Jumat, 19 November 2010

Aku, Dia dan Persahabatan

Aku kenal dia saat kami masih berseragam abu-abu. Dia duduk tepat dibelakang kursiku. Dia nggak banyak omong. Bicaranya irit banget, seperlunya aja. Bahkan dia cendrung menutup diri. Dia pemalu dan rendah diri. Dikemudian hari setelah aku akrab dengannya, aku baru tahu kenapa dia minderan. Ternyata dia nggak PD dengan suaranya yang kecil.
Aku nggak tau bagaimana mulanya aku dan dia bisa akrab. Yang jelas, aku yang cerewet ini punya banyak andil dalam membuka sikap introvert-nya. Terutama ngajarin dia agar dia percaya diri, nggak terlalu irit omong dan banyak mengumbar senyum. Selalu menegakkan kepala saat berjalan. Dan jangan sampai menyembunyikan diri. Seperti tanaman putri malu, langsung meredupkan daunnya apabila disentuh.
Gencarnya aku membombandrdir dia dengan segala hal agar pikirannya lebih terbuka. Agar dia berani mengemukakan pendapatnya. Membela diri saat disudutkan. Dan jangan mau diperalat oleh orang lain karena kebaikan hatinya. Dia orangnya nggak tegaan. Dan akhirnya lambat laun yang kulakukan membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit dia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Tiga tahun dibangku menengah umum membuat aku dan dia semakin dekat dan akrab. Dan kedekatan itu tetap berlanjut hingga kami duduk dibangku kuliah. Meski kami mengambil jurusan yang berbeda. Dia ngambil keguruan. Sedangkan aku ngambil desain grafis. Aku ngambil jurusan itu bukan karena aku jago desain, tapi karena aku ogah jadi pengangguran. Dan pengen ngerasain jadi mahasiswa. Juga karena aku ogah jadi buruh pabrik. Hehe.
Sedangkan dia ngambil guru, mungkin karena gayanya cocok banget dengan predikat yang akan dia sandang kelak “Bapak Guru”. Rambut klimis. Kumis tipis. Sepatu mengkilat. Baju selalu dimasukkan, rapi banget. Dengan stelan kemeja dan celana bahan. Itu seragam bakunya dalam keseharian. Formil banget. Tapi dia merasa PD dengan tampilannya itu. Meskipun aku rasa, kalo dia ngerubah sedikit aja penampilannya agar lebih gaul. Pasti dia akan jauh lebih keren. Hehe.
Tapi sepertinya dia enggan keluar dari gaya bakunya itu. Ya, itu haknya sih. Dan sebagai sahabatnya, aku bener-bener nggak bisa ngerubah gayanya itu meski aku udah berbusa-busa ngomong.
“Lo keren banget tau kalo pake kaos ini, pake celana selutut ini, pake ini pake itu….” Tapi dia tetap keukueh sumeukeuh pake pakaian kebesarannya itu. So never mind, biarkan dia dengan gaya pakaiannya itu. Yang penting dia ngerasa nyaman. Kenapa aku lakukan itu? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Lulus kuliah, aku dan dia masih tetap akrab dan dekat. Meski kerikil-kerikil tajam berupa pertengkaran kerap mewarnai. Tapi itu nggak menyurutkan langkah persahabatan kami. Aku dan dia masih tetap bersahabat. Dan kami malah tambah akrab kalau habis bertengkar dan diem-dieman.
Selama kami bersahabat, aku dan dia sering berbagi cerita. Tapi ceritaku lebih mengalir deras. Bahkan dia sampai nggak bisa menampungnya. Meluber kemana-mana. Tapi dia sebaliknya, ceritanya tersendat-sendat bahkan bisa macet total kalau aku nggak memancingnya terlebih dahulu.
Dia lebih senang menjadi pendengar yang baik, ketimbang pencerita yang baik. Dia selalu gagap kalo harus nyeritain suatu masalah atau ganjalan yang dia hadapi. Bingung katanya, harus mulai dari mana kalau harus bercerita.
Tapi lagi-lagi dengan kelihaianku, dia bisa buka mulut setelah aku korek-korek, meski kemacetan sering menghadang disana-sini. Aku dengan sabar berusaha menjadi pendengarnya. Karena sekali aku sela, maka buyar sudah alur cerita yang udah dia susun dengan susah payah. Hingga plotnya pun hilang entah kemana. Dan intriknya pun nggak muncul. Emang lagi menulis cerpen apa, pake plot dan intrik segala. Hehe.
Kami juga kerap menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama. Kemping, berwisata, ke pameran buku, konser nasyid, nyari buku loakan di Pasar Senen, nonton di Twenty One, makan di café or resto atau wisata kuliner dipinggir jalan, berburu DVD bajakan, sampe nyari baju ke mall.
Semua hal itu kami lakukan dengan semangat dan kegembiraan mengisi hidup dan masa lajang. Tanpa memikirkan umur yang mulai kepala tiga. Kami jalani hidup ini mengalir seperti air dengan riaknya. Beban banyak, masalah banyak, tapi keceriaan dalam mengisi hidup terus kami gaungkan. Bahwa nggak ada masalah yang nggak ada jalan keluarnya. Dan kami saling membantu dan menguatkan satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
Kini dia menjadi seorang lelaki yang pandai bergaul. Kemana pun dia pergi dia langsung bisa mendapatakan teman baru. Berbeda denganku. Aku gurunya dalam mengajarkan etika pergaulan, tapi aku gagal memperaktekkan teori yang udah aku doktrinkan kepada dia. Bagaimana caranya bergaul dengan baik dan benar. Tanpa harus kehilangan arah dan jati diri yang kita miliki.
Tapi dia nggak pelit berbagi teman baru. Dia akan selalu mengenalkan teman-teman barunya kepadaku. Tanpa dia, mungkin sampai saat ini aku nggak akan punya banyak teman. Karena aku pemalu. Nggak bisa memulai berteman terlebih dahulu.
Namun akhir-akhir ini persahabatanku dengannya mulai merenggang. Bukan karena banyak aktifitas dan kesibukan, bukan juga karena jarangnya intensitas kami bertemu. Tapi karena sms yang dia kirimkan kepadaku. Cukup membuatku kehilangan kata-kata. Meski sms itu hanya berisi sepuluh suku kata.
“Tolong ya, Dey. Jangan buka keburukan aku pada calon istriku”
Ya, Allah…membaca sms itu aku merasa ditabok berulang-ulang. Aku kaget bukan main. Aku shock. Kok kesannya aku lebay banget, ya. Tapi itulah yang aku rasakan. Aku ngerasa nggak ada harganya.
Bagaimana mungkin seorang sahabat yang udah bertahun-tahun bersahabat denganku bisa melontarkan kata-kata seperti itu. Tidakkah persahabatan kami yang lama itu mampu membuatnya mempercayai sahabatnya ini? Tidakkah masa yang lama dalam persahabatan itu mampu membuatnya menilai, melihat dan merasakan sifat dan karakterku?
Toh, selama ini aku nggak pernah bermain watak dihadapannya. Aku nggak pernah jaim dihadapannya. Aku selalu menampilkan apa adanya diriku. Tanpa ada yang kututupi sama sekali. Tapi mengapa kepercayaan itu nggak dimilikinya? Apakah tahun-tahun yang udah kami lewati itu masih nggak cukup untuk memupuk kepercayaannya kepadaku?
Aku benar-benar nggak habis pikir dengan jalan pikirannya. Apakah dia pikir aku sanggup membeberkan segala rahasia dan keburukannya kepada orang lain? Sebawel-bawelnya aku, aku nggak akan bawel kalo urusannya udah berbau RAHASIA. I’ll shut up. Semarah-marahnya aku ama dia dan sebesar apa pun masalah antara aku dan dia. Aku akan tetap menjaga rahasianya dengan aman. Dan aku nggak akan mungkin membuka aibnya. NGGAK AKAN. Karena bagiku, itu sama aja artinya aku membuka aibku sendiri. Karena dia adalah SAHABATKU.
Memang itu haknya, untuk percaya atau nggak padaku. Tapi lamanya persahabatan kami tidakkah cukup menjadi bukti bahwa disana ada kesetiaan, kejujuran, kepercayaan dan kesalingmengertian. Dariku untuknya. Karena aku pun sebagai sahabatnya, memiliki semua perasaan itu. Aku mempercayainya. Meskipun misalnya dia membohongiku. Aku akan tetap memaafkannya. Karena dia adalah SAHABATKU.
Mungkin bagi sebagian orang sms itu kata-kata yang sepele banget dan nggak ada artinya sama sekali. Tapi bagiku BESAR sekali artinya.
Artinya dia sama sekali nggak mempercayai aku sebagai sahabatnya sendiri. Dan itu sangat menyakiti hatiku. Gimana nggak coba. Sebagai sahabat yang baik, aku selalu menutupi semua keburukannya dari orang lain yang sam-sama kami kenal. Kusimpan segala rahasia dan cerita yang dia ceritakan kepadaku. Kugigit erat-erat hingga nggak tercecer dan jadi bahan perbincangan orang lain. Kenapa? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Kusayangi dia dengan setulus hati. Kuberikan dukungan moral saat dia anjlok ke titik nol. Kusemangati dia agar kuat saat dia lemah. Kutemani dia kemanapun dia ingin pergi saat nggak ada halangan dan kesibukan yang menghalangiku. Untuk membunuh sepi yang sedang menelikungnya. Dan aku tulus ikhlas dalam melakukannya. Kenapa? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Tapi kenapa dia tega melontarkan kata-kata seperti itu?
Dan setelah semua dikomunikasikan. Dikonfirmasikan. Ada apa dan mengapa? Semua masih nggak jelas bagiku. Tapi sekali lagi aku memaafkannya. Karena dia adalah SAHABATKU.
Dan saaat aku bertemu muka dengannya beberapa hari yang lalu. Dia tampak berbeda. Meski dia didepanku. Tapi hatinya nggak ada disana. Dia membuat sekat diantara kami. Meskipun samar tapi dengan jelas aku bisa merasakannya. Acuh bicaranya, patah lengkung senyumnya, gelisah duduknya dan dia enggan menatap mataku. Membuang arah pandang kesegala penjuru. Tidak kepadaku. Ada apa dengannya?
Mungkinkah persahabatan kami sudah retak? Seperti halnya gelas yang retak, dan nggak mungkin bisa utuh kembali?
Meskipun aku nggak ngerti harus bagaimana, tapi aku masih menunggunya disini untuk memberinya ruang dan waktu. Agar dia leluasa berpikir. Akan dibawa kemana persahabatan aku dan dia. Mengapa aku lakukan itu? Karena aku masih SAHABATNYA.
(untuk dia, sahabatku yang saat ini nggak bisa kugapai…)
Kamar bujang, 19 Nov 2010