepala kalau hanya membawa duit pas-pasan. Maklum, predator buku. Huhu.
”Maaf, permisi. Ini Kang Dey, bukan?”
Sebuah suara mengejutkanku. Memutus lamunan.
Aku membalikkan badan.
Seorang pemuda sebayaku. Dengan postur tubuh lebih tinggi sedikit dariku. Memakai kaos lengan panjang bergaris-garis. Sebuah topi berwarna hitam menutupi kepalanya.
Aku tersenyum. Mengangsurkan tanganku. Mengajak bersalaman.
Ia menjabat tanganku. Kepalanya tertunduk. Terlihat grogi. Dan seolah tak percaya diri.
Kami pun berkenalan.
Namanya Syaiful Anwar. Umurnya 27 tahun. Wajahnya terlihat sedikit lebih tua dari usia sebenarnya.
“Kang Dey bener, usianya sekarang 33 tahun?”
Ia bertanya dengan tatapan tak percaya. Meragukan usiaku.
Aku hanya nyengir mendengar pertanyaan itu.
Dia orang yang kesekian yang tak percaya pada usiaku. Hanya karena melihat postur tubuh juga wajahku yang jauh lebih muda dari usiaku yang sebenarnya.
”Bagaimana perasaan kamu setelah ketemu aku, Kang? Pasti kecewa, ya...”
Ia melontarkan kata-kata itu tanpa menatapku. Ia menatap kejauhan. Entah apa yang ia lihat.
Aku tersenyum.
”Kenapa harus kecewa, Ful?”
Aku memberanikan diri menyebut namanya. Seolah kami dua orang sahabat yang telah lama tak bersua.
Sok akrab ceritanya. Aku kan begitu orangnya. Mudah akrab dengan orang lain yang terlihat menerima aku apa adanya.
”Melihat kondisiku yang seperti ini...”
Suaranya terdengar nyaris seperti bisikan.
”Kondisi seperti apa maksudnya? Yang aku lihat, kamu baik-baik saja. Sehat, bugar, tak ada cacat”
Ia menatapku dengan pandangan sinis.
”Gigiku yang menonjol ini, Kang”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan raut wajah yang terlihat tak nyaman. Ia seperti tertekan.
”Kenapa aku harus kecewa, Ful? Aku berteman dengan siapa aja. Tanpa memandang rupa, fisik, pekerjaan dan lain sebagainya. Aku mau berteman. Kamu mau berteman. Ya, sudah. Kesamaan itulah yang membuat aku nggak perduli dengan kondisi seperti apapun yang dimilikinya. Mau berteman kok repot amat”
“Tapi kebanyakan orang sepertinya menyesal kalau udah ketemu aku, Kang”
”Ah, itu sih perasaan kamu aja, Ful”
”Bener, Kang Dey. Buktinya, mereka ngga mau diajak ketemuan lagi ma aku. Terus juga nggak mau komen-komen lagi di status-status aku. Apa coba namanya, kalau bukan nggak suka ma aku. Itulah sebabnya, kenapa aku pakai foto yang bukan diriku. Tapi wajah-wajah selebritis Korea yang mancung hidungnya. Bukan mancung giginya seperti aku”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan gemas. Merepet tanpa jeda. Ia seperti bak yang sumbatnya dicabut. Lalu mengalirlah air yang selama ini terkungkung di dalam bak.
Setiap orang memang mengidamkan penampilan fisik yang serba ideal. Yang body-nya gemuk ingin kurus, yang kulitnya item ingin putih, yang rambutnya kriting ingin lurus, yang hidungnya rata ingin mancung, yang bibirnya tebal ingin tipis, yang tubuhnya pendek ingin tinggi semampai.
Banyak sekali yang menjadikan itu sebagai obsesi. Sehingga krisis pede pun melingkupi orang yang bersangkutan.
Aku pikir, krisis pede itu sesuatu yang nggak enak banget. Aku juga pernah mengalami hal itu. Aku selalu ngerasa nggak nyaman, karena terus-terusan memikirkan kekurangan yang ada padaku.
”Padahal pola pikir seperti itu malah akan membuat orang lain ngerasa nggak nyaman ma kita, Ful. Mereka akan mikir dan nyari apa sih yang bikin kita jadi pendiem dan minder. Dan saat mereka menemukan apa yang jadi keminderan kita. Ya, udah. Habislah kita jadi bahan ledekan mereka”
”Coba kalau kita nyantai aja dengan penampilan fisik kita. Menerima diri dengan penuh rasa syukur. Waktu dan energi kita yang terbuang percuma, karena kita hanya memikirkan kekurangan kita melulu. Lebih baik kita gunakan untuk mengembangkan banyak potensi yang masih tersembunyi dalam diri kita”
”Tapi aku ngerasa, nggak punya potensi apa pun, Kang Dey”
”Siapa bilang?”
”Akulah, Kang Dey. Barusan, kan...”
Syaiful mengatakan itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Kami pun tertawa bersama.
”Potensi kita tuh banyak, Ful. Kecerdasan, organisasi dan keterampilan komunikasi. Kalo kita bisa tampil supel dengan segala potensi dan kelebihan-kelebihan diri kita, ditengah-tengah kekurangan yang kita punya. Orang lain nggak akan nyari-nyari kekurangan yang ada pada diri kita”
”Yakin, kang Dey?”
”Kamu harus yakin dong. Buktinya aku”
Syaiful mencebikkan mulutnya. Tak percaya padaku.
”Kamu nggak dengar suaraku yang halus kayak cewek. Juga gayaku yang agak gemulai ini”
Syaiful nyengir mendengar ucapanku.
”Hal itu pernah membuat aku down banget, Ful. Aku juga sempat terkukung dalam dilema berkepanjangan. Harus bersikap gimana dengan kondisiku ini. Tapi lama-lama, aku sadar. Bahwa aku adalah manusia yang ngga bersyukur banget. Kufur nikmat pangkat seratus. Kalo aku terus-terusan menjadi manusia yang terpuruk hanya karena kondisiku itu”
”Padahal Allah udah ngasih banyak kelebihan ma aku. Tapi kenapa kelebihan itu nggak aku gali dan munculkan. Jadi berangkat dari pemikiran itu, aku pun bangkit dan berbenah. Untuk menjadi pribadi yang percaya diri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku miliki”
”Dan seperti yang kamu lihat sekarang. Aku tampil apa adanya aku. Tanpa ada yang aku tutup-tutupi. Orang mau menerima aku, alhamdulillah. Sesuatu banget, ya”
”Syahrono kale...”
Syaiful nyeletuk.
Kami pun ngakak bareng.
”Kalo ngga mau menerima, kebangetan sekali”
Aku pura-pura lemas.
Syaiful tertawa.
”Aku nggak nyangka, kalo Kang Dey juga pernah ngalamin apa yang aku rasakan. Kirain aku doang. Perasaan tertekan itu. Dan merasa tidak diterima itu”
Ia mengatakan itu seolah-olah tak percaya. Hal demikian pernah terjadi padaku.
”Itu dulu, Ful. Sekarang tidak lagi”
Aku menirukan kata-kata pada iklan shampoo di teve.
”Lanjut, Kang Dey. Aku suka dengan uraian, Kang Dey. Cepat masuk ke otakku”
Syaiful cengengesan.
”Ya, itu tadi. Mereka udah terlanjur respek dengan kelebihan yang kita punya. Intinya mah mereka udah suka ma kita, karena potensi yang kita miliki. Jadi mana sempet mereka nyari-nyari kekurangan kita, Ful”
”Gini aja deh. Saat kita memiliki kekurangan yang nggak mungkin di rubah, kita harus pinter-pinter menggali dan nemuin kelebihan lain yang bisa kita tampilkan. Itu yang dulu aku lakuin”
Syaiful mengangguk-anggukkan kepalanya. Meresapi yang barusan aku ucapkan.
Kami berdua menatap matahari yang mulai condong ke arah barat. Magrib segera tiba.
”Dan kamu harus inget, Ful. Allah nggak menilai rupa dan fisik hamba-Nya. Tapi yang jadi penilaian adalah iman kita. Jadi kalau kamu bisa menerapkan prinsip ini dalam kehidupan kamu, maka kamu akan jadi manusia pede yang berjalan dimuka bumi ini”
”Kamu nggak usah repot-repotlah mikiran bentuk gigilah, mulutlah, gusilah, hidunglah. Semua itu bukanlah segala-galanya dalam hidup ini, Ful. Yang penting nih, Ful. Mulut kamu itu masih berfungsi dengan baik. Nggak sakit saat makan, minum dan berbicara. Dan yang paling penting lagi, mulut kamu itu nggak ngerugiin orang lain. Dan nggak dipakai buat nyakitin orang lain dengan kata-kata kamu. Bener nggak, Ful”
”Bener banget, Kang Dey”
Wajah Syaiful berbinar-binar. Tak seperti saat pertama ketemu tadi. Kusut dan ditekuk-tekut. Blas, nggak nyaman dilihat.
”Allah udah mengfungsikan organ tubuh kita dengan sebaik-baiknya, Ful. Bukan bentuk gigimu yang harus kamu pikirin. Tapi mulut kamu yang kamu gunakan untuk murah senyum, murah hati, menuturkan kata-kata yang sopan, santun, bijak dan itu yang akan bikin orang lain nyaman sama kamu. Bukan rasa nggak nyaman akan bentuk gigimu lagi”
”Dengan begitu malah mendatangkan penghargaan dari orang lain, kan. Hati kita juga penuh syukur. Kata-kata yang kita ucapkan lebih berarti, menumbuhkan kharisma juga rasa confident. Percaya diri. Jadi, mulai saat ini, say good bye aja deh sama tuh minder. Oke, Ful?”
Syaiful mengangguk mantap.
“Ngedenger kata-kata Kang Dey, aku jadi semangat banget. Nggak pernah aku ngerasa sesemangat ini dalam hidup. Sumpah, Kang Dey. Aku seperti hp yang ngedrop. Trus di cas sampe full. Itulah yang aku rasain sekarang, Kang. Makasih banget...”
Mata Syaiful berkaca-kaca. Dan tiba-tiba saja dia terisak-isak.
Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana.
Selama ini aku emang paling nggak bisa menghadapi orang yang lagi mellow. Kalau istriku sedang sentimentil aja aku suka kelabakan. Nggak tau harus bagaimana menghadapinya.
Balaraja, 06 Februari 2012

Kamis, 29 Maret 2012

BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA

Berbicara mengenai sampah selalu saja bikin gerah, naik darah dan ujung-ujungnya pengennya marah-marah. Walhasil dampaknya sangat kurang sehat bagi kesehatanku. Jantungku mudah berdebar-debar dengan kerasnya.
Sejak kecil, saat aku masih pakai seragam merah putih, aku sudah memahami betul kalimat “Buanglah sampah pada tempatnya” yang ditulis dalam karton ukuran A4 yang di tempel di dinding kelas. Tulisan tangan yang dipajang dengan huruf dianeh-anehin itu, dipajang bukan hanya buat diplototin atau dibaca doang. Tapi supaya murid-murid membiasakan diri sejak dini membuang sampah pada tempatnya.
Jadi kalau ada orang yang sudah dewasa, tapi senang sekali membuang sampah semau gue. Karakter orang itu pasti ngga jauh-jauh seperti sampah juga. Bertebaran dimana-mana, bikin eneg’ dan puyeng kepala orang, busuk banget baunya dan tentu saja menimbulkan berbagai penyakit.
Contoh orang bermental seperti sampah itu banyak sekali kita jumpai disekeliling kita.
Kebetulan rumahku tepat di pinggir jalan raya menuju Kronjo. Di jalan raya ini hampir setiap hari dilalui oleh bus-bus karyawan. Di depan pintu gerbang rumah, kalau pagi-pagi sekitar pukul tujuh teng. Pasti ada lima karyawan yang menunggu bus jemputan disitu.
Otomatis, bus itu berhenti tepat di depan pintu gerbang. Dan saat bus berhenti untuk mengangkut karyawan yang menunggu di depan pintu gerbang itu lah kejadian yang sangat luar biasa terjadi tepat dihadapanku.
Seorang cewek yang ada di dalam bus dengan entengnya membuang sampah bekasnya sarapan uduknya ke luar dari jendela bus. Hal itu diikuti oleh karyawan yang lainnya. Selain bungkus uduk, ada juga yang membuang plastik bekas gorengan dan botol minuman air mineral.
Darahku sampai naik keubun-ubun melihat adegan luar biasa itu terjadi tepat dihadapanku. Lututku sampai gemetaran.
Tak menyangka ada orang yang tak punya martabat seperti itu. Membuang sampah seenak perutnya sendiri. Apakah dia pikir di depan rumahku itu TPA Bantar Gebang apa?
Kalau nggak karena bus itu jalan, pengen banget aku teriakin tuh orang yang nggak punya martabat dan rasa malu seperti itu. Aku gemas sekali.
Ditangannya udah pegang ponsel touch screen, itu artinya dia telah merambah kehidupan modern. Tapi kenapa mentalnya masih seperti manusia purba.
Sampah adalah limbah yang paling bejibun yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Apa aja kegiatannya, pasti menghasilkan sampah. Sampah adalah bagian yang nggak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Walhasil cara mengelola dan nanganinnya juga tergantung banget dengan prinsip hidup manusia yang bersangkutan.
Ada beberapa negara yang sangat memperhatikan sampah. Salah satu diantaranya adalah Nigeria. Negara ini mempunyai hari libur nasional yang khusus perduli pada lingkungan. Namanya Hari Kebersihan Nasional.
Ada juga negara Singapura. Orang-orang di negara ini akan sangat malu sekali apabila membuang sampah sembarangan. Mereka sangat menjunjung tinggi kebersihan lingkungan.
Mereka sangat menyadari bahwa konsumsi masyarakat yang semakin meningkat dapat menimbulkan dampak yang sangat dasyat. Semakin banyaknya gas metana (CH4). Gas yang dihasilkan dari kotoran manusia dan hewan, fermentasi sampah juga jerami yang baunya naudzubillah.
Mereka adalah negara yang memandang sampah punya kaitan yang sangat erat dengan tingkat kesehatan masyarakatnya. Sampah yang dibuang sembarangan akan menciptakan aroma busuk bagi lingkungan sekitar. Dan sifat sampah yang sangat berantakan itu membuat pusing siapa pun yang melihatnya.
Belum lagi akibat yang ditimbulkan oleh sampah itu sendiri. Yaitu masuknya sejumlah penyakit melalui perantara binatang. Seperti tikus, lalat, kecoa, cacing kait dsb. Yang dapat menimbulkan penyakit seperti diare, pes dan kolera. Juga membuat gatal-gatal dan penyakit kulit.
Sudah sebegitu jelasnya akibat yang ditimbulkan oleh sampah. Tapi masih aja orang membuang sampah sembarangan.
Pernah pada suatu hari aku naik mobil merah jurusan Balaraja-Grogol. Ada seorang ibu dan seorang anaknya duduk tepat disebelahku. Mereka sedang makan gorengan dan air mineral. Setelah selesai makan. Aku pikir si ibu itu akan meletakkan sampah bekasnya makan itu disudut kakinya. Untuk dibuang nanti setelah sampai tujuan.
Tapi ternyata aku salah besar. Saat mobil bergerak melambat di gerbang tol masuk Karang Tengah. Ibu itu dengan wajah tak bedosanya membuang sampah itu melalui jendela mobil.
Aku kaget sekali.
”Kenapa Ibu membuang sampah sembarangan, Bu?”
Aku memberanikan diri bertanya pada ibu itu, dengan menekan perasaan dongkol yang menyelimutiku.
Ibu itu sepertinya agak terkejut mendapat pertanyaan dariku.
Ia hanya tersenyum dan menjawab dengan santainya.
”Loh, emang apa salahnya saya membuang sampah. Sampah emang untuk dibuang kan?”
Apa salahnya, katanya sodara-sodara sekalian...
”Iya, tapi nggak sembarangan gitu kali, Bu”
Gedek banget aku mendengar jawabannya yang seolah menggampangkan itu.
”Saya yang membuang sampah kok, kamu yang ribut, ya”
Ibu itu mulai menampakkan wajah tak sukanya kepadaku. Beberapa penumpang yang semula acuh tak acuh dengan perbincangan kami. Mulai menegakkan kedua telinganya. Nguping.
”Ibu pasti pernah dong baca tulisan yang bunyinya begini, ”buanglah sampah pada tempatnya”. Atau kata-kata ”kebersihan sebagian dari pada iman” pasti Ibu pernah denger juga, kan. Kata-kata itu dibuat bukan cuma buat pajangan, Bu. Tapi buat kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Supaya lingkungan kita tetap bersih dan nyaman”
Tak sadar aku mengucapkan kata-kata itu, seolah ibu itu adalah anak SD yang ketauan membuang sampah sembarangan.
Ibu itu menghela nafasnya. Lalu ia membenarkan anak-anak rambutnya yang berantakan tertiup angin.
”Kenapa sih, hal itu harus dipermasalahkan. Yang lain juga banyak yang membuang sampah sembarangan. Kenapa itu harus jadi masalah buat kamu? Lagian, banyak juga kok orang yang cuma bisa ngomong doang, tapi prakteknya nol”
Ibu itu menyanggah ucapanku dengan emosi sekali. Ia menekan semua kata-kata yang diucapkannya.
”Tapi saya bukan orang seperti itu, Bu. Saya selalu berusaha untuk sejalan antara perkataan dan perbuatan saya. Ibu bisa lihat sendiri isi tas saya ini”
Aku membuka risleting tas yang selalu aku bawa-bawa kemana pun aku pergi. Lalu kuperlihatkan kepada ibu itu. Beberapa orang ikut melongok. Ingin tahu apa isi tasku.
Mereka semua terperangah.
Di dalam tasku itu ada beberapa bungkus permen, bungkus roti, karcis robek bekas naik busway, karcis bioskop juga botol kosong bekas minuman mineral.
Aku mengumpulkan sampah itu untuk aku buang kalau aku menemukan tempat sampah. Atau malah aku buang saat aku sudah sampai di rumah.
Begitulah, ketidakpedulian yang sering aku jumpai disekitarku.
Aku membagi cerita ini bukan karena aku ingin dinilai sebagai orang yang sok mencintai lingkungan. Tapi aku ingin agar orang-orang yang membaca tulisanku ini lebih perduli pada lingkungan sekitar. Yang mulai rusak karena ulah tangan-tangan manusia.
Dan kalau bukannya kita sendiri yang memulainya. Siapa lagi?
Tidak hanya itu. Aku yang hobby kemping ke gunung ini pun sering dibuat emosi oleh para pendaki yang juga punya mental sampah. Tidak semua pendaki seperti itu memang. Masih ada juga kok pendaki yang cinta akan lingkungan. Tapi jumlahnya sedikit sekali.
Di tempat yang seharusnya bersih, asri dan nyaman itu malah kotor oleh prilaku buruk manusia. Bekas botol minuman, mie instan, pembalut wanita, rokok, sabun mandi dan sabun cuci, pasta gigi, kantong plastik, celana dalam bertebaran dimana-mana.
Tidakkah mereka sadari bahwa sampah yang mereka buang itu bisa menimbulkan pengeroposan pada tanah. Tanah baru tidak akan terbentuk karena timbunan sampah-sampah itu. Pencemaran bau mempengaruhi kualitas air tanah akibat rembesan bahan-bahan kimia yang terjadi saat proses pembusukan. Terutama sampah non-organik yang berasal dari bahan sintetis atau bahan keras lainnya. Seperti kaca, plastik, logam dan karet.
Sampah non-organik ini sulit hancur di dalam tanah dan nggak bisa diserap oleh tanah. Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghancurkannya.
Bayangkan, plastik yang sering kita pakai itu ternyata mebutuhkan waktu selama 250 tahun untuk menguraikannya.
Jadi mulailah dari diri sendiri. Untuk mencintai lingkungan kita. Untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kalau bukan kita, yang telah diberi amanah untuk menjaga dan merawat bumi kita ini. Lantas siapa lagi?
Balaraja, Akhir Maret 2012
VIRUS VALENTINE'S DAY

Waktu telah menunjukkan pukul 22.00 saat jendela chat muncul di FB yang sedang kubuka.
“Haiiiii….”
Aku mendesah.
Ini orang yang ketiga setelah dua orang berturut-turut mengajak chatting. Padahal aku sedang membaca note yang di tag teman facebook-ku yang berasal dari Korea. Namanya, Lee Young Jae.
Dia orang Korea yang sedang menuntut ilmu di Harvard. Bahasa Inggrisnya bagus dan sudah lumayan fasih. Selama ini kami bercakap-cakap dalam dua bahasa. Bahasa Inggris juga bahasa Korea. Bahasa Koreaku yang masih belepotan. Sering ia betulkan.
Untuk kebaikannya sudi mengajarkanku bahasa Korea yang baik dan benar, aku pun mengajarkan dia bahasa Indonesia. Jadi kami barter. Dia mengajariku bahasa Korea, sedangkan aku mengajari dia bahasa Indonesia.
Dia ingin lancar bahasa Indonesia, karena dia ingin jalan-jalan ke Pulau Dewata. Pulau yang banyak dikunjungi oleh wisatawan asal Korea. Dan yang membuatnya ingin ke Bali adalah setelah melihat keindahan pulau Bali yang berada di Indonesia itu melalui drama Korea yang berjudul Memory of Bali ditayangkan di stasiun teve di Korea. Keindahan pemandangan Bali dalam drama itu membuatnya takjub.
“Kang Dey…”
Kembali jendela chat berteriak memanggilku.
”Ya, ada apa?”
”Aku mau curhat nih. Boleh, kan?”
Aku menghembuskan nafasku perlahan.
Baiklah, note Young Jae bisa menunggu. Nanti aja bacanya. Orang ini sepertinya butuh bantuan...
“Kenapa harus curhat padaku?”
Aku memancing. Siapa tau dia cuma iseng, nanya ini-itu. Bukan buat curhat. Seperti kebanyakan orang chat yang ngalor-ngidul. Blas, ngga ada manfaatnya. Buang-buang waktu.
“Aku udah baca note2 punya Kang Dey. Seru dan bagus. Bahasanya mengalir. Enak bacanya. Renyah deh..”
Nah, loh. Renyah-renyah, emangnya makanan hehe.
Hidungku langsung mekar.
”Kayaknya Kang Dey itu orangnya lucu abis, kocak tapi pinter meramu kata-kata”
Kocak-kocak, lucu pula. Emangnya aku pelawak, iiisshhh…orang yang sekian nih yang ngatain aku lucu huhu…nasib jadi orang tukang ngocol!
”Makasih atas pujiannya. Tapi kamu kan belum lihat karakter aku yang sebenarnya. Itu kan hanya tulisan saja”
”Tapi feeling-ku mengatakan bahwa Kang Dey adalah orang yang seru, baik dan humoris. Titik!”
Maksa sekali, ahihiiii...
”Baiklah, terserah kamu saja haha...”
”Apaan sih, Kang Dey. Jadi, boleh nih curhat?”
“Boleh saja  habisnya ngga enak, tar kamu kecewa lagi. Padahal kamu udah muji-muji aku barusan haha...”
”Kang Dey bisa aja, hehe...”
”Sok atuh cerita!”
”Sok atuh itu apaan, Kang Dey? Aku ngga ngerti”
”Oh, artinya silakan cerita. Itu bahasa sunda. Kang Dey kan orang sunda”
“Oh, begitu. Kang Dey tau kan, sebentar lagi tanggal 14 Februari?”
”Tau dong. Anak TK juga tahu hehe. Emang kenapa dengan tanggal itu, kamu mau nikah? ”
“Nikah apaan? Aku kan masih ijo, masih SMP, Kang Dey. Masa iya nikah. Bukan itu”
Ia memasukkan icon emotion cemberut tujuh biji diakhir kalimat.
Oh, masih SMP ya…kirain…
Kuklik foto disudut jendela chat. Lalu kulihat profilnya. Ternyata benar, dia masih bocah. Namanya, Aulia Rahma. Umurnya empat belas tahun.
“Maaf. Kang Dey baru tau kalau kamu anak SMP. Emang ada apa dengan tanggal dan bulan itu? Serius amat kayaknya....”
Aku bertanya serius.
”Hari Valentine’s Day, Kang”
Gubraaaak...! Kirain apa?
”Lalu?”
”Kok lalu sih, Kang Dey. Apa yang harus aku lakukan untuk menyabut hari berwarna merah jambu itu? Tinggal seminggu lagi kan”
Harus gitu, menyambut-nyambut segala…kalo bulan puasa sih bagus disambut, lha, ini…
”Emangnya, kalo seminggu lagi kamu mau apa?”
”Kok mau apa? Kang Dey ngaco, ah”
”IIIIsssshhhh....”
”Apa? Weee...”
”Kamu tau, apa Valentine’s Day itu, Dek?”
”Hari kasih sayang, kan?”
”Bukan itu. Maksud Kang Dey, sejarah dari Hari Kasih Sayang itu, kamu tau nggak?”
”Meneketehe!”
”Nggak tau kok, ikut-ikutan merayakannya”
”Ya, nggak pa-pa kan. Meramaikan suasana ”
Meramaikan, pasar malem kali ramai...
”Kamu mau tau ngga, sejarah dari Valentine’s Day”
”Kang Dey tau, ya. Mau dong, Kang. Please, give me know! Aku kan paling males belajar sejarah. Tapi kalau diceritain sih mau-mau aja”
”Begini sejarahnya...”
Kuceritakan secara singkat tentang apa itu Valentine’s Day.
Valentine’s Day yang asal muasalnya itu peringatan kematian pendeta yang kasmaran, kini jadi perayaan yang digandrungi kaum muslim. Hanya karena mereka nggak tau apa itu Valentine’s Day.
Banyak versi mengenai peringatan hari kasih saying ini. Ada versi yang mengatakan bahwa pendeta bernama Saint Valentine yang dihukum mati oleh kaisar Claudius II. Penguasa Romawi abad ke-3 Masehi ini menganggap sang pendeta bersalah karena memberkati sepasang remaja yang terlanjur bergaul bebas. Dan sebelum menikah dia meninggalkan surat pada kekasihnya yang isinya antara lain__be my valentine.
Ada juga versi lain peringatan hari kasih sayang ini dikaitkan dengan sebuah pesta bernama Lupercalia. Pesta ini ajang mencari jodoh masyarakat Romawi kuno. Muda mudi berkenalan dan bercinta dalam pesta tersebut.
Jadilah 14 Februari diperingati sebagi hari bercinta. Bercinta yang diplesetkan jadi kasih sayang. Yang intinya sih membiasakan hubungan bebas dengan lawan jenis.
Masa hari buat orang berbuat mesum kok dirayakan. Kalau buat non-muslim sih, silakan aja. Itu mah urusan mereka. Tapi bagi kita yang muslim, ngga banget kale.
”Oh, begitu ya, Kang. Trus, gimana, Kang?”
”Kamu muslim, kan?”
”Iya, dong muslim. Islam. Di KTP doang sih, haha...”
Aku tersenyum lebar.
Bisa juga nih bocah ngelucu...
”Sebaiknya kita jangan ikut-ikutan merayakannya, Dek”
”Kenapa, Kang. Kan cuma ikut-ikutan merayakan doang. Tanpa ada maksud apa-apa”
”Meskipun ngga ada maksud apa-apa, tetap aja ngga boleh, Dek. Itu budaya non-muslim. Nabi kita melarang kita mengikuti suatu kaum. Karena kalo kita ngikutin budaya suatu kaum, maka kita akan digolongkan sebagai kaum mereka. Jadi kalo kaum kafir punya budaya apa gitu misalnya, trus kita ngikutin apa yang mereka lakukan. Maka, kita termasuk golongan mereka”
”Oh, begitu ya, Kang. Aku baru tau. Syerem banget, ya. Kalau kita sampai digolongkan ke dalam golongan orang kafir. Ngga mau ah, Kang. Walaupun Islam Rahma masih KTP, tapi aku ngga mau kalo harus digolongkan golongan orang kafir, hiiiiyyy...”
Aku menghembuskan nafasku. Lega. Nasehatku masuk. Alhamdulilah.
”Tapi gimana ya, Kang”
”Apa lagi yang gimana? ”
”Pacarku ingin merayakannya”
Bujug, pacar? Katanya masih ijo, kok udah pacaran...
”Emangnya kamu punya pacar, Dek?”
”Iya dong, Kang. Masa hari gene masih jomblo. Ngga banget. Tar aku galau lagi hihi...”
”Kenapa juga harus pacaran?”
”Lha, temen-temen aku udah pada punya pacar semua. Masa aku engga, Kang Dey. Tar aku kesepian dong. Merana karena dari musim duren sampe musim rambutan, ngga laku-laku”
”Itu mah lagu. Ckckck...berarti kamu ikut-ikutan lagi dong. Seperti Valentine’s Day. Kamu pacaran juga karena ikut-ikutan. Latah itu namanya”
”Iya sih. Emang kenapa, Kang? Ngga boleh gitu, kita ikutan orang?”
“Boleh-boleh aja ikutan orang, selama yang diikutin itu bener. Hal-hal yang positif. Bermanfaat. Tapi kalau yang negatif. Dan ngga bener mah jangan atuh”
”Emang pacaran itu negatif, Kang Dey?”
”Tentu saja”
”Kok bisa?”
”Bisa dong. Kalo Kang Dey boleh tau, kamu dan pacar lakuin selama pacaran apa aja?”
“Apa, ya. Ketemuan dimana gitu. Bisa di bioskop, mall, museum, toko buku, kantin sekolah, ruang kelas kalo lagi sepi atau taman kota. Kita ngobrol apaaaa aja”
“Pas ngobrol, maaf nih, ya. Pernah ngga, cowok kamu itu pegang tangan misalnya”
“Hahaha…pegang tangan sih sering kali, Kang Dey. Namanya juga orang pacaran. Masa iya, mau jauh-jauhan. Itu sih orang musuhan hehe. Bahkan lebih dari itu juga pernah”
Aku terperangah.
Lebih dari itu, apa maksudnya?
”Misalnya?”
”Dia sering belai-belai rambut aku, peluk aku, rangkul aku, juga...cium aku...”
Lututku mendadak lemas.
”Bahkan dia pernah ajak aku Ml, Kang Dey”
Aku terperangah.
”Kamu mau?”
Aku bertanya dengan dada berdebar-debar.
”Enggalah, Kang Dey. EMANGNYA AKU CEWEK APAAN. Tar kalo aku hamil gimana? Aku kan masih belia. Jalanku masih panjang. Aku masih ingin kuliah dan kerja. Pengen bahagiain ortuku. Tar kalo hamil, harus nikah dong hikkk hikk...ngga banget”
Syukurlah, aku jadi lega.
”Kalo kamu udah tau bahaya pacaran itu begitu, kenapa kamu masih pacaran juga”
”Yang pentingkan aku bisa jaga diri, Kang Dey”
”Jaga diri apaan? Kalau dia masukkin obat tidur di minuman kamu trus kamu di...gimana? tekdung, deh... ;(”
”Amit-amit, jangan sampe Kang Dey”
”Kalo kamu ngga mau hal itu terjadi ma kamu, sebaiknya kamu ngga usah pacaran deh. Ibarat bermain api, kamu bisa kena asepnya, kena panasnya juga bisa terbakar. Dengan resiko sebesar itu ngapain kamu maju terus. Padahal tujuan hidup kamu ke depan udah kamu rancang sebaik mungkin. Kuliah, kerja dapet duit buat bahagiain ortu. Kenapa juga harus kamu isi dengan hal-hal yang akan membuat rencana itu bisa berantakan”
”Iya sih. Tapi aku pacaran kan karena ikut-ikutan aja”
”Dari pada ikut-ikutan orang, mending jadi diri sendiri aja deh. Lebih nyaman dan aman. Kalo yang dicontoh dan diikutinnya bener sih, ngga pa-pa. Nah, kalo yang ngga bener, bisa amburandul plus ngga karu-karuan deh kamu”
”Mending kamu belajar yang bener. Raih prestasi sebanyak mungkin. Dari pada pacaran yang hanya buang-buang waktu. Tenaga. Pikiran. Perasaan. Belum lagi tekanan batin karena cemburu dan patah hati. Ribet. Korban perasaan. Makan ati. Cape deh”
Bahkan ada yang bunuh diri segala. Beritanya lagi marak di teve. Bunuh diri gara-agara putus cinta. Bunuh diri karena hamil oleh pacar. Tapi ngga tega ngomongnya.
”Nyari yang santai-santai aja sih hidup mah. Jangan khawatir ngga laku, Dek. Jodoh kamu udah disediakan Allah, tinggal nunggu saatnya yang tepat aja. Nanti kalau sudahnya saatnya juga, kamu akan menemukan pasanganmu tanpa melalui pacaran segala. Yang penting kamu yakin aja. Kang Dey aja nikah tanpa pacaran kok hehe...”
”Dan kamu jangan sok kuat deh. Bisa jaga diri dalam berpacaran segala. Inget, Dek. Setan selalu mengganggu manusia dari berbagai celah. Sekali aja ada celah kosong, dia akan segera memasukinya. Dan segera membuat makar supaya kamu terjerumus, mengikuti jalannya. Mau kamu temenan ma setan. Kang Dey sih ogah”
”Aku juga ogah, Kang Dey”
”Kalo kamu ogah setan ikut andil dalam hidupmu, maka segerakan untuk melakukan hal-hal positif, hal-hal baik yang akan membuat setan lari bahkan terbirit-birit karena kamu ogah diajak untuk sejalan dengannya. Setan seneng banget ma anak seumuran kamu. Karena anak seumuran kamu, katanya sih masih mencari jati diri yang katanya hilang. Nggak jelas, ilang kemana hehe”
”Seneng nyari perhatian, suka dengan lawan jenis, meniru selebritis, nyari idola buat dicontek gaya rambut, gaya berpakaian juga gaya hidupnya yang kadang-kadang ngga sesuai dengan budaya juga agama kita. Emosi anak seumuran kamu juga belom stabil, masih meledak-ledak. Grusa-grusu tanpa aturan. Nah, semuah sifat-sifat itu akan jadi peluang empuk untuk setan buat menggoda kamu”
Puas aku memberondongkan semua saran plus nasehat buatnya. Nafasku ngos-ngosan. Lupa ambil nafas saat menulis karena terbawa emosi.
Lama sekali. Tidak ada jawaban di layar chat. Aku menduga-duga.
Jangan-jangan dia tersinggung. Tapi, bodo ah. Aku kan hanya ngasih saran doang. Diterima, syukur. Kalo ngga, kebangetan hehe.
Kututup jendela chat.
Lalu aku pun mulai membaca kembali note yang di tag Lee Young Jay. Dia menjelaskan tentang penggunaan (eul, reul, i dan ga) pada kalimat dalam bahasa Korea. Juga contoh-contohnya.
”Makasih banyak saran dan nasehatnya, Kang Dey”
Jendela chat muncul lagi.
Rahma? Sykurlah, dia ngga marah...
”Iya, sama-sama. Lama banget balesnya. Kirain kamu marah hehe...”
”Kenapa harus marah? Apa yang kang Dey tulis itu benar semuanya. Aku aja yang selama ini bebal. Sebenarnya aku juga udah ngerasa ngga nyaman pacaran, Kang Dey. Tapi aku tetap memaksakan diri pacaran supaya aku ngga diejek temen2 sebagai cewek ngga laku karena ngejomblo”
”Bener kata kang Dey. Aku mau, be my self aja deh. Menjadi diri sendiri aja. Capek jadi orang lain. Ikut-ikutan orang. Kesannya aku jadi robot dalam kehidupanku ini. Padahalkan aku manusia bebas. Bebas mengeekspresikan diriku sendiri. Mau ngapain kek. Selama itu benar dan positif, kenapa ngga. Aku hidup kan buat aku, orang tuaku, dan juga masa depanku. Jadi buat apa ikut-ikutan orang kalo itu ngga ada manfaatnya buatku”
”Sip! Itu baru namanya pelajar yang oke! Akan kang Dey dukung dan bantu doa agar masa depanmu gemilang. Semangat!”
”Semangat! Haha...”
”Trus, pacarmu gimana, Dek?”
Aku meledeknya.
”Putus aja lah. Ngapain juga. Toh, selama jalan sama dia juga aku nggap dapet kesenangan apa pun. Dia terlalu banyak minta ini-itu. Merajuk kalo permintaannya ngga dikabulin. Males, ah. Dia manja dan menyebalkan. Kalo jalan dan makan aja seringnya aku yang ngeluarin duit. Bukannya aku peritungan, Kang Dey. Tapi kan seharusnya gantian gitu. Dia sih ngga. Maunya akuuuu aja. Banyak alesannya. Kayaknya banyak bo’ongnya juga deh. Dan baru sekarang ma aku kepikiran, kalo dia suka ngibul”
”Dia pikir hanya karena dia ganteng. Idola para cewek di sekolah. Lantas mau seenaknya aja memanfaatkan kelebihannya itu untuk menjeratku dalam kata-kata gombal bernada cinta. Huh, nyesel baru insyaf sekarang. Makasih ya, kang Dey. Sekarang aku lega. Pikiranku udah terbuka lebar. Aku ngga mau beresiko untuk hal-hal yang negatif”
”Wow, Rahma sudah mulai beranjak dewasa. Begitulah orang pacaran. Hanya sifat yang baik-baik saja yang mereka perlihatkan. Mereka cendrung bertopeng. Agar terlihat baik dan sempurna supaya pasangannya bertekuk lutut dan semakin cinta”
”Iya, Kang Dey yang membuatku dewasa dalam semalam haha”
Kami pun tertawa bersama. Di rumah masing-masing. Di depan komputer masing-masing. Tapi di dunia maya yang sama. Dan pikiran positif yang sama.
Balaraja, 07 Februari 2012

Jumat, 19 November 2010

Aku, Dia dan Persahabatan

Aku kenal dia saat kami masih berseragam abu-abu. Dia duduk tepat dibelakang kursiku. Dia nggak banyak omong. Bicaranya irit banget, seperlunya aja. Bahkan dia cendrung menutup diri. Dia pemalu dan rendah diri. Dikemudian hari setelah aku akrab dengannya, aku baru tahu kenapa dia minderan. Ternyata dia nggak PD dengan suaranya yang kecil.
Aku nggak tau bagaimana mulanya aku dan dia bisa akrab. Yang jelas, aku yang cerewet ini punya banyak andil dalam membuka sikap introvert-nya. Terutama ngajarin dia agar dia percaya diri, nggak terlalu irit omong dan banyak mengumbar senyum. Selalu menegakkan kepala saat berjalan. Dan jangan sampai menyembunyikan diri. Seperti tanaman putri malu, langsung meredupkan daunnya apabila disentuh.
Gencarnya aku membombandrdir dia dengan segala hal agar pikirannya lebih terbuka. Agar dia berani mengemukakan pendapatnya. Membela diri saat disudutkan. Dan jangan mau diperalat oleh orang lain karena kebaikan hatinya. Dia orangnya nggak tegaan. Dan akhirnya lambat laun yang kulakukan membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit dia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Tiga tahun dibangku menengah umum membuat aku dan dia semakin dekat dan akrab. Dan kedekatan itu tetap berlanjut hingga kami duduk dibangku kuliah. Meski kami mengambil jurusan yang berbeda. Dia ngambil keguruan. Sedangkan aku ngambil desain grafis. Aku ngambil jurusan itu bukan karena aku jago desain, tapi karena aku ogah jadi pengangguran. Dan pengen ngerasain jadi mahasiswa. Juga karena aku ogah jadi buruh pabrik. Hehe.
Sedangkan dia ngambil guru, mungkin karena gayanya cocok banget dengan predikat yang akan dia sandang kelak “Bapak Guru”. Rambut klimis. Kumis tipis. Sepatu mengkilat. Baju selalu dimasukkan, rapi banget. Dengan stelan kemeja dan celana bahan. Itu seragam bakunya dalam keseharian. Formil banget. Tapi dia merasa PD dengan tampilannya itu. Meskipun aku rasa, kalo dia ngerubah sedikit aja penampilannya agar lebih gaul. Pasti dia akan jauh lebih keren. Hehe.
Tapi sepertinya dia enggan keluar dari gaya bakunya itu. Ya, itu haknya sih. Dan sebagai sahabatnya, aku bener-bener nggak bisa ngerubah gayanya itu meski aku udah berbusa-busa ngomong.
“Lo keren banget tau kalo pake kaos ini, pake celana selutut ini, pake ini pake itu….” Tapi dia tetap keukueh sumeukeuh pake pakaian kebesarannya itu. So never mind, biarkan dia dengan gaya pakaiannya itu. Yang penting dia ngerasa nyaman. Kenapa aku lakukan itu? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Lulus kuliah, aku dan dia masih tetap akrab dan dekat. Meski kerikil-kerikil tajam berupa pertengkaran kerap mewarnai. Tapi itu nggak menyurutkan langkah persahabatan kami. Aku dan dia masih tetap bersahabat. Dan kami malah tambah akrab kalau habis bertengkar dan diem-dieman.
Selama kami bersahabat, aku dan dia sering berbagi cerita. Tapi ceritaku lebih mengalir deras. Bahkan dia sampai nggak bisa menampungnya. Meluber kemana-mana. Tapi dia sebaliknya, ceritanya tersendat-sendat bahkan bisa macet total kalau aku nggak memancingnya terlebih dahulu.
Dia lebih senang menjadi pendengar yang baik, ketimbang pencerita yang baik. Dia selalu gagap kalo harus nyeritain suatu masalah atau ganjalan yang dia hadapi. Bingung katanya, harus mulai dari mana kalau harus bercerita.
Tapi lagi-lagi dengan kelihaianku, dia bisa buka mulut setelah aku korek-korek, meski kemacetan sering menghadang disana-sini. Aku dengan sabar berusaha menjadi pendengarnya. Karena sekali aku sela, maka buyar sudah alur cerita yang udah dia susun dengan susah payah. Hingga plotnya pun hilang entah kemana. Dan intriknya pun nggak muncul. Emang lagi menulis cerpen apa, pake plot dan intrik segala. Hehe.
Kami juga kerap menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama. Kemping, berwisata, ke pameran buku, konser nasyid, nyari buku loakan di Pasar Senen, nonton di Twenty One, makan di café or resto atau wisata kuliner dipinggir jalan, berburu DVD bajakan, sampe nyari baju ke mall.
Semua hal itu kami lakukan dengan semangat dan kegembiraan mengisi hidup dan masa lajang. Tanpa memikirkan umur yang mulai kepala tiga. Kami jalani hidup ini mengalir seperti air dengan riaknya. Beban banyak, masalah banyak, tapi keceriaan dalam mengisi hidup terus kami gaungkan. Bahwa nggak ada masalah yang nggak ada jalan keluarnya. Dan kami saling membantu dan menguatkan satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
Kini dia menjadi seorang lelaki yang pandai bergaul. Kemana pun dia pergi dia langsung bisa mendapatakan teman baru. Berbeda denganku. Aku gurunya dalam mengajarkan etika pergaulan, tapi aku gagal memperaktekkan teori yang udah aku doktrinkan kepada dia. Bagaimana caranya bergaul dengan baik dan benar. Tanpa harus kehilangan arah dan jati diri yang kita miliki.
Tapi dia nggak pelit berbagi teman baru. Dia akan selalu mengenalkan teman-teman barunya kepadaku. Tanpa dia, mungkin sampai saat ini aku nggak akan punya banyak teman. Karena aku pemalu. Nggak bisa memulai berteman terlebih dahulu.
Namun akhir-akhir ini persahabatanku dengannya mulai merenggang. Bukan karena banyak aktifitas dan kesibukan, bukan juga karena jarangnya intensitas kami bertemu. Tapi karena sms yang dia kirimkan kepadaku. Cukup membuatku kehilangan kata-kata. Meski sms itu hanya berisi sepuluh suku kata.
“Tolong ya, Dey. Jangan buka keburukan aku pada calon istriku”
Ya, Allah…membaca sms itu aku merasa ditabok berulang-ulang. Aku kaget bukan main. Aku shock. Kok kesannya aku lebay banget, ya. Tapi itulah yang aku rasakan. Aku ngerasa nggak ada harganya.
Bagaimana mungkin seorang sahabat yang udah bertahun-tahun bersahabat denganku bisa melontarkan kata-kata seperti itu. Tidakkah persahabatan kami yang lama itu mampu membuatnya mempercayai sahabatnya ini? Tidakkah masa yang lama dalam persahabatan itu mampu membuatnya menilai, melihat dan merasakan sifat dan karakterku?
Toh, selama ini aku nggak pernah bermain watak dihadapannya. Aku nggak pernah jaim dihadapannya. Aku selalu menampilkan apa adanya diriku. Tanpa ada yang kututupi sama sekali. Tapi mengapa kepercayaan itu nggak dimilikinya? Apakah tahun-tahun yang udah kami lewati itu masih nggak cukup untuk memupuk kepercayaannya kepadaku?
Aku benar-benar nggak habis pikir dengan jalan pikirannya. Apakah dia pikir aku sanggup membeberkan segala rahasia dan keburukannya kepada orang lain? Sebawel-bawelnya aku, aku nggak akan bawel kalo urusannya udah berbau RAHASIA. I’ll shut up. Semarah-marahnya aku ama dia dan sebesar apa pun masalah antara aku dan dia. Aku akan tetap menjaga rahasianya dengan aman. Dan aku nggak akan mungkin membuka aibnya. NGGAK AKAN. Karena bagiku, itu sama aja artinya aku membuka aibku sendiri. Karena dia adalah SAHABATKU.
Memang itu haknya, untuk percaya atau nggak padaku. Tapi lamanya persahabatan kami tidakkah cukup menjadi bukti bahwa disana ada kesetiaan, kejujuran, kepercayaan dan kesalingmengertian. Dariku untuknya. Karena aku pun sebagai sahabatnya, memiliki semua perasaan itu. Aku mempercayainya. Meskipun misalnya dia membohongiku. Aku akan tetap memaafkannya. Karena dia adalah SAHABATKU.
Mungkin bagi sebagian orang sms itu kata-kata yang sepele banget dan nggak ada artinya sama sekali. Tapi bagiku BESAR sekali artinya.
Artinya dia sama sekali nggak mempercayai aku sebagai sahabatnya sendiri. Dan itu sangat menyakiti hatiku. Gimana nggak coba. Sebagai sahabat yang baik, aku selalu menutupi semua keburukannya dari orang lain yang sam-sama kami kenal. Kusimpan segala rahasia dan cerita yang dia ceritakan kepadaku. Kugigit erat-erat hingga nggak tercecer dan jadi bahan perbincangan orang lain. Kenapa? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Kusayangi dia dengan setulus hati. Kuberikan dukungan moral saat dia anjlok ke titik nol. Kusemangati dia agar kuat saat dia lemah. Kutemani dia kemanapun dia ingin pergi saat nggak ada halangan dan kesibukan yang menghalangiku. Untuk membunuh sepi yang sedang menelikungnya. Dan aku tulus ikhlas dalam melakukannya. Kenapa? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Tapi kenapa dia tega melontarkan kata-kata seperti itu?
Dan setelah semua dikomunikasikan. Dikonfirmasikan. Ada apa dan mengapa? Semua masih nggak jelas bagiku. Tapi sekali lagi aku memaafkannya. Karena dia adalah SAHABATKU.
Dan saaat aku bertemu muka dengannya beberapa hari yang lalu. Dia tampak berbeda. Meski dia didepanku. Tapi hatinya nggak ada disana. Dia membuat sekat diantara kami. Meskipun samar tapi dengan jelas aku bisa merasakannya. Acuh bicaranya, patah lengkung senyumnya, gelisah duduknya dan dia enggan menatap mataku. Membuang arah pandang kesegala penjuru. Tidak kepadaku. Ada apa dengannya?
Mungkinkah persahabatan kami sudah retak? Seperti halnya gelas yang retak, dan nggak mungkin bisa utuh kembali?
Meskipun aku nggak ngerti harus bagaimana, tapi aku masih menunggunya disini untuk memberinya ruang dan waktu. Agar dia leluasa berpikir. Akan dibawa kemana persahabatan aku dan dia. Mengapa aku lakukan itu? Karena aku masih SAHABATNYA.
(untuk dia, sahabatku yang saat ini nggak bisa kugapai…)
Kamar bujang, 19 Nov 2010

Jumat, 02 Juli 2010

DUA SISI HATI

Aku baru aja keluar dari kamar mandi pas ngedenger suara ribut-ribut dari ruang tamu. Seperti biasa, setiap akhir pekan kakak beradik Mamed dan Juned selalu aja mouth war. Dan masih topik yang sama yang mereka ributin. Mamed gak suka kalau abang satu-satunya itu ngedate dengan musuh bebuyutannya Si Hilda. Anak gadis tunggal ibu kost.
“Pokoknya sampe kapan pun aku gak ridho dunia akhirat, Kang Juned pacaran ama cewek tengil dan matre itu” sembur Mamed emosi. Lebay banget! Dunia akhirat. Gak sekalian setinggi langit dan sedalam lautan. Hehe.
“Terserah kamu lah, Dek. Capek aku kalo harus berantem terus ama kamu. Aku yang ngejalanin hubungan itu kok, kamu yang berkeberatan” suara Juned lirih, kontras dengan suara adiknya yang meledak-ledak. Sambil meraih kunci motornya dan keluar dari kosan yang kami diami.
Aku keluar munuju ruang tamu sambil membawa cemilan ditangan, seiring dengan deru motor Juned ninggalin halaman. Kulihat Mamed masih tiduran dengan remot ditangannya, disudut sebelah kiri merapat ke tembok kamar. Tempat kesukaannya. Matanya menatap kosong layar kaca yang lagi nayangin berita sore. Acara yang paling disukainya selain balapan motor, kontes menyanyi, reality lebay yang banyak menebar kesedihan dan film horor.
“Cemberut aja lo. Bukan buruan mandi. Bau tau…” ucapku sambil duduk dengan punggung bersandar ke tembok. Menyindir kebiasaan buruknya yang jarang mandi itu. Kontras banget ama aku yang udah seger, wangi karena udah luluran pake lulur yang gambarnya anak raja.
Dia cuek aja dengan sindiranku, gak pernah nunjukin kalo dia tersinggung kalo aku sindir soal kebauannya itu. Coz menurutnya, dia gak bau sama sekali. Heran ya, bau sendiri kok gak bisa terdeteksi. Aku aja yang jaraknya dua depa dari dia bisa nyium prengusnya. Dia sendiri malah kagak nyium. Itu idung apa talang aer sih. Hehe.
Cowok berkulit sawo mateng itu mendengus keras. Kalo ada kertas dijamin pada terbang semua saking kerasnya. Kentara banget sebelnya. “Kesel gue sama Kang Juned, Dey. Udah dibilangin kalo Miss Gemblong itu cewek tengil, centil, matre dan hanya pengen morotin duitnya doang, Kang Juned masih aja bandel. Masih aja ngedate ama cewek bertubuh gemblong itu” cerocosnya menumpahkan uneg-uneg yang bercokol dikepalanya. Menjuluki anak ibu kost dengan gemblong karena tubuhnya yang lumayan subur.
“Terus mau lo gimana? Kesenangan orang kok dilarang-larang” jawabku asal.
Mamed mendelik. “Gue maunya mereka putus-tus-tus. Ngapain jalan ama cewek gak bener kayak gitu” ucapnya sambil memajukan bibirnya. Dua senti kedepan. Halah, panjang amat. Hehe.
Aku terkejut. Biskuit coklat yang aku makan berhamburan keluar. “Apa maksud lo dengan cewek gak bener, Med? Hati-hati lo, kedenger Emaknya kita bisa diusir secara gak hormat dari kosan ini” ucapku tertahan. Takut suara yang aku keluarkan dihembus angin dari ventilasi dan sampai ketelinga ibu kost yang peka itu.
“Sebodo amat. Kalo gue diusir, dengan senang hati gue akan hengkang dari kosan ini. Gue udah enek ngeliat perempuan sundal itu”
“Med! Hati-hati kalo ngomong” aku tekan suaraku sampe tenggorokanku sakit.
“Kenapa emangnya, Dey? Lo takut” Dia malah nantangin.
“Itu namanya fitnah, Med” semburku gak suka.
“Fitnah apaan. Itu bener, Dey. Gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri, kalo dia tuh bermesraan dengan seorang yang kukenal…”
“Ooh kamu ketauan, pacaran lagi…” sambungku bernyayi lagu Mata Band. ”Nyanyi lo…” aku mesem.
“Nggak! Gue baca puisi” ujarnya terusik karena luapan emosinya terpotong oleh gurauanku.
“Dih, ngambek. Gue nyela cuma selingan doing, Tong. Iklan gitu. Kasian mulut lo tar mencong kanan-kiri kalo gue gak kasih iklan hehe” ucapku sambil tergelak-gelak.
Cowok yang lahir dan dibesarkan di kota Cirebon itu asli manyun dan gondok banget karena gurauanku yang asli garing.
“Dia jelas-jelas ngeduain kakak gue, Dey. Tapi kakak gue gak percaya. Padahal gue ceritanya panjang banget, sepanjang jalan Balaraja-Cirebon. Trus gue juga ceritanya pake efek-efek dramatis supaya meyakinkan Kang Juned bahwa cerita gue murni dan benar apa adanya tanpa direkayasa. Seperti adegan hot Ariel-Luna” ucapnya ngos-ngosan persis waria abis dikejar petugas Tantrib. Urat-urat dipelipisnya berdenyut-denyut. Melanjutkan kemarahannya yang sempat terpotong olehku.
“Oh gitu ya, Med. Lo ngeliat dia lagi mesra-mesraan ama siapa? Dimana? Jam berapa? Harus kongkrit, runut dan jelas. Biar pas lo beberin ke dia, dia gak bisa ngelak apa lagi sampe sembunyi-sembunyi seperti artis-artis yang suka bikin sensasi itu loh” cibirku dengan muka enek. Inget kasus selebritis kita yang doyannya nyari sensasi mulu.
“Mesra mah kata yang kurang menggigit Dey. Yang tepat itu mesum. Dia mesum dengan siapa? Dengan Si Burhan. Si biang rese yang suka malakin orang-orang di pasar itu. Asli pasangan yang klop. Yang satu biang onar, yang satu biang rese, tukang gossip pula” Mamed mencibir. “Tapi heran kakak gue gak percaya ama adiknya ini. Dan dia lebih percaya ama Si Gemblong yang terbuat dari ketan item itu. Padahal sebagai adik gue sayang banget ama Kang Juned, Dey. Gue gak mau dia dimanfaatin dan disakiti. Sakit ati gue ngeliatnya” ucapnya parau, matanya berkaca-kaca.
Aku menarik nafas perlahan. Tumben lo bisa mellow, Med. Bisikku dalam hati. “Gue ngerti banget ama kerisauan lo itu, Med. Deh, bahasa gue kagak nahan, risau, bo hehe.” Aku ngakak. Mamed asli mendelik segede jengkol. “Tapi gue rasa, cara lo ngingetin Kang Juned, dengan cara lo tadi itu kurang tepat dan gue rasa gak bakal ngefek. Dan itu udah kebukti sendiri kan ama lo. Dia sama sekali gak percaya ama investigasi lo yang super tergesa-gesa itu” ucapku berhati-hati. Takut menyinggung persaaannya.
Meski teman satu kerjaku di pabrik sepatu ini paling anti dengan kata-kata manis, terutama kalo udah ngomong ama siapa aja. Ia begitu tedeng aling-aling. Tepat mengenai sasaran. Meski yang diajak bicaranya udah mengerut karena tersinggung, tapi dia masih aja enjoy bicara. Seolah kata-katanya madu manis kali. Padahal pahitnya ngalahin daun papaya rebus. Kata lainnya mah dia gak ngeh kalo orang lain sudah tersinggung dengan kata-katanya.
“Kurang tepat gimana, Dey? Emangnya gue harus ngomong pake cara apa ama Kang Juned. Dengan gurindam lagu, acak pantun dan syair puisi. Atau kupecahkan saja gelasnya biar ramai…” semburnya mencemooh. Akhirnya dia berpuisi juga. Dian Sastro aja kalah cara ngucapinnya. Saking ancurnya Mamed berpuisi. Hehe.
Aku nyengir. “Lebay lu! Ya gak gitu juga kali, Med. Maksud gue tuh gini. Kang Juned kan lagi madly in love ama Hilda. Jadi seperti apa pun kelakuan dan tingkah laku Hilda. Selama masih bisa ditolelir ama dia, ya dimaafin lah, namanya juga cinta. Ayang tersayang, uhuy…”
“Halah cinta apaan. Tai kucing! Masa diduain masih bisa ditolelir” semburnya dengan wajah yang super duper muak. Dua tiga muncratan air ludahnya mengenaiku.
Aku nyureng sambil mengelap hujan lokalnya dengan ekspresi dijijik-jijikkan.
“Masalahnya, dia gak ngeliat sendiri kalo Hilda selingkuh ama cowok lain, Mamed. Yang ngeliat tuh only you, cuma lo. Trus lo ngasih taunya pake urat pula, so jangan salahkan Kang Juned, kalo dia gak percaya. Coba lo ngasih taunya pake bihun, daun sesin ama toge. Pasti dia makan tuh bakso. Ups, gak ada hubungannya ya…” Aku tertawa ngikik. Mamed melotot. Perasaan dari tadi adegannya melotot mulu. Gak ada kata lain apa, mencak-mencak kek, hentak-hentak kaki kek. Emang anak TK ngambek.
“Coba lo ngomongnya gak pake emosi, tapi tentrem karta raharja, trus lo ajak dia supaya dia ngeliat sendiri apa yang Hilda perbuat, bisa jadi dia akan percaya dengan kata-kata mutiara yang lo sodorin”
“Bisa jadi, Dey? Emang ada kemungkinan lain?”
“Ya, adalah dodol” semburku puas. Kapan lagi coba bisa membom dia. Gantian lah masa aku doang yang selalu dia bom dengan kata-katanya yang super pedas itu. Masakan Padang aja kalah pedes. Halah, apa sih. Segala masakan Padang dibawa-bawa. Emang lagi wisata kuliner ama Farah Quin.
“Meski Kang Juned udah ngeliat sendiri yamg dilakuin Hilda. Ada dua kemungkinan versi gue, Med. Pertama, putus karena gak terima diduain. Dan itu maunya lo kan. Yang kedua, masih tetap berlanjut karena Kang Juned maafin Hilda” ucapku berspekulasi.
“Najis amat kalo sampe Kang Juned masih maafin dia, Dey”
“Lo gak bisa ngomong sesadis dan senista itu pada orang yang lagi jatuh cinta, yang kata Titiek Puspa berjuta rasanya, Med. Lo kan belum ngerasaain sendiri kalo love is blank. Saking butanya. Dara juling disangka bidadari” ucapku sambil ngakak. Mentertawakan ucapanku sendiri.
Mamed mesem doang. Selera humornya masih menguap. Tertutupi dendam kesumat pada anak gadis ibu kost itu. Dara hitam manis yang terlihat sinis.
$$$

Pepatah mengatakan, serapat apapun bangkai ditutup, tetep kecium juga baunya. Orang bau ketek aja gak ditutupin tetep kecium. Halah, apa coba. Dan begitu juga ama hubungan Juned dan Hilda. Lama-lama, akhirnya ketahuan juga kalau selama ini Juned diduain ama tuh cewek. Tentu aja Juned murka abis. Semurka Pak Raden kalo kumisnya digundulin orang. Dan semua itu berkat campur tangan Mamed. Dan hubungan mereka pun bubar-bar-bar. Kayak orang lagi nonton layar tancep langsung bubar, pas hujan tiba-tiba aja mengguyur.
Juned memutuskan untuk kembali ke Cirebon, tempat kelahirannya. Untuk menentrakamkan hatinya yang terlanjur hancur berkeping-keping jadinya.kini air mata jatuh bercucuran. Hus, malah nyanyi.
Dan gak lama kemudian, Mamed pun menyusul jejak langkah sang kakak, dia undur diri dari pabrik sepatu. Meninggalkanku sendirian di kosan yang samar-samar tercium bau Mamed yang tertinggal di langit-langit kamar. Karena ia sudah kelewat muak ngeliat tingkah Hilda yang dimatanya super duper menjijaykan. Dia nyari kerjaan baru di Karawang. Dan dengan kepintaran otaknya juga keahliannya, gak lama dia pun mendapatkan pekerjaan.
“Betah lo disini, Med?” aku bertanya sambil menyelonjorkan kaki. Pegal. Setelah seharian ini melakukan perjalanan jauh menuju kosan Mamed di daerah Karawang. Betisku terasa membesar sampe ngalahin gedenya tales Bogor. Setelah tiga bulan kami gak bersua. Terpisah oleh jarak dan waktu.
“Lumayan, Dey. Minimal gue gak ngeliat muka Si Gemblong itu lagi. Yang diliat dari sudut mana pun gak akan pernah memancarkan keindahan sisi-sisi wanita” ucapnya seraya tersenyum. Dan ternyata dendam itu sudah mulai mencair.
“Sadis lu!” Aku lempar kepalanya pake bantal bola kesukaannya.
Dia tertawa. “Kerjaan gue lumayan enak, Dey. Teman-teman sepabrik gue juga asyik-asyik. Bahkan gue sekarang bisa akses internet selama gue kerja tanpa mengganggu kinerja gue. Facebookan gue gak pernah keluar duit” ucap si setan facebook itu dengan bangga.
“Kok bisa?” aku heran ngedenger penjelasannya itu. Dapet kerjaan enak amat. Bisa berselancar kedunia maya tanpa jeda.
“Bisalah. Gue” semburnya jumawa dan berkesan meremehkan. Asli songong abis.
”Syukur deh” aku ikut bahagia kalau sahabatku itu bahagia. Namun kebahagian yang baru kurasakan itu tak berlangsung lama. Jantungku serasa melorot, pas ngeliat Mamed mengambil bungkus rokok di kusen jendela. Menyalakannya dan mulai merokok dengan nikmatnya.
“Gak usah ngeliat gue kayak gitu deh, Dey. Gue jadi malu…” ucapnya kemayu. “Gue ganteng ya sekarang”
“Ganteng dari Majenang. Pengen muntah gue…” semburku keki. “Gue kaget aja ngeliat lo sekarang ngerokok, Med. Sejak kapan kegilaan ini dimulai?” ucapku dengan nada sakartis. Aku gak suka dengan kebiasaan barunya itu. Merokok. Satu hal yang sangat dibencinya saat ia masih tinggal bersamaku. Dan kebencian pada rokoklah awal kami dekat dan bersahabat. Tapi sekarang. What going on?
“Hentikan tatapanmu itu, Dey. Tatapanmu itu seolah menggerus tulang-tulang dalam tubuhku. Aku tau, aku bersalah padamu, karena aku telah berani-beraninya merokok dihadapanmu. Sekarang aku pasrah, hukum apa pun, aku siap menerimanya” ucapnya dengan lebay, ngikutin gaya sinetron kita yang menjijaykan.
Aku gak bergeming sama sekali mendengar gurauannya itu. Mamed benar-benar merasa gak enak hati sekarang.
Perlahan Mamed menghembuskan asap rokoknya keluar. “Sejak gue tinggal disini, Dey. Toh, gak ngerokok juga gue tetep ngisep asepnya dari temen-temen sepabrik gue. Jadi sekalian aja gue ngerokok. Bereskan. Gue juga udah mulai nyobain minum-minum, Dey. Ke pub, clubbing, dugem. Seru, Dey…” Dia nyerocos riang. Tanpa beban. Bangga sekali.
Aku lemas mendengar daftar panjang tentang apa yang dilakukannya sekarang. Padahal jelas-jelas apa yang dilakukannya itu amat sangat gak bener. Keblinger. Dan lama-lama dia bisa klenger kalo masih melakoninya.
Dia benar-benar berubah sekarang. Dulu, jangankan untuk minum-minuman keras, melihat orang merokok aja dia bereaksi keras, sama seperti aku. Tapi sekarang dia melakoninya, ditambah pula miras. Perutku serasa diremas-remas. Miris dengan kelakuannya itu. Betapa lingkungan sangat berpengaruh besar dalam perkembangan seseorang yang tergerus oleh arus zaman.
“Terserah lo, Med. Kalo lo mau merusak tubuh lo dengan nikotin itu. Itu urusan lo. Lo mo kena kanker, jantung, impotensi, bengek, turun bero, TBC, gangguan kehamilan pada janin itu urusan lo. Tapi tolong, ngerokoknya di luar sono. Jangan di depan gue. Enek surenek gue!” semburku emosi. Mendorong tubuh gempalnya supaya keluar. Lupa kalau ini kosannya, bukan kosan aku.
“Iya deh…” Ia menurut. Beranjak keluar. Duduk dikursi semen di depan kosan. “Tapi jangan ngedoain gue sesadis itu kali, Dey. Meskipun perbuatan gue nista dan sudra, tapi gue tetaplah manusia biasa. Ngeri gue dengernya. Bulu-bulu disekujur tubuh gue berdiri semua nih” ujarnya dengan wajah bergidik ngeri. Asli acting banget.
“Tapi lo masih mau kan bersahabat ama gue, Dey?” Ia bertanya dengan wajah serius. Penuh harap. Tumben dia punya koleksi sememelas itu. Dasar buaya cap karung.
Aku terdiam. Menghembuskan nafasku perlahan. Meredakan emosi yang berdiam dikepalaku.
“Sampai kapanpun kita akan tetap bersahabat, Med. Gak perduli meskipun sekarang lo jadi bocah yang keblinger dan nggak bener. Rusak serusak baju loakan di Pasar Senen, gue gak perduli. Karena diluar hobi baru lo itu, lo tetep Mamed yang dulu. Yang hobinya menjatuhkan gue, pembunuh karakter terdasyat diseantero bumi, suka nakut-nakutin gue, ngerjain gue, tapi tetep baik hati kalo gue minta ajarin yang berbau teknologi. Meski gue gak memohon”
Mamed cengengesan mendengar rentetan ucapanku yang menjatuhkan juga memujinya itu.
Terus terang mengenal Mamed adalah anugerah gak indah dalam hidupku hehe. Karena dia aku yang semula gagap teknologi jadi melek teknologi. Dia tidak pelit untuk berbagi ilmu yang diketahuinya. Entah itu untuk urusan otomotif, ponsel juga komputer. Karena kalau udah urusannya teknologi, Mamed lah jagonya. Darinya aku banyak belajar tentang semua itu.
Meski tak kupungkiri berteman dengannya membuatku was-was bin sport jantung kalo berada di tempat umum. Takut dia menjatuhkan mentalku dengan kata-katanya yang tepat menuju sasaran. Menusuk dan bikin gondok. Secara dia ahlinya membunuh karakter aku. Kalo di film Bajay Bajuri, dia tuh tokoh Emak versi laki-lakinya. Tau kan bagaimana sepak terjang Emak membunuh karakter Mpok Hindun, Mpok Mina dan tetangga-tetangganya yang lain? Hehe.
Belum lagi kebiasaan buruknya nakut-nakutin aku kalo lagi nonton film horor. Ugh, jangan ditanya deh, bikin ilfill banget.
Pernah pas kita lagi nonton film horor barat bareng yang judulnya Final Destination. Dia membohongi aku bahwa adegan yang akan aku tonton sama sekali gak ada adegan yang nyereminnya. Dia udah nonton duluan pas aku lagi shif satu. Walau satu pabrik tapi kita beda shif sodara-sodara.
Nah, aku percaya aja dengan mulut manisnya itu. Dan pas aku lagi enjoy-enjoynya menyaksikan adegan yang dimaksud, tiba-tiba aku melolong histeris. Pasalnya apa yang dikatakannya adegan yang biasa itu, ternyata luar biasa mengejutkan. Jantungku serasa melorot dibuatnya pas ngeliat kesadaisan yang terpampang didepan mataku.
“Dasar Mamed gilaaaaa…!!!.” Teriakku histeris sambil menyerbunya dengan bantal guling ditangan. Dan dia sangat menikmati banget kalau dia bisa membuatku histeris seperti itu. Itu tontonan favorit dia. Melihatku gak karu-karuan. Wajahnya akan berbinar puas. Matanya memancarkan cinta. Dan aku benar-benar tersiksa. Siapa dia? Ternyata Si Mamed gila! Ugh, bener-bener bikin keki dan gregetan banget. Gregetnya ngalahin Sherina nyanyi.
Kamar Bujang, 29 Juni 2010
“Cerita ini buat sahabat gue yang jauh dimata, jauh dihati. Ups salah, dekat dihati ding hehe. Karena ketemu dia hidup gue lebih berwarna. Love you so much friend! Semoga persahabatan kita gak akan berakhir meski jarak dan waktu memisahkan kita. Forever…”