Jumat, 22 Januari 2010

Lembaran Duka

“Mat, saya ngambil rokok lagi dong sebungkus,” ucap Pak Burhan, seorang satpam yang berkerja di perusahaan styroform disebarang jalan.
“Wah, gimana ya, Pak. Hutang Bapak yang kemarin-kemarin aja belom bayar…” jawab pemuda bernama Rahmat itu keberatan dengan permintaan satpam tersebut.
“Tenang sih, Mat. Nanti besok juga saya bayar,” ucapnya menggampangkan seperti yang sudah-sudah. Besok, besok, besok saja sampai akhirnya hutangnya bertumpuk. Meninggalkan deretan panjang angka-angka di buku khusus orang yang berhutang. Alias bon.
“Kemaren Bapak juga ngomong gitu. Tapi mana buktinya, belom bayar juga,” Rahmat menyabar-nyabarkan diri. Padahal ia sudah kesal sekali pada lelaki tersebut.
Mengingat hubungan baik yang harus dijalinnya dengan para pekerja di pabrik itu terpaksa ia harus menahan diri untuk tidak membentak-bentak lelaki itu. Maklum, untuk kebutuhannya akan air bersih, baik untuk minum, mandi maupun mencuci. Ia harus memasuki kawasan pabrik.
Dan meski untuk kebutuhan akan air itu ia harus mengeluarkan modal. Yaitu membuatkan keempat satpam yang ada di pabrik itu kopi setiap harinya. Baik itu pagi, siang atau malam hari. Tergantung giliran jaga mereka.
“Kamu nggak percaya sama saya, Mat?” ucap satpam itu seraya mengambil sebungkus rokok yang disodorkan kepadanya dengan raut wajah tak senang.
Rahmat menghela nafas. Mengusir rasa geram yang bercokol dihatinya.
“Bukan begitu, Pak. Masalahnya…”
Dengan runut dan pelan pemuda berparas ganteng itu menceritakan kesulitan yang harus dihadapinya kalau satpam itu tak segera membayar hutangnya. Dari kemarahan sang pemilik kios rokok itu karena tak adanya pemasukan, hingga ketiadaan uang untuk ia belanja lagi. Memutar kelangsungan kios rokok itu.
“Bagaimana mau ada pemasukan, kalau uang dari rokok dihutang, Bapak. Sementara keuntungan dari rokok kan itu tipiiis sekali,” ucapnya gemas dalam hati.
Satpam itu terdiam mendengar penuturan pemuda dihadapannya. Sebenarnya ia kasihan dengan nasib yang dialami pemuda itu. Bukannya ia tak mengerti akan permasalahan yang dihadapinya. Tapi kalau ia tak berhutang, maka ia tak bisa merokok. Karena seluruh penghasilannya sebagai satpam itu harus ia setorkan pada istrinya. Untuk kebutuhan anak-anaknya. Jadi ya terpaksa, jalan satu-satunya adalah berhutang. Meski ia harus menekan rasa malunya. Karena ia harus JJPD alias Janji-Janji Palsu Doang. Seperti para pejabat di atas sana, yang doyannya ber-JJPD.
“Ya udah ya, Mat. Entar juga saya bayar,” ucapnya enteng sambil berlalu dari warung reyot bahkan hampir roboh itu. Maklum sejak dua tahun kios rokok itu berdiri, sang pemiliknya sama sekali tak tergerak untuk memperbaiki kiosnya itu.
Sepeninggal satpam tersebut. Rahmat tercenung lama sekali. Memikirkan ulah para satpam itu.
Jumlah satpam di pabrik itu ada empat orang. Dan keempat-empatnya berhutang semua. Belum dibayar pula. Selain itu juga perlakuan mereka padanya amat sangat kurang menyenangkan. Bahkan ada juga yang jauh dari sopan.
Pernah seorang satpam yang berasal dari Batak, Pak Alek Sihombing namanya. Melemparkan kopi buatannya hingga gelasnya hancur, hanya karena ia salah membuatkan minuman. Satpam itu meminta dibuatkan kopi susu, namun ia buatkan kopi kental hitam. Ia berani melakukan itu karena Pak Heri, satpam yang berasal dari Sumedang mengusulkan hal itu padanya. Lalu ia turuti. Hasilnya, gelas itu hancur berkeping-keping. Dan itu artinya ia akan dimarahi oleh bosnya, juga harus mengganti gelas itu dengan menyunat gajinya yang tak seberapa itu hingga tumpul.
Ada lagi satpam yang berasal dari Makasar, Pak Ranupae namanya. Lelaki itu pernah memaksanya untuk melakukan perbuatan kaum Nabi Luth dengannya. Waktu itu Pak Ranupae sedang mabuk, lalu ia mendatangi kiosnya. Dan langsung menerkamnya dan berusaha menggumulinya. Tubuh kurusnya tak kuasa melawan tubuh gorilla lelaki itu.
Untung saja Allah masih sangat menyayanginya dengan segera mendatangkan pertolongan. Seorang karyawan yang akan bekerja shif 3, Galang namanya, memergoki perbuatan itu. Dan menghajar satpam itu hingga babak belur. Galang tidak terima melihat perlakuan tidak senonoh itu terjadi pada orang yang telah berbaik hati menghutanginya setiap hari. Walau buntut dari peristiwa itu Galang harus rela di keluarkan dari perusahaan tempat ia menggantungkan hidupnya selama ini.
Rahmat buru-buru menghapus air yang menggenangi matanya. Mengingat kejadian naas itu, ia selalu saja dihantui perasaan bersalah. Kalau saja Galang tidak melakukan pemukulan itu untuk menolongnya, mungkin pemuda itu tak akan dikeluarkan dari pekerjaannya.
Entah bagaimana nasib pemuda yang lembut hatinya itu sekarang. Semenjak peristiwa itu ia belum mengetahui kabar beritanya. Hanya doa yang bisa ia panjatkan kehadirat-Nya, agar Galang segera diberi pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Rahmat menghela nafasnya. Membuang sejumput galau yang menggayuti hatinya. Ia langsung bangkit dari duduknya, saat mendengar jeritan nyaring dari ponselnya. Ada panggilan masuk rupanya. Baru ia akan menjangkau ponsel miliknya, layar ponsel itu berkedip sebentar lalu mati. Low bet. Ia ingat belum men-charged poselnya itu karena aliran listrik ke kios itu di putus oleh pemilik warung nasi di sebelah kanannya berjualan.
♥♥♥
Rahmat berjalan dengan langkah gontai mendatangi pemilik warung makan itu, menanyakan alasan mengapa memutus aliran listrik. Padahal ia tak pernah telat membayar uang listrik itu setiap bulannya.
“Permisi, Mang Juned…” ucapnya mendekati lelaki paruh baya yang sedang menggepruk batu es di sudut warung makannya.
“Ada apa,” Tanya Mang Juned tak bersahabat. Melirik sebal kearahnya sebentar lalu kembali pada kegiatannya menggepruk batu-batu es.
“Kenapa aliran listrik ke saya diputus…” ucap Rahmat bersabar melihat tingkah orang yang sangat pantas menjadi bapaknya itu namun kelakuannya seperti anak kecil saja.
“Ya, jelas dong saya putus. Orang situ belum bayar listrik bulan ini,” jawabnya ketus.
“Loh, Mamang gimana sih, bukannya bayarnya nanti tanggal 28. Sekarangkan baru tanggal 22, Mang,”
“Ah, sekarang mah harus tanggal 20 bayarnya, itu paling lambat. Nggak tau apa, bayar listrik sekarang mahal,” ucapnya sambil mengetrok batu es itu hingga hancur.
Rahmat tersengat. Getokan pada batu es itu seolah mewakili getokan pada kepalanya. Darah mudanya berdesir hangat menjalari setiap pembuluh darahnya. Menggumpal memenuhi syaraf amarahnya.
“Tapi kan, Mamang tau sendiri kalau penggunaan listrik ke saya tak seberapa. Cuma tiga lampu, Mang. Trus saya juga nggak pake apa-apa. Radio saya udah pensiun karena rusak dari kemaren-kemaren. Paling-paling saya cuma ngecas HP, itu pun sehari cuma sekali,” ucapnya panjang lebar membela diri.
“Terserah. Saya nggak mau tau. Kalau kamu nggak bayar hari ini, ya nggak saya alirin…” ucapnya keras sekali. Hingga beberapa pengunjung warung makan itu melirik ke arah mereka. Mencuri dengar apa yang sebenarnya terjadi pada dua orang yang sedang bertikai itu.
Rahmat menundukkan wajahnya. Ia malu sekali. Karena beberapa orang dari pengunjung warung makan itu juga langganan belanja di kios rokoknya.
“Ya, udah atuh Mang. Saya ambil duitnya dulu,” ucap Rahmat mengalah. Ia memang sudah terbiasa mengalah untuk segala hal. Mungkin sudah menjadi suratan nasibnya. Mengalah dan mengalah. Pikirnya getir.
Padahal kalau pemutusan aliran listrik itu hanya karena hal sepele seperti itu, mengapa tak dikatakan saja. Tidak perlu pakai memutuskan aliran listrik segala. Toh, ia juga akan mengalah membayar listrik itu tanpa harus ada keributan seperti itu.
“Nah, begitu kan enak…” sambar Bi Ijah, istrinya Mang Juned judes. Berteriak lantang dari dapur, tempat dimana ia sedang sibuk memasak untuk keperluan warung nasinya itu.
Berbicara soal Bi Ijah, Rahmat juga masih menyimpan seribu dongkol pada wanita bermulut pedas itu. Ia yang selama ini rutin makan di tempat itu, tiba-tiba harus dihadapkan pada sejumlah bon yang harus dibayarnya. Tapi jumlahnya tidak sama dengan apa yang dicatat di buku bonnya.
Rahmat memang punya kebiasaan ngebon setiap makan di warung nasi itu. Dan setiap akhir bulan saat para karyawan pabrik melunasi hutang-hutangnya pada kios rokoknya. Ia juga akan membayar hutang makannya pada Bi Ijah. Dan ia tak pernah lupa untuk mencatat jumlah hutangnya setiap ia habis makan di warung itu.
Namun kejadian kemarin membuatnya harus menelan pil pahit kekecewaan. Ia harus membayar sejumlah uang di luar batas nominal pengeluarannya selama ini.
“Loh, Bi. Hutang saya gede amat. Setau saya, hutang saya cuma 40 ribu. Kok ini bisa jadi 70 ribu. Saya nggak ngerti,” ucapnya protes saat ia akan melunasi hutang makannya bulan kemarin.
“Yeuh, catatannya ada. Saya mah moal bakal bohong,” ucap Bi Ijah getas, penuh penekanan.
Rahmat menghela nafasnya. Berat. Entah mengapa wanita gendut dihadapannya ini selalu saja kasar, keras dan cerewet kalau berbicara. Semula ia pikir, wanita ini hanya padanya saja berprilaku tak menyenangkan seperti itu. Namun ternyata pada semua orang pun dia melakukannya.
Andai warung nasi lainnya tak sejauh itu letaknya dari pabrik. Ia yakin, dagangan wanita itu sudah tak laku. Karena sebagian karyawan yang belanja di kiosnya sering sekali mengeluhkan prilaku wanita bertubuh subur itu.
“Saya juga ada catatannya, Bi. Hutang saya tuh cuma 40 ribu doang…” ucap Rahmat berusaha meyakinkan wanita berwajah masam itu pelan. Berusaha menekan perasaan muak yang melingkupinya.
“Kamu tuh, kalau nggak mau bayar hutang bilang atuh. Nggak usah banyak alesan sagala,”
“Yang nggak mau bayar hutang siapa, Bi? Saya cuma bilang, kalau hutang saya cuma 40 ribu, itu aja. Naha jadi ngelantur kamana-mana,” jawab Rahmat emosi dengan logat Sundanya yang medok.
“Lagian kamunya juga sih. Udah jelas catetannya 70 ribu, kamu malah ngotot bilang 40 ribu. Gimana sih. Masih mending kamu boleh ngahutang disini. Di tempat laen mah moal aya anu daek ngahutangan,yeuh,” ucapnya ngotot hingga mulutnya berbusa-busa. Dan urat lehernya bertonjolan.
Rahmat terdiam. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Catatan siapa sebenarnya yang salah. Miliknya atau milik Bi Ijah. Tapi ia yakin, seyakin-yakinnya kalau hutangnya itu hanya 40 ribu rupiah, tak kurang dan tak lebih. Ia belum pikun. Dan ia juga sangat teliti mengenai hutang piutang itu. Tak sekali pun ia lupa untuk mencatat bon pembeliannya pada bon miliknya sendiri, yang ia simpan rapi di bawah kasur lepek yang ditidurinya.
Jadi bagaimana mungkin selisihnya sejauh itu. Kalau selisihnya sedikit sih ngga apa-apa, sangat manusiawi sekali. Tapi ini, benar-benar kelewatan. Batinnya kisruh.
“Rek dibayar moal. Malah bengong deui…” sungut Bi Ijah mengingatkannya dari lamunan.
Rahmat tersentak. Ia baru sadar kalau ia sedari tadi masih berdiri mematung di warung makan itu.
“Ya, udah, Bi. Nih, 40 ribu heula. Rahmat ambil yang tiga puluhnya dulu…” ucapnya akhirnya mengalah pasrah. Wajahnya sendu sambil melangkah meninggalkan warung nasi itu. Sementara itu Bi Ijah tersenyum penuh kemenangan. Berhasil mengelabui pemuda tanggung berwajah ganteng itu. Hatinya membuncah gembira.
♥♥♥
Rahmat menatap tetesan air hujan yang jatuh ke atas ember di hadapannya. Suara gemuruh hujan yang menderu di atas atap yang sudah lapuk itu berkolaborasi dengan suara kilat, guntur dan air yang berkelotak masuk keember. Seperti sebuah simfoni indah yang kerap menemani kesunyiannya dalam kesendirian. Hanya sesekali tikus-tikus got yang sangat besar dan menjijikkan melongok kesendiriannya.
Hatinya pilu. Air matanya berloncatan membasahi pipi mulusnya seolah berlomba dengan air hujan di luar sana. Ia sedih sekali. Menghadapi masalah demi masalah yang seolah-olah bertubi-tubi menghampiri. Belum selesai masalah yang satu muncul kembali masalah yang lain.
Bermula dari rusaknya radio butut yang kerap menemani dendang sunyi hatinya. Lalu charger-nya. Masalah dengan para satpam yang tak jua mau membayar hutang-hutangnya. Pemutusan aliran listrik. Teman baiknya yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri, telah pergi menjauhinya. Meski ia sadar itu akibat ulahnya sendiri, tapi ia kan sudah minta maaf. Tapi mengapa ia masih saja mengabaikan semua sms dan telpon darinya. Ia tak mengerti. Begitu besarkah dosa keisengannya itu?
Lalu seorang gadis dari pesantren putri yang tinggal di daerah sekitar situ juga yang terus menerus mengejar-ngejarnya. Mengharapkan ia menjadi kekasihnya. Itu pun atas kebodohannya sendiri yang telah bermain api dengan gadis itu.
Juga ulah para preman yang kerap mengambil dagangannya tanpa membayar sepeser pun. Mereka juga berjudi serta mabuk-mabukan di depan kiosnya hingga larut malam, hingga mengganggu aktifitas tidurnya. Yang seharusnya ia bisa tidur lebih awal, ini ia harus rela bergadang karena para preman itu melarangnya menutup kiosnya tersebut.
Belum lagi ingatannya harus dirampas paksa oleh bayang-bayang kehadiran Bapak-Ibunya, yang berusaha ia lukis dalam jagat ingatannya akan seraut wajah-wajah yang sama sekali belum pernah ia lihat dan ia kenal. Kecuali melalui rangkaian cerita Nini dan Aki yang sering mereka dongengkan untuk mengantarkannya ke alam mimpi. Di saat ia masih kecil.
“Akiii…Niniii…! Rahmat kangeeen…huhuuuu….” Teriaknya pilu sambil menahan gigil tangis yang merayapi hatinya.
“Ya, Rabb…mengapa Kau membiarkan aku hidup, kalau kepedihan, penderitaan dan nestapa selalu menemani hidupku. Aku tak kuat menanggungnya..ya, Allah…” ratapnya seraya memeluk bantal lepek, lusuh dan bau karena sudah beberapa hari belum ia cuci sarungnya. Karena ia terus berkubang dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Tiba-tiba ia tersentak saat ponselnya menjerit nyaring, tanda pesan pendek masuk. Empat pesan pendek memenuhi inbox-nya. Ia baca tulisan yang tertera di layar ponsel itu satu per satu.
“Jgn brsedih, adikku..krna Allah akn sllu brsamaMu. Jgn nangis, tar ga gnteng lagi loh hehe…qm jg msh pnya akang. Yg akn sllu ada utkmu, jk Rahmt mmbutuhkn bntuan akng, oke. Usbur ba’a…!”
Rahmat tersenyum membaca sms dari Kang Deni, seseorang yang telah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Ia selalu menghibur di saat ia bersedih. Dan selalu memberinya spirit. Kekuatan agar ia terus bertahan dalam menghadapi kehidupan ini.
“Ingat, adik kecilku. Allah sngat sayang pdmu hingga Ia mmberikan rentetan ujian padamu. Dan tak ada ujian yg diberikan-Nya, diluar batas kmampuanmu utk menanggungnya. Bkn qm aza yg pnya mslah tth juga punya kok hehe…! Jgn sedih lg ya, sayang…” Sms dari Teh Mutia. Rahmat tersenyum.
“Sabar ya, ustad Mansur hehe…nasibmu sama denganku. Bedanya, Rahmat kebocoran, kalo Nadia kebanjiran hehe…! Doaku sllu menyertaimu, saudaraku…” Sms dari Teh Nadia. Rahmat tertawa kecil.
“Anjar akn sllu mndoakan Kang Rahmat. Agr sllu tabah dlm mnghadpi berbagai ujian dari-Nya, amin…” Sms dari Dek Anjar. Hatinya membuncah gembira.
Ia terharu membaca sms-sms itu, hatinya semakin gerimis atas perhatian demi perhatian dari orang-orang yang telah menganggapnya saudara mereka sendiri. Meski mereka beda usia, beda kehidupan dan beda perjalanan hidupnya.
Namun yang pasti mereka semua menyayanginya. Dan itu adalah anugerah terindah yang diberikan Allah untuknya.
Air matanya terus berderai-derai membasahi pipi mulusnya. Menangisnya kini bukan karena beban kesedihan yang menghimpitnya. Tapi tangisan yang syarat akan kebahagiaan. Bahagia dipertemukan dengan orang-orang yang lembut hatinya.
“Terima kasih ya, Allah…Alhamdulillah…telah Kau pertemukan hamba dengan orang-orang yang baik hati dan perhatian sama Rahmat. Duh, indahnya ukhuwah dalam Islam itu. Dan akulah bukti yang merasakan keindahan persaudaraan dalam Islam itu…”
♥♥♥

Nah, Loh...

Kusingkirkan buku yang ada dipangkuanku. Dan kucopot kaca mata yang bertengger dihidungku. Ugh! Capek juga dari tadi membaca buku. Pusing. Perlahan kurebahkan kepalaku kesandaran sofa, lalu kuraih remote teve.
Klik! Kutekan tombol power-nya.
“Selamat sore pamiarsa muda. Berjumpa kembali bersama saya… Dalam acara reality show pertama di Indonesia. Yaitu acara tembak menembak pasangan. Dalam acara…”
Klik! Chanel kuganti.
Acara apaan tuh, mengajak orang untuk berbuat maksiat.
“Jangan diganti, Teteh! Lagi seru juga!” teriak Andin tiba-tiba.
Ugh! Bikin kaget saja, dikira ada apa.
Ia merebut remote dari tanganku. Dan duduk paling depan menghadapi layar teve. Aku menggeleng-gelengka kepala. Heran, acara seperti itu kok digandrungi. Padahalkan tidak mendidik.
“Ih.., bego banget tuh cowok! Ditembak cewek kok lari. Nurunin harga diri cewek aja!” Andin menggerutu sendiri.
Idih.., si Andin sewot. Ada juga tuh cewek kali yang gak punya harga diri.
Sudah tahu cowoknya tidak mau, masih dikejar-kejar juga. Jaga izah dong.
“Jomblo berkualitas minggu ini adalah seorang cewek manis, cantik..,” presenter itu dengan semangatnya mempromosikan cewek jomblo itu.
Cewek cantik kok promosi, tidak laku-laku apa? Terlalu pilih-pilih kali, yee..., padahal kriteria pasangan yang baik dalam Islam kan, yang baik agamanya.
“Teteh…! Asyik kali ya, kalau Andin masuk HQJ, hehe..,” ucapnya konyol.
“Kamu, Din?” Andin mengangguk, “Kamu mah gak laku, Din! Abis..., Low Quality sih, hehe..,” gurauku tak kalah konyol.
Andin cemberut. “Ampun deh si Teteh. Adeknya bukan didukung, ini malah dibuat down,” Ia manyun.
“Idih kebagusan! Ngedukung kamu? Tak use, yee…! Kalau kamu ikut pengajian, baru Teteh dukung.”
“Tak use juge, yee…! Ngapain ikut pengajian? Gak level”
Aku melotot. “Gak level? Ngaji dibilang gak level? Kelewatan anak ini. Istigfar dong, Din…istigfar…”
“Astagfirallahaladzim…” ucapnya penuh penekanan “Udah, Teh, puas?” sementara matanya tak lepas dari layar kaca. Kelewatan.
Aku mengurut dada. “Acara picisan kayak gitu aja jadi tontonan wajib. Giliran ada acara Tausiah Aa Gym aja, boro-boro ditonton ngelirik aja ogah tralala” ucapku gemas.
“Jelas dong. Ngeliat apa tadi? Tahu-sia, hehe…males. Abis Aa-nya nyentil-nyetil mulu plus nyindir Andin supaya jadi wanita sholehah, berkerudung kayak Emak-emak…”
Sembarangan. Orang pakai jilbab dibilang mirip Emak-emak, tidak lihat apa, betapa sang Teteh terlihat anggun dan cantik begini, hihi…muji sorangan.
“Ya, ampuuun…ditolak!” teriak Andin mengagetkanku lagi. “Ganteng-ganteng gitu kok ditolak. Coba kalau gue yang ditembak, Ugh! With all my heart..,” ceracaunya kacau.
Ugh! Dasar!
Kualihkan pandanganku ke layar teve. Seorang cewek berjilbab sedang ditembak oleh cowok yang lumayan keren.
Syukurin! Tuh cowok ditolak, cian deh…!
Tidak peka sekali tuh cowok. Sudah tahu cewek berjilbab, masih diganggu-ganggu juga.
@@@

“Nis! Tau nggak?”
“Nggak!”
Afi manyun. Lucu sih, baru datang kok ditanya-tanya. Enggak nyambunglah…
“Dooo…segitu sewotnya,” kujawil pipinya, “Ada apa?”
Aku menghempaskan tubuhku ke kursi. Dan menghadap ke arahnya.
“Cewek yang ditembak di teve kemarin tuh ternyata jadian loh! Muna’ ya? Di teve aja berlagak gak butuh. Padahal kegeeran tuh!” cerosos Afi sewot.
Setelah terdiam sesaat. Aku baru ngeh’ apa yang diocehkan Afi barusan. Ternyata, tentang acara itu.
Ihh…aku kira ngomong apaaa…gitu! Tidak bermutu sekili sih.
“Kamu tahu dari mana, Fi? Bisa jadi itu hanya gosip!” ujarku acuh tak acuh.
“Ih, bener, Nis. Cewek itu kan, temennya Ririn. Ya kan, Rin?” todongnya pada Ririn yang sedang asyik menekuri bukunya.
“He-eh,” ditutupnya buku yang dipegangnya, “Padahal si Nina itu terkenal alim, loh! Heran deh, bisa berubah gitu. Gak malu apa, ya? Pada jilbab yang dipakainya.”
Ya, Allah. Tak kusangka sohib-sohibku hobi gosip juga.
“Eh, Nis. Kalau kamu kejadian ditembak kayak temennya Ririn, gimana?” tanya Afi culun.
“Aku? Tak use, yee! Emangnya aku akhwat apaan?” elakku cepat. Yang bener saja. Ditembak?
Hiiiy…gak kebayang deh, bisa mati aku!
“Ah, yang bener?” goda Ririn konyol.
“Pacaran? Gak ada kamusnya, Non! Jagalah hati....” timpalku bernyanyi.
“Aku sih mau aja ditembak…” Ririn cengar-cengir.
Aku melongo. “Kamu, Rin?”
Ririn mengangguk. “Tapi setelah ditembak gak pacaran lagi, but…langsung meried, hehe…”
“Udah kebelet nih ceritanya…” goda Afi mesem-mesem, “Perlu perantara, Rin?”
“Wualaaah…sok naik daun!” cibir Afi greget.
Ririn manyun. “Naik daun, emang ulet…”
“Iya, Rin. Ulet yang kebelet kawin, hehe…”
“Udah ah, becandanya” ucapku menengahi perbincangan yang tak ada juntrungannya itu. “Aku mau ke Perpus, ah…nyari buku, buat tugas Typografi”
Aku bangkit. Dan bergegas ke luar kelas.
“Aku ikuuut…!” teriak keduanya kompak.
@@@
Aku membolak-balik buku yang tergeletak dihadapanku. Sayup-sayup sampai terdengar percakapan, dua gadis yang duduk di seberang meja.
“Aku juga mau ditembak kalau cowok-cowoknya ganteng gitu. Seperti…” terdengar cekikikan halus keduanya.
Ya, Allah. Ternyata bukan hanya adikku aja yang keranjingan acara tersebut. Temen-temen sekelasku juga. Dan ini lagi dua cewek, masih sempat-sempatnya cekikikan di Perpus. Mau baca, apa mau bergosip sih? Kalau mau bergosip di luar napa!
Aku mengumam gemas.
“Apa, Nis?” Afi menyenggol bahuku.
“Enggak.”
“Saya mau menembak seorang cewek yang udah lama saya taksir..,” tiba-tiba saja seorang cowok memegang mic masuk ke dalam Perpus. Diikuti oleh seorang kamerawan.
Serentak semua penghuni Perpus menengok ke asal suara. Tanpa terkecuali. Yang serius membaca, mengangkat kepalanya. Yang sedang nyari-nyari buku di rak, ikut-ikutan menyembulkan kepala.
“Ada apa sih? Xyzzzzx...,” terdengar kasak-kusuk disana-sini. Berdengung seperti suara lebah.
“Arif..,” ucapku, Ririn dan Afi kompak. Kami saling berpandangan.
Arif adalah teman sekelas kami. Dia terkenal sebagai anak yang paling kalem dan pendiam di kelas. Benar-benar tak disangka.
“Mau menembak siapa, ya, si Arif?” Bisik Afi ke arahku.
“Tau…”
“Sudah lama saya memperhatikan cewek ini. Dia itu bla, bla, bla..,” ujar cowok itu semangat di depan para penghuni Perpus. Gayanya sudah seperti sales menawarkan dagangannya, hehe…
Semua masih H2C (Harap-harap Cemas) menuggu siapa yang akan ditembak cowok itu.
Tiba-tiba Arif mendekati meja dimana aku dan dua sohibku duduk. Cahaya lampu kamera menyorot ke arah kami.
Nah, loh…kami bertiga kan para jilbaber? Siapa coba yang mau ditembak? Si centil Afi, apa ya?
“Nisa, sebenarnya sudah lama aku mencintaimu..,” terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan suitan disana-sini.
“Nis, kamu ditembak!” Ririn mengagetkanku yang sama sekali belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Deg!
Jantungku melorot. Mukaku memerah. Panas.
Belum sempat kuanalisa apa yang sedang berlangsung. Seorang wanita menyorongkan mic-nya ke mulutku.
Aku beristigfar. Aku masuk acara…?
Apa-apaan ini? Tidak! Ini tak mungkin terjadi. Ini hanyalah mimpi! Bagaimana mungkin aku masuk acara yang selama ini aku anggap picisan.
Arif menyorongkan dua buku kehadapanku. Buku Indahnya Pernikahan Dini (IPD) dan Kupinang Kau Dengan Hamdalah (KKDH) karangan M.Fauzil Adim.
“Kalau memilih KKDH berarti kamu menerimaku. Kalau memilih IPD berarti kamu menolakku,” ujarnya memintaku memilih.
Aku terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Perasaan malu dan terhina berbaur menjadi satu. Menggumpal didadaku.
Tega sekali si Arif melakukan ini padaku!
“Ayolah, Nis?” Ia memohon dengan wajah memelas.
Aku tak bergeming. Semua yang hadir menatap ke arahku. Menanti jawaban.
Tiba-tiba aku teringat ucapan Ririn di kelas tadi.
Perlahan aku bangkit. Menarik nafas sesaat.
“Kuhargai keberanianmu untuk mengungkapkan perasaanmu padaku, Rif. Tapi..,” Aku menggantung ucapanku, “…akan sangat lebih aku hargai lagi, kalau kamu berani datang ke rumahku. Mengungkapkan semua perasaanmu kepada kedua orang tuaku. Untuk melamarku.”
Deg!
Wajah tampan dihadapanku terperangah. Memerah. Jengah.
Kembali dengungan terdengar disana-sini.
“Dan..,” Semua yang hadir terdiam, “…kalau kamu tak berani datang ke rumahku. Berarti, semua ucapanmu barusan hanyalah kebohongan belaka,” ucapku tajam.
“Terima kasih…” aku menyeruak diantara kerumunan orang. Dan bergegas pergi.
Tak kuhiraukan teriakan dua sohibku. Juga teriakan-teriakan lainnya. Hanya satu yang kuinginkan. Segera lari dari tempat ini. Kabur.
@@@
Setelah acara “aku ditembak Arif” tayang. Orang serumah pada geger. Terutama Andin.
“Salut deh sama Teteh, orang sekaliber Teteh ada yang nembak, hehe…kuereeen, nampang di teve euy!” ucap Andin semangat. Konyol.
“Boro-boro keren, Din. Teteh malu tau…” aku gemas.
“Makanya jangan suka mencela suatu tayangan, Teh” Andin menyalahkan, “Kena batunya deh, gak tanggung-tanggung ditembak lagi, haha…”
Andin ngakak, sejadi-jadinya.
Aku manyun.
Apa yang Andin ucapkan belum seberapa, dibandingkan ucapan orang-orang di komplek perumahan dimana aku tinggal.
“Neng Nisa geulis pisan aya di tivi…”
“Teh Nisa payah, cowok ganteng gitu kok ditolak…”
“Suiiit…suit…! Nisa, aku mencintaimu…”
“Kalau Aa yang tembak terus dilamar mau gak, Neng?” ucap tukang ojek yang mangkal dipersimpangan depan.
Menyebalkan…!
“Kok sebel sih, Nis. Kan bagus jadi seleb dadakan, hehe…” ucap Afi saat kutelpon untuk mengadukan kekesalanku.
“Boro-boro seleb, yang ada aku kelelep saking malunya” ucapku gemas. “Ini gara-gara si Arif sih pake acara nembak-nembak segala”
“Ya, udahlah, Nis. Ambil hikmahya aja…”
“Hikmah apaan?” jawabku sewot.
“Kali aja kamu tiba-tiba dilamar Arif, hehe…walimahan deh”
“Ngaco, kamu!”
Ting nong! Ting nong!
“Udah dulu ya, Fi. Ada suara bel tuh. Assalamualaikum…” kuletakkan gagang telpon di tempatnya. Kemudian bergegas ke arah pintu.
Clek…!
Pintu terkuak.
“Assalau’alaikum, Nis...,”
“A…Arif!” aku terperanjat melihatnya. Ia berdiri tegak di ambang pintu.
“Iya, ini aku…” ucapnya tersenyum manis.
“Ada perlu apa?” tanyaku, setelah hilang rasa gugupku.
“Lha, menurutmu, aku harus berani datang ke rumahmu. Apabila ingin melamarmu. Dan sekarang aku datang bersama kedua orang tuaku, untuk melamarmu,” ucapnya telak mengenaiku.
“Ini Papa-Mamaku…”
Nah, loh!
Aku terpaku. Tak tahu apa yag harus kuucapkan.
“Saha, Nis?” gawat! Mama! “Kok tamunya gak disuruh..,”
Gabruk…!!!
Aku jatuh tersungkur. Dan semuanya menjadi gelap.
@@@

Kalo Jodoh mah Gak Kemana

Anggi bergegas menyusuri koridor rumah sakit Medical Health, tempat ia setahun ini bekerja sebagai perawat. Koridor itu temaram dan berbau disinfektan.
Ia terus berjalan, dan sesekali ia melambaikan tangannya pada beberapa teman sesama perawat yang baru datang.
Semalam ia mendapat giliran jaga malam di Vip. Tempat yang lumayan enak dan nyaman. Dengan peralatan dan fasilitas yang serba mewah. Maklum hanya orang-orang yang berada saja yang dirawat di tempat itu.
Tidak seperti sebelumnya, ia ditugaskan di Poli. Tempat untuk golongan menengah ke bawah. Ia benar-benar lelah menangani pasien-pasien yang lumayan bawel dan sangat merepotkan. Seringkali ia harus menahan dongkol saat mendapat caci maki dari pasien. Entah itu soal obat yang harus ditebus, jenuh menunggu dokter yang datang terlambat dan tetek bengek permasalahan dari pasien. Tidak mau tahu, bahwa dia hanya seorang perawat saja.
Sesampainya Anggi di depan jalan raya, ia menyebrang. Rambut sebahunya berkibar-kibar tertiup angin pagi yang sejuk. Ia melenggang menuju kost-annya. Kost tempat ia dan seorang temannya tinggal.
Ia terkejut mendapati sahabat karibnya, Nani, sudah menunggunya di teras kost-annya. Duduk di kursi yang terbuat dari semen. Memanjang di sepanjang depan kost-kostan itu.
“Gila, Lu. Dari Tangerang jam berapa? Sepagi ini udah nyampe…” ucap Anggi menghampiri, dan menempelkan pipinya kiri dan kanan. Kangen.
“Aku nggak dari Tangerang kok, Gi. Aku nginep di Teteh aku di Cikampek” kata Nani mengekori Anggi, masuk ke dalam ruangan 4 x 3 meter.
Nani menyapukan pandangannya. Kamar itu lumayan rapi. Ada dua buah lemari berselorok dari plastik. Juga dua buah kasur berdampingan, dibagi dua. Untuk tidur.
“Aku baru tau, Gi. Kalau kamu nggak pake jilbab, saat bekerja…” Nani miris.
Dia paling tidak suka melihat orang yang buka-pake jilbab. Kesannya kok mengotori keagungan penutup aurat itu ya.
Anggi tertunduk diam. Dan menarik nafas.
“Pengennya sih, aku juga pake terus, Nan. Tapi, kamu kan tau sendiri. Di rumah sakit MH nggak boleh pake jilbab. Aku mau ke luar, sayang. Nyari kerja zaman sekarang kan susah…” Lirih ia beralasan.
“Sorry ya, Gi. Aku nggak tau kalo peraturan di tempat kerjamu seperti itu,”
Anggi tersenyum “Nggak pa-pa lagi, Nan. Kayak gue ini siapa aja,”
“Memang yang punya RS itu orang non, ya?”
Anggi mengangguk.
“Aku bukannya nggak berusaha loh, Nan. Untuk minta keringanan, supaya aku diperbolehkan pake jilbab. Tapi tetep, nggak boleh…” ucapnya berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
“Katanya, kamu lumayan akreb sama dokter-dokter disitu, Gi?”
“Iya, akreb. But, sama yang punyanya mah nggak atuh…” Anggi sibuk membuat minuman. “O, ya, Nan. Aku punya kenalan baru, loh…” ucapnya senang, mengalihkan pembicaraan.
Nani membulatkan matanya. “O, ya?”
“Yup! Namanya Do-di,”
Mata Anggi berbinar saat menyebut nama itu.
Nani melongo. “Deuuu…segitunya. Kenal dimana?”
“Dia pasien aku di Vip…” jawabnya santai. “Udah dua minggu ini, dia dalam perawatanku,”
“Pasien?” Nani tak mengerti.
Anggi mengangguk. “Arsitek, bow…! Tapi dia harus bedrest”
“Sakit apa?”
“DHF…”
Nani mengangguk. Mengerti. “Trus kenapa? Kamu suka dia, gitu…” godanya cengengesan.
“Sembarangan…!” Anggi manyun. “Ada juga dia kali yang naksir aku,”
“Trus, kamunya sendiri gimana?”
Wajah Anggi langsung merona merah.
“Aku juga suka dia, Nan…” ucapnya mencicit. Malu.
“Ya, udah langsung meried aja,” tembak Nani langsung. “Katanya udah kebelet pengen meried,”
“Ngaco, ah! Siapa yang kebelet, nyokapku tuh yang kebelet, ribuuut mulu nyuruhin aku merit. Malu katanya, sama omongan orang. Padahal peduli amat sih, orang ini…!” Anggi bersungut-sungut. Sebal. Ingat perang demi perang yang sering terjadi antara ia dan ibunya.
“Maried kali. Bukan merit, emang obat pelangsing, hihi…” Nani terkikik geli. “Ya, sa-mmm-ma. Nyokapku juga nyanyi mulu, nyuruhin aku cepet kawin. But, gimana ya, blom ada yang nyantol sih,”
“Nyantol, nyantol…kamunya aja tuh, terlalu pilih-pilih. Kemarin aku kenalin si Anjar, ogah. Padahal kurang apa coba dia,”
“Enak aja, pilih-pilih…” Nani sewot. “Orang aku nggak sreg kok, dipaksa-paksa, nggak ada cemistrinya tau…”
“Iya, lain kali mah ogah aku ngenal-ngenalin ke kamu lagi,” ucap Anggi tak kalah sewot.
“Bo-dooo!” cibir Nani memonyongkan bibirnya satu senti ke depan, hehe…panjang amat!
“Trus aku harus gimana ya, Nan?” tanya Anggi kembali serius.
“Dibilang-in langsung menikah aja. Gitu aja kok repot!” sarannya cepat. “Jangan tunggu lama-lama, nanti lama-lama diambil orang…” Nani bernyanyi, menirukan lagu dangdut kesukaan Anggi.
Keduanya ngakak.
“Kamu nginep aja ya, Nan. Biar besok gampang, berangkat ke Ancolnya langsung dari sini. Barengan sama aku…” Anggi menyarankan.
Mereka memang punya rencana untuk ke Dufan Ancol. Rekreasi. Melepas kepenatan, setelah mereka sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Sebagai perawat di rumah sakit yang berbeda.
“Lha, Sari gimana?” Nani menyebutkan nama teman sekamar Anggi.
“Dia kan lagi cuti…”
“Oh, ya udah,” Nani setuju.
♥♥♥
Keesokan harinya.
Di Dufan, Anggi dan Nani celingukan di depan loket pembayaran.
“Dia nunggu dimana sih, Gi?” tanya Nani tak sabar, yang sedari tadi sudah tak tahan kepanasan. Keringat sudah berleleran membanjiri wajah putihnya.
“Di sms sih, bilangnya ya, nunggu disini!” Anggi ikut-ikutan resah sambil matanya nyalang, menatap orang-orang yang berseliweran di depannya.
“Tuh, diaaa…! Si Mita…” teriak Anggi kenceng, membuat Nani terlonjak.
“Heh, tengil! Bujuk buneeeng, lama bener Lo,” Anggi langsung menyemprotnya.
Gadis berkerudung ala burung merak itu cengengesan. Nafasnya masih ngos-ngosan.
“Sorry, tadi di terminal, angkotnya ngetem dulu. Lamaaa bener!” ucapnya beralasan setelah acara peluk cium usai. Lalu mengekori dua sohibnya memasuki Dufan. Untungnya tidak terlalu mengantri.
“Hal-lah! Kamu mah kebiasaan, Ta. Lelet…!” cibir Anggi sadis.
Anggi memang terbiasa menumpahkan uneg-unegnya sampi tuntas, kalau ia ingin tenang. Kalau memendam rasa, ia bisa sakit kepala.
“Udah sih, ri-but aja!” lerai Nani jemu.
Katanya datang kesini untuk rekreasi, ini malah ngotot-ngototan.
“Tau tuh, Nenek Lampir bawel! Orang udah minta maaf juga…” Mita menyalahkan. Cemberut.
Anggi melotot. Tidak terima dikatain bawel.
“Buah duku dicawel-cawel. Lu tuh, Mita yang baweeel…” Ia berpantun.
Disambut ger tawa Nani dan Mita.
Anggi memang teman yang sangat unik dan lucu buat mereka. Selain mudah merepet seperti tadi, dia juga cepet baiknya. Belum lagi sifat gokilnya itu, bisa membuat mereka tertawa ngakak. Orang yang mendengar suara tawanya saja, akan ikut tertawa saking lucunya.
Mereka bertiga kemudian ikut mengantri untuk menaiki wahana yang ingin mereka naiki. Wahana pertama yang mereka pilih adalah Niagara.
Kembali di wahana ini, Anggi membuat kedua temannya, juga orang disebelahnya tertawa ngakak. Kejadiannya begini, saat wahana itu baru mulai bergerak. Dan orang-orang yang naik belum berteriak ngeri. Wanita disebelah Anggi sudah teriak duluan. Saking takutnya.
“Bel-looom…!” ucap Anggi kenceng.
Otomatis, wanita itu langsung ngakak. Dan hilang sudah raut ketakutan di wajahnya.
Matahari bersinar terik, saat ketiganya melenggang puas setelah menaiki semua wahana yang mereka inginkan. Kecuali Mita yang tidak turut serta saat kedua sohibnya naik Halilintar. Dia takut.
Mereka berjalan menuju tempat makanan siap saji. Setelah sedari pagi teriak-teriak, menaiki wahana demi wahana. Ketiganya kelaparan.
Sambil menikmati hidangan yang telah disajikan, Anggi memulai pembicaraan.
“Ada hal serius yang ingin aku omongin…” ucap Anggi dengan wajahnya yang dipasang misterius. Tidak seperti biasanya, yang selalu mirip dakocan hehe…
“A-pa?” Nani dan Mita bertanya bareng. Lalu tertawa.
“Terutama buat kita berdua, Nan…”
Nani menautkan kedua alisnya. Sedangkan Mita mengedikkan bahunya.
“Semalem di kost-an aku lupa ngomong”
“Iya, apa Gi? Kelamaan…bikin penasaran aja,”
Mita menngangguk. Mengaminkannya.
“Soal jodoh kita, Nan. Kenapa kok gak nongol-nongol juga…” ucapnya sendu.
“Emang kenapa? Belum waktunya aja kan?” jawab Nani santai.
“Disamping itu juga, ada yang membuat jodoh kita tuh terhambat,”
“Apa sih, Gi? Bikin takut aja loh…” ucap Nani ngeri juga.
“Kata nyokap aku, yang mendatangi orang pinter. Katanya, ada orang yang ngerjain kita, Nan,”
“Ngerjain apa?” Nani tak mengerti juga sebal, karena ucapan Anggi dinilainya terlalu bertele-tele.
“Iya, ngerjain kita…”
“Ngerjain apaaa?” geram Nani hilang sabar.
Anggi dan Mita terlonjak kaget.
“Sab-bar napa, Nan…” ucap Anggi setelah hilang rasa kagetnya. Ia menarik nafas sesaat. “Wajah kita berdua, akan terlihat tua sama orang yang naksir kita,”
“Kok bisa?” Nani tak percaya.
Ngomong berbelit-belit dari tadi, ternyata hanya hal ngaco saja yang didengarnya.
“He-eh, apa hubungannya?’ timbrung Mita yang sedari tadi mendengarkan.
“Ya, bisalah! Buktinya kenapa, hayo! Setiap orang yang mau kenalan sama kamu, langsung pada kabur setelah copy darat sama kamu. Padahal sewaktu sms-an aja, gencarnya nggak ketulungan…” ucap Anggi semangat mengemukakan alasannya.
“Ya, belom jodoh kali…’ ucap Nani cuek, walau didasar hatinya terselip juga pemikiran aneh itu. Menjalari hatinya, benar kah itu?
Semua lelaki yang Anggi kenalkan kepadanya melalui sms, begitu semangat dan menggebu-gebu ingin berjumpa dengannya. Puluhan sms diterimanya. Namun setelah bertemu dan mengobrol, besok-besoknya lagi, boro-boro mengajaknya untuk bertemu kembali. Sms saja, tidak satu pun. Mereka seperti lenyap ditelan bumi.
“Tapi bisa aja sih…” Mita akhirnya menyetujui ucapan Anggi.
“Ah, tau deh…” Nani akhirnya tak ambil pusing.
“Kamu mah nggak percayaan sih, Nan. Orang yang Emakku datangi itu benar-benar orang pinteeer…!” Anggi mendongkol. Informasinya disepelekan.
“Pinter apa, Gi? Pinter ngibul mah iya kali, hehe…” Nani tertawa membalikkan ucapan Anggi barusan.
Anggi cemberut. “Ya, udah kalo nggak percaya. Kalo menurutku sih, kemungkinan itu bisa aja terjadi…” ucapnya menutup pembicaraan.
♥♥♥




Anggi bergegas ke luar dari ruangan Vip, setelah tugas terakhirnya selesai. Menangani pasien di ruangan itu.
Ia memasuki kamar ganti, membuka locker-nya dan mulai mengganti seragam putih-putihnya dengan celan jins gombrang dengan atasan kemeja lengan panjang warna senada. Memandang dirinya di cermin, memeriksa letak jilbabnya. Ia siap.
Anggi melesat menuju restoran Selera Anda, di dekat rumah sakit itu. Menemui Dodi. Pria ganteng yang pernah menjadi pasiennya enam bulan yang lalu. Setelah itu mereka sering bertemu untuk makan siang atau hanya sekedar jalan-jalan ke Mall.
Saat Anggi sedang bertugas tadi, pria itu mengirim sms kepadanya, mengajaknya untuk bertemu di restoran itu. Hatinya berdebar-debar memikirkan hal penting apa yang akan dibicarakan pria itu.
Dua puluh menit kemudian, Anggi mempercepat langkahnya dari tempat parkir ke restoran. Bersamaan dengan masuknya ia ke dalam restoran, hujan lebat turun mengguyur.
Anggi menebarkan pandangannya, menatap kesekeliling ruangan yang cukup ramai. Mencari pria itu. Dimana tepatnya ia duduk. Setelah dilihatnya pria itu, ia menuju meja segi empat di dekat dinding.
Berkata dalam hati bahwa ia gemetar karena udara yang dingin, bukan karena membayangkan senyum pria yang telah menjadi sangat berarti baginya itu.
Karena wajah pria itu menghadap ke ujung meja, Anggi jadi dapat mengamati wajah arsitek muda itu dari samping. Dia suka sekali memandangi helai-helai rambut mengilat tergerai dikeningnya, membuat pria itu tampak rileks, tanpa beban.
“Assalamualaikum…” sapa Anggi lirih setelah berada di dekat pria itu.
Pria itu tersentak, tak menyadari kedatangan Anggi. Kemudian ia menjawab salam itu dan menyilakannya duduk.
“Maaf, kalo Kak Dodi nunggunya kelamaan…” ucapnya basa-basi. Menenangkan debaran jantungnya yang tidak karuan.
“Nggak pa-pa…”
Mereka memesan makanan dan mulai mengobrol kesana kemari, sampai Anggi akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk membicarakan alasan pertemuan mereka.
Anggi berdehem. “Kak Dodi katanya ingin membicarakan sesuatu yang serius dengan saya…” ucapnya menirukan sms yang dikirimkan kepadanya.
“Oh, iya itu…” ucapnya kikuk sambil tersenyum. Kemudian ia membasahi tenggorokannya. “Langsung aja ya, Gi. Kita kan udah lama saling mengenal. Oleh karena itu saya… berniat…melamar Anggi…”
Anggi tersentak, terkejut dengan ucapan pria itu. Ia tak percaya pada pendengarannya sendiri. Kepalanya tiba-tiba pening, menerima kabar yang cukup menggembirakan sekaligus mengejutkannya.
“Gimana, Gi?” tanya Dodi halus dan penuh harap. Suara bas pria itu serasa mengelus gendang telinganya.
Anggi menunduk semakin dalam.
“Kak Dodi…serius? Ingin melamar saya,” tanyanya memastikan.
“Bukan serius lagi, dua rius malah, hehe…” jawabnya bercanda mencairkan suasana kaku yang sempat tercipta diantara mereka.
Anggi ikut tertawa sumbang. “Tapi…Kak Dodi kan tau sendiri, kalo adik saya banyak,” ucapnya menguji kesungguhan lelaki itu.
“Ya, nggak masalah…”
“Terus saya juga…” Anggi ragu.
Haruskah aku mengatakan ini kepadanya?
Anggi bimbang.
Ia takut perkataannya nanti membuat pria dihadapannya itu berubah pikiran. Kemudian ia memantapkan hatinya, kalau dia benar-benar mencintainya dan menginginkannya menjadi istri. Dia harus bisa menerima apa yang akan dikatakannya itu.
Pria tampan dengan lesung pipi di wajahnya itu menunggu.
“Saya…”
“Ya, kenapa?”
“Saya…punya hobi…makan bau-bauan” plong, tercetus juga kata-kata itu dari mulutnya.
Dodi menautkan alisnya tak mengerti. “Maksudnya? Bau-bauan itu apa, ya?”
“Saya suka makan…jeng-kol…”
Di luar dugaan pria dihadapannya itu tertawa lumayan keras, hingga beberapa pengunjung lain menoleh ke arah mereka.
Anggi semakin tertunduk. Wajahnya memerah. Panas.
Setelah puas tertawa, Dodi berujar.
“Itu mah nggak usah dipikirin, Gi. Hobimu itu nggak masalah buat saya. Saya juga suka kok sama jengkol, terutama kalo disemur…” ucapnya sambil nyengir.
Anggi terbeliak.
“Saya sungguh-sungguh loh, Gi,” sambar Dodi cepat seolah tahu apa yang berkecamuk dibenak Anggi.
Anggi tersenyum senang.
Ia percaya pria ini tak berbohong padanya. Dan yang jelas ternyata mereka punya kesamaan. Sama-sama suka makan semur jengkol.
“Gimana, Gi? Kapan saya boleh ke rumahmu?” tanya Dodi serius.
“Terserah Kak Dodi…” Suara Anggi bergetar.
“Itu artinya, kamu setuju menikah dengan saya?” ucap Dodi antusias. Senang.
Anggi mengangguk. Wajahnya merona merah.
Ia bahagia sekali. Jodoh yang selama ini dinantinya, telah hadir dihadapannya. Mengajaknya untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Dan itu menandakan bahwa yang dikatakan ‘orang pinter’ itu benar-benar bohong. Selama ini dia percaya penuh pada ucapan orang itu, hingga membuatnya gelisah tak tentu arah.
Namun ternyata waktu membuktikan segalanya. Sang Pangeran telah datang menjemputnya. Tak sabar ia ingin memberitahukan kabar gembira ini pada keluarganya juga sahabat-sahabat terdekatnya. Bahwa ia akan segera menikah.
♥♥♥
Siang itu, Anggi bersama dua sahabatnya, Nani dan Mita sedang asyik menikmati es krim yang mereka pesan. Mereka duduk melingkar menghadapi meja bundar.
“Aku mo meried, bulan ini sama Dodi…” ucap Anggi senang memberitahukan berita besar itu. Dan ia menikmati wajah terkejut kedua sohibnya.
“Bener?” kata Mita tak percaya. Anggi kan doyan becanda pikirnya.
“Serius, Lo…?” Nani kelihatan seperti akan pingsan.
Anggi mengangguk pasti. “Kenapa sih, Nan? Bukannya senang temennya mo menikah”
“Iya, aku juga senang, Gi. Hanya saja…”
“Kenapa? Kamu keberatan? Karena kita pernah berikrar bahwa kita mo menikah bareng-bareng, tapi kenyatannya aku dapet jodoh duluan, gitu?” potong Anggi nyerocos.
Nani tersenyum. “Justru itu yang ingin aku katakan, Gi. Menikah bareng-bareng…”
“Maksudmu?”
Anggi tak sanggup melanjutkan perkataannya, ia senang bukan main. Seperti mendapat durian runtuh. Meski ia nggak doyan duren, hehe…
“Kalian kenapa sih? Pada aneh gitu…” ucap Mita tak mengerti, ke arah mana sebenarnya pembicaraan kedua sohibnya.
“Kita mo menikah bareeeng…!” ucap keduanya kompak.
Kemudian tertawa bersama.
“Apa? Gila lu pada…” Mita sangsi. “Kamu emang mo kawin sama sapa, Nan?” ucapnya menatap Nani lekat-lekat.
“Bukan kawin, Ta. Me-ni-kah…” ralat Nani cepat.
“Sama aja kan? Kawin”
“Beda atuh, kawin mah sebelum menikah juga bisaaa…” Anggi nyengir.
“Sama siapa, Nan?” kejar Mita lagi penasaran.
“Mas Anhar…”
“Anhar siapa? Perasaan kamu nggak punya kenalan yang namanya Anhar deh,” Anggi yang mulanya senang tapi akhirnya sangsi juga.
Mungut cowok dimana tuh anak, dia kan jomblo, hehe…
Mita mengangguk setuju. “He-eh, siapa sih Anhar? Ngarang deh Nani…”
“Aku serius. Sebenernya aku juga nggak kenal?”
“Tuh kan, bokis abis!” potong Anggi gemas.
“Aku kan belum selesai ngomongnya, Gi. Aku kenal Mas Anhar tuh pas ta’aru,f”
“Siapa yang ngenalin?” Anggi menyelidik.
“Teh Nia. Katanya sih Mas Anhar itu adik teman Teh Nia. Katanya lagi, dia lagi nyari calon istri. Pas Teh Nia ngasih tau kalo Teteh punya adik yang belum menikah, maksudnya aku gitu…” tunjuk Nani kedadanya. “Dia pengen dikenalin. Dan gitu deh, dia cocok sama aku. Dia dokter loh, seperti yang kuinginkan selama ini…” mata Nani berbinar-binar. Senang.
“Iya?” tanya Anggi takjub.
Nani mengangguk pasti.
“Syukurlah, akhirnya kesampaian juga, kita nikah bareng ya, Nan?” ucap Anggi serak, dua bulir bening menggenangi pipinya.
“He-eh” kata Nani terharu, ikut-ikutan menangis.
Mita hanya bisa bengong menyaksikan dua sohibnya itu bertangis-tangisan. Tangis bahagia.
“Omongan ‘orang pinter’ itu nggak terbukti kan, Gi?” celetuk Mita tiba-tiba.
“Iya. Nyesel deh, aku sempat mempercayai omongan itu. Sampe-sampe, aku hampir tiap malam baca ayat Kursi sambil ngaca untuk menghilangkan ‘muka tua’ dari wajahku…” ucapnya menyesal.
Kedua sohibnya itu tertawa pelan. Mentertawakan kebodohan Anggi.
“Lha, ngaca sambil baca ayat Kursi itu pepatah dari siapa?” tanya Nani diiringi dengan tawa tertahan.
“Tetanggaku…” ucap Anggi lirih dengan wajah memerah. Malu.
Nani dan Mita ketawa lagi.
Kemudian Nani terdiam.
“Kenapa, Nan? Kok tiba-tiba langsung diem…” Anggi heran.
“Aku juga sempet percaya sama ucapan orang pinter itu, Gi,” ucapnya jengah.
Anggi terbeliak. “Sumpe, Lu? Bukannya waktu itu kamu nggak percaya?”
“Mulanya sih iya, aku nggak percaya. Tapi…”
Diceritakannya pada kedua sohibnya itu bahwa ia sempat kepikiran akan hal itu. Dan tanpa disengaja ia mengatakan hal itu pada Mamanya. Sang Mama yang pada dasarnya masih percaya pada hal-hal seperti itu, langsung menyuruhnya mandi tengah malam dengan berbagai macam bunga. Tidak tanggung-tanggung sepuluh rupa, bukan tujuh lagi.
“Malam apa mandinya?” tanya Anggi antusias.
“Jumat Kliwon…”
Anggi ngakak.
“Kenapa? Iya sih aku emang bodoh. Termakan ucapan orang yang kamu bilang pintar itu, juga terbujuk ucapanmu,” ucap Nani semakin menunduk. Malu hati.
“Bukan itu, Nan. Aku bukan ngetawain kebodohanmu, tapi…aku juga sama,”
“Sama gimana?” Nani mengangkat kepalanya.
“Aku juga mandi kembang tengah malam…”
Nani dan Mita melongo. Kemudian ngakak bareng.
“Jangan bilang, malam Jumat Kliwon juga?” ujar Mita sambil menahan tawa.
Anggi mengangguk lemah.
Kembali kedua sohibnya itu tertawa ngakak.
Nani sampai memegangi perutnya, saking gelinya mendengar akan hal itu. Dia pikir hanya dirinya saja yang bodoh, ternyata Anggi dua kali lipat lebih bodoh darinya.
“Makanya, lain kali jangan asal percaya aja,” ucap Mita mengingatkan. “Hari gene! Masih percaya ‘orang pinter’ hik hik…” sindirnya tajam.
“Udah sih, malu aku, aaah…” Anggi nyanyi.
Keduanya tertawa lagi.
“Buat pelajaran tuh, Gi. Asal percaya aja, yang ada kamu sendiri yang jadi paranoid,” saran Nani sok bijak.
“Kamu juga!” selak Anggi tak mau kalah.
“Baik, Mak…”
“Mak, Mak…kapan aku kawin sama Bapakmu!” jitak Anggi pelan.
Mereka tertawa bersama.
♥♥♥

I'm Falling in Love ama Kakak Mentor

Pas aku lagi sibuk-sibuknya ngebales kemen-komen teman-teman facebook pada statusku, tiba-tiba jendela chatting tampil. Muncul nama Rani Aulia disana.
“Asslkm, Kak?”
Aku menatap sekilas foto profil di sudut atas. Seorang cewek berjilbab dengan wajah imut. Mungkin berumur tiga belas tahun. Atau malah udah tua. Tapi bela-belain majang foto adiknya, nyolong pula. Hehe. Atau bisa jadi juga foto masa kecilnya. Di dunia maya, apa pun bisa terjadi. Dan dimanipulasi.
“Waalaikum salam wr.wb”
“Ganggu gak, Kak?”
“Gak juga, kenapa?”
“Saya pengen curhat ama kakak, boleh kan?”
“Boleh…” dalam hati aku tersenyum, siapa gitu gue sampe dimintain curhat.
“Umur Rani 14 tahun, Kak. Rani baru aja ikut sanlat sebulan yang lalu. Dan abis ikut sanlat itu banyak hal yang bikin Rani berubah. Dan gak tau kenapa, Rani kok ngerasa ada perasaan yang gimana gitu ama salah satu kakak fasilisator sanlat itu. Orangnya ganteng banget, sholeh pula. Rani seneng banget kalo udah denger dia ngomong, kayak dia lagi kultum misalnya. Dan karena satu dan laen hal kami jadi sering ketemu dan jadi akrab deh”
Aku tercenung. Wah, jangan-jangan bener nih bocah umurnya memang 14 tahun. Berabe nih hehe.
“Kayaknya Rani lagi terkena virus-virus merah delima deh”
“Kok bisa, Kak”
“Ya, bisa lah. Secara Rani kan masih ABG. Dan seusia Rani ini memang lagi sensitif-sensitifnya menilai figur cowok, apa lagi kalo dia punya karakter yang diidolaain dan deket banget ama figur keislaman yang lagi Rani pelajarin.”
“Maksudnya, Kak?”
“Rani kan lagi seneng-senengnya mendalami islam. Trus Rani malah ketemu ama figur akhlak dan fisik yang Islami banget. Ditambah pula dia seorang cowok. Ya wajar banget kalo Rani jadi klepek-klepek ama tuh mentor. Kagum iya, mengidolakan iya, takjub juga iya. Iya, gak?”
“Bener banget, Kak. Kok kakak tau sih. Bahkan perasan Rani dalem banget”
“Tau dong. Cieee…Tapi jangan kaget loh, Dek. Walaupun kayaknya perasaan itu dalem banget, tapi biasanya perasaan itu sifatnya temporer aja”
“Temporer itu apaan, Kak. Jangan make bahasa yang belibet gitu deh. Rani gak ngerti…”
“Artinya semakin Rani gede dan beranjak dewasa, Rani bisa berpikir lebih rasional dan realistis. Trus lebih bisa ngontrol emosi dan perasaan Rani. Entar mikirnya bukan lagi gimana sih caranya supaya deket ama dia, yang biasanya diperkuat ama imajinasi juga khayalan, tapi lebih ama penghayatan bahwa Allah akan ngasih jalan keluar yang terbaik buat Rani”
“Trus, Rani harus gimana, Kak?”
“Gimana ya…ya gak gimana-gimana hehe…”
“Serius dong Kak, Rani gak tau kudu ngapain nih, please help me bro”
“Oke. Sekarang Rani belajar deh ngendaliin emosi”
“Emosi apaan, perasaan Rani gak lagi marah-marah deh”
Aku ketawa. Lucu banget nih bocah.
“Bukan emosi kayak gitu, emosi disini artinya hasrat cinta dan perasaan suka. Yang namanya emosi kalo diikutin ya gak ade matinye hehe. Entar malah konsentrasi belajar Rani jadi keganggu, coz mikirin dia mulu. Pengen deh nelpon. Entar kalo udah nelpon sekali, bawaannya pengen nelpon mulu. Trus waktu Rani juga kebuang sia-sia hanya untuk nyari-nyari perhatian dia. Trus kalo udah dapet perhatian dia, Rani tambah kelabakan untuk terus dapet perhatianya yang lebih lagi. Trus maunya ketemuan deh. Berabe banget kan?”
“Bener juga, Kak. Sekarang aja Rani udah gak konsentrasi belajar coz mikirin dia mulu. Abis dia ganteng banget sih. Bahkan lebih ganteng dari Kakak…”
Nah loh, kok jadi ngebahas aku sih. Apa hubungannya coba? Dasar bocah!
“Rani tau gak, cara berpikir mahasiswa ama Rani yang SMP itu jauuuh banget. Kayak antara Jakarta dan Penang”
“Sejauh itu, Kak?”
“Iya dong. Orang yang udah mahasiswa biasanya ngeliat anak SMP itu ya kayak ngeliat adeknya sendiri. Agak jauh kalo ngarep suka kayak sukanya cowok ama cewek. Jadi seharusnya sih kakak mentor Rani itu ngebatesin diri dalam berinteraksi ama lawan jenis meskipun ama anak SMP. Karena walaupun anak SMP itu masih dianggap anak pitik coz baru lulus SD, tapi biasanya mereka udah akil balig. Kan udah dapet itu”
“Hehe…Kakak tau aja kalo anak SMP udah dapet”
“Tau dong, Kakak juga punya ponakan seumuran Rani. Seharusnya Rani panggil aku Om hehe”
“Iya deh Om. Trus gimana lagi?”
“Balik lagi ke soal anak SMP tadi. Jadi, anak SMP itu ibarat anak tanggung, dianggap anak kecil udah bukan anak kecil lagi, tapi dibilang dewasa juga belom. Jadi tepatnya disebut remaja yang kekanak-kanakan kali ya, hehe. Karena pola pikirnya kadang emang masih kekanak-kanakan. Belom bisa ngendaliin dorongan diri, maunya keinginannya dituruti mulu persis anak kecil, iya, kan?”
“Hehe…bener, Om. Jadi perasaan Rani kudu diapain, Om?”
“Di apain, ya hehe. Rani kudu ngerubah persepsi Rani dalam ngartiin perhatian dari seseorang.”
“Ngerubah persepsi, Om?”
“Iya. Yang namanya perhatian itu gak selalu artinya cinta. Siapa aja selama dalam proses belajar dan mengajar, atau pembinaan pasti akan ngasih perhatian. Jadi tanggepin aja perhatian itu ala kadarnya, gak usah lebay. Gak usah di dramatisir. Apa lagi sampe dikhayalin sampe berbau-bau romantis. Hati-hati, takutnya malah nantinya Rani akan semakin terperosok ama perasaan itu. Trus sholat terganggu, ngaji dan belajar males. Maunya ngayal mulu. Rugi banget. Waktu kebuang sia-sia”
“Trus Rani kudu ngapain atuh, Om?”
Bujug, nih bocah udah ada berapa puluh kali nanya kudu ngapain. Apa disuruh ngepel lantai aja apa ya, hehe…
“Om, ngapain?”
“Buat diri Rani sesibuk mungkin. Ikut les kek, organisasi kek, apa kek. Pokoknya judulnya Rani gak boleh ngayal. Rani masih belia banget, jalan ke depan masih panjang kalo gak kepotong ama kematian. Jadi masih banyak hal yang Rani harus capai juga diraih. Oke, Rani?”
“Oke, Om. Makasih saran-sarannya. Perasaan Rani udah jauh, jauh lebih baik sekarang. Diantara friend list Rani, hanya tampang Om yang mengatakan bahwa Om adalah satu-satunya yang bisa Rani ajak sharing hehe…”
“Halah, preeet…bisa aja Lu, miji-muji orang”
“Beneran, Om”
“Iya, deh. Jangan lupa transfer via Dey cab. Balaraja ya, ditunggu hehe…”
“Dasar Si Om matre hehe…”

Noda Menyapa Cinta

Aku boring banget hari ini. Aku telat, kesiangan. Untungnya jam pertama Pak Andi yang mengajar. Sejarah. So aku boleh masuk deh. Aku kan murid kesayangan beliau. Tapi tetep aja, aku dinyanyiin dulu. Diceramahin gitu. Pengeng tau!
“Lia jadi wanita itu harus disiplin…”
Ugh, apa hubungannya coba wanita dengan kedisiplinan? Hehe…lucu ya, Pak Andi.
Aku terkejut. Saat mataku bersirobok dengan sepasang mata bersorot tajam, dinaungi alis lebat, berhidung mancung. Ganteng. Kiyut abiiis! Udah nangkring di bangku sebelahku.
Siapa diaaa…?
“Aku Arjun Malhotra…” Ia memperkenalkan diri dengan percaya dirinya. Dan tersenyum dengan senyuman termanis yang pernah aku lihat.
Aku tersenyum juga. Geli. Bahasa Indonesianya lucu, kaku dan patah-patah.
Dia rupanya murid baru. Pindahan dari Mumbay, New Dehli, India sono.
Kuerenkaaan? Mirip bintang Bollywood deh. Siapa ya? Lupa, hehe…jarang nonton film India sih…
Semua kaum Hawa di kelas kasak-kusuk. Ada yang melotot pula sama aku, hehe…jeleous kali! Lihat aku duduk indehoy sama tuh cowok.
So pelajaran sejarah cuma diisi dengan bisik-bisik doang.
“Was, wes, wos…xyzzz…stssss…!”
Riuh.
Pak Andi manyun. Gondok. Tidak ada yang memperhatikan penjelasannya. Ujung-ujungnya, beliau memberi tugas, membuat ringkasan tentang salah satu keajaiban dunia. Taj Mahal.
Pusiiing…deh!
@@@

Besok tugas sejarah dikumpulkan.
Gimana nih? Aku sama sekali belum dapat bahannya. Di Perpus nggak ada, keduluan yang lain.
Ampun deh! Alamat diomelin nih…
Kelas sepi, semua ke luar. Istirahat.
Di kelas hanya ada aku dan si Arjun itu.
“Lia!” Aku menoleh. “Sudah buat tugas sejarah?” tanyanya memecah kesunyian kelas.
Aku nyegir. “Belum, kenapa?” tanyaku cuek. Padahal jantungku deg-degan banget.
“Mau, aku ceritakan tentang Taj Mahal?” tawarnya ragu.
Aku terbeliak. “Boleh…” aku girang. Pucuk dicinta ulam tiba. Aku jadi nggak pusing-pusing mencari referensinya. Tinggal pasang kuping saja, bereskan…?
Taj Mahal adalah bangunan yang merupakan kuburan megah yang didirikan oleh raja Shahjahan untuk mengabadikan cintanya pada Mumtaz Mahal. Dan dibangun pada tahun 1632.
@@@

Capek. Habis keliling mall bareng Arjun. Beli mah kagak, cuma lihat-lihat barang bagus doang. Cuci mata. Emang belekan, hehe…
Ujung-ujungnya, makan deh di Food court. Kenyang!
Coba kalau Teh Arum tau, pasti aku dinyanyiin. Buang-buang waktu, katanya. Kurang kerjaan, ngukurin setiap inchi mall doang.
Ada benernya sih, hehe…
Cuma, berhubung diajak Arjun, aku mau lah. Nge-date gitu loh…! Sama cowok kiyut kayak dia, masa nolak sih…
Tau tuh, gara-gara tugas sejarah itu, aku dan doi jadi tambah lengket deh. Trus, aku ngajarin doi cara cepat ngomong Indonesia. Biar nggak belibet gitu! Sebaliknya, dia juga ngajarin aku ngomong Hindi sebagai rasa terima kasihnya karena aku telah berbaik hati mengajarkannya bahasa Indonesia yang baik dan benar.
So sekarang, aku sudah bisa sedikit-sedikit ngomong tuh bahasa. Buat ngomongin temen-temen sekelas, dan mereka cuma planga-plongo aja, nggak mengerti. Walau buntut-buntutnya mereka ngeh juga kalau lagi dijadiin pusat pembicaraan. Hehe…
Aku mau menemani doi jalan tuh karena ingin menghiburnya saja. Kasihan doi. Mama Papanya baru cerai, en doi terpaksa ikut sang Mama ke Indonesia. Katanya sih Papanya meried lagi, en doi ogah punya Mami tiri. Suereeem…katanya.
O, ya, akhir-akhir ini, Salsa, sohib terbaikku agak menjauh. Gara-gara aku lebih sering jalan bareng Arjun dari pada sama dia. Habis dia terlalu nyinyir sih. Sok ngelarang-ngelarang aku jalan bareng sama Arjun.
Memang sih tujuannya baik, tapi kan aku nggak ngapa-ngapain ini sama Arjun. Cuma jalan-jalan doang. Dan yang terpenting, aku bisa menjaga diri. So don’t worry deh…
Tapi katanya, dia bukan mahrom-ku. Bodo deh. Peduli amat!
@@@

Surprised banget! Arjun nembak aku, waktu doi ngajak aku nonton di Twenty One. Nembaknya pas di lobi Twenty One. Sewaktu menunggu film yang akan diputar.
“Lia…selama aku di Indonesia ini, kamulah satu-satunya temen dekat aku. Kamu baik, pintar, mengerti aku en chalo (cantik) pula…” ucapnya menyanjungku.
Hidungku mekar, ge-er dikit mah. Hehe…
“…dan tidak tau kenapa, aku selalu teringat padamu, Lia” katanya sambil meraih jari jemari tanganku. “Lia, aku sayang…kamu”
Wajahku memerah. Panas. Dan tubuhku gemetaran. Panas dingin.
“Lia, mein tum se pyar karti hoon…” bisiknya pelan ditelingaku. Artinya “Aku cinta padamu” begitu…
Aku terdiam. Kaget sekaligus senang tiada terkira.
“Mau tidak kamu jadi pacarku…?” ucapnya penuh harap sambil menatap mataku. Tatapannya tepat menghujam ke jantungku. Hingga membuat lemas persendianku.
Aku mengangguk. Menyambut perasaan cintanya itu dengan hati berbunga-bunga. Mawar, melati, dahlia…hehe…
Dan doi memelukku. Gila! Sesaat aku merasa nggak ada di bumi deh, terbang ke negeri antah berantah, hehe…
Aku menerima doi jadi yayangku karena selain ganteng, lucu, ngerti aku, tapi juga karena doi pintar dalam segala mata pelajaran. Kecuali pelajaran bahasa Indonesia kali yeee…
Bodoh sekali, kalau aku menolak cowok seperti dia. Cowok langka. Dan lagi doi tuh cowok idaman setiap cewek. Termasuk cowok idamanku. Selevellah…hehe, sombong!
Sayang kan, kalau mahluk imut kayak doi dilewatkan.
@@@

Tadi Teh Arum ke kamarku. Biasa deh, kakak semata wayangku itu mau mengintrogasi aku.
Aku dibilang doyan kelayapan, jarang di rumah buat bantuin Mamah. Salatku, terutama subuh bolong-bolong dan yang paling parah, aku dikatain centil, hik hik…hanya karena si Teteh nemuin lipstick di meja riasku.
Ugh, si Teteh…dasar, sirik aja! Nggak boleh apa, aku sedikit berdandan? Kan biar cantik. Aku kan wanita, deuuu…
Teh Arum memang perhatian sekali, tak ada yang luput dari pengamatannya. Dari rambut hingga jilbab dibahas abis, nggak ada bosen-bosennya.
“Rambut Dede yang panjang, hitam dan indah ini sudah saatnya ditutup. Ini aurat, De. Sepuluh orang dalam sehari memperhatikan dan mengagumi rambutmu, sebanyak itu pula dosa yang Dede dapet. Dan blab bla bla…”
Mulai deh khotbahnya, panjaaang… sekali. Sepanjang jalan Probolinggo ke Brebes, hehe…
Aku? Pake jilbab? Oh, no!
Duh, nggak kebayang deh, bisa hancur penampilanku. Kayak Emak-emak gitu, hiiiy…!
Dan yang terpenting, nanti nggak ada acara belai-membelai rambut dari A’Arjun hehe..Aa? Bahasa Hindinya apa, ya? Au ah…
Walau pengeng en boring banget, dengerin ceramah tuh Ustazah, dengerin aja lagi. Kapan lagi coba ada ceramah gratisan, hehe…memang ada, ya ceramah yang pake bayaran?
Dan lagi pula dia itu teteh terbaikku, dan aku sangat menyayanginya.
@@@

“De, kamu udah mulai pacaran, ya?” tanya Teh Arum penuh selidik.
“Kesimpulan dari mana tuh, bisa bertanya demikian?”
“Dede centil sekarang, hehe…”
“Biarin, weee…! “ aku menjulurkan lidah. “Emang kenapa, Teh, kalau Lia pacaran? Mau dikawinin gitu?”
“Sableng! Masih ijo udah ribut nikah” ucap Teteh lucu. “Dede kan tau, di Islam itu…”
“Nggak ada istilah pacaran…” serobotku cepat.
Mulai lagi deh khotbahnya. Teteh nggak tau sih, bagaimana asyiknya pacaran. Apalagi dengan cowok seganteng Arjun Malhotra. Belum lihat sih, coba kalau sudah lihat, pasti klenger. Naksir gitu…
Tapi nggak juga ding. Mustahil itu terjadi sama teteh.
Waktu itu saja, ada temen sekampus Teteh. Ganteng banget. Main kesini, saat Teteh mengadakan kajian. Rame.
Aku melihat tuh cowok dengan jelas, gara-gara dipaksa Teteh ikutan bergabung dengan para jilbaber dan jenggoter itu. Terpaksa. Tapi lumayan sih, dapet tontonan gratis, melototin tuh cowok eh ikhwan ding-kata Teteh. Nggak tau apa artinya, tekwan kali, hehe…hus! Jangan ketauan Teteh, nanti diceramahin lagi. Berabekaaan…
Kembali kesoal tuh cowok eh ikhwan, Teteh adem-adem aja tuh. Padahal aku udah blingsatan, kayak cacing kepanasan.
Teteh normal nggak sih?
Ugh, jahat banget ya, aku.
Semenjak dikerudung, Teteh memang berubah, tapi lebih santun. Apalagi sama ortu. Kalau aku sih, masih seperti biasa hehe…
“De…!” panggil Teteh ngagetin. “…dari tadi diajak ngomong malah ngelamun, dasar!”
@@@

Gawat! Aku nggak datang bulan, gimana nih?
Aku bingung. Takut. Juga penasaran. Trus aku mencoba test pack. Dan hasilnya. Ya Allah…hasilnya po-si-tif. Aku hamil.
Langit runtuh menimpaku. Aku pingsan.
“Dedek udah sadar, ya?” Teh Arum bertanya lembut seraya membelai rambut indahku. “Syukurlah…”
Aku malu sama Teh Arum, Mama, dan juga Papa. Terlebih kepada Allah.
Aku pengen mati aja deh…
“Dede kenapa?” Teh Arum bertanya dengan raut wajah khawatir.
Aku membisu, nggak tau harus ngomong apa? Dan harus mulai dari mana? Hanya air mataku deras mengalir.
Saat malam pergantian tahun berlangsung, aku merayakannya bareng Arjun, di sebuah hotel di tepi pantai. Disana perbuatan terlarang itu terjadi. Demi cintaku padanya, aku rela menyerahkan kegadisanku. Yang seharusnya aku persembahkan untuk pendamping hidupku kelak.
Tapi kini, aku…ah…aku memang bodoh.
Aku sangat menyesal. Tapi sudah tak ada gunanya lagi sekarang. Menyesal memang selalu saja belakangan.
Aku tau, Arjun mau bertanggung jawab, menikahiku. Tapi aku masih bimbang, kami masih terlalu muda untuk mengarungi mahligai pernikahan. Apa itu menikah aja aku nggak ngerti.
“Apa yang harus Lia lakukan, Teh?” tanyaku serak. Bulir-bulir bening menggelinding, membasahi pipiku yang pucat. Aku lega, telah menceritakan semuanya. Namun hatiku serasa dirujit-rujit, saat menatap wajah Teh Arum. Ada kepedihan disana, dibening bola matanya. Ia terluka.
“Maafkan Teteh, De…” suaranya bergetar. “…Teteh gagal mengajakmu” dua bulir bening membasahi wajah cantik tetehku itu. Ia merasa bersalah sekali atas masalah yang menimpaku. Padahal itu sama sekali bukan kesalahannya. Tapi murni karena kesalahan dan kebodohanku sendiri. Tak pernah mendengarkan nasehat-nasehatnya.
“Nggak, Teh. Lia yang salah. Lia bandel, nggak dengerin nasehat Teteh…” ucapku terbata, diantara isak tangisku.
“Sekarang, Dede mau kan bertobat?”
Aku mengangguk kuat. “Insya Allah, Teh”
“Mohon ampunlah pada Allah ya, De?”
Aku menggangguk lagi. Dan tersenyum. Walau hanya berupa lengkung yang patah.
Mulai saat ini, aku akan memperbaiki hidupku, mengikuti aturan-Nya. Meski kini aku telah ternoda.
@@@

Curhat Sahabat "Demam Panggung"

“Kang Dey, Iffah harus gimana?”
Aku tertawa saat menerima telpon dari cewek yang udah aku anggap adikku sendiri itu.
Sebuah stasiun radio Islami di kota Buitenzorg telah mempertemukan kami dalam jalinan ukhwah yang begitu indah.
“Gimana apanya? Kamu nih aneh, ujug-ujug kok nanya gimana. Belom juga cerita”
Dia juga ikut-ikutan tertawa.
“Kang Dey tau sendiri gimana Iffah kan?”
“Nggak. Kang Dey gak tau”
“Ah, kang Dey mah gitu. Ya udah deh, Iffah gak mau cerita” Cewek kelas dua SMU itu pun ngambek.
“Terserah. Lagian siapa juga yang mau dengerin cerita Iffah” Aku melanjutkan mencandainya.
“Kang Dey jeleeeek…” teriaknya di horn telpon. Aku menjauhkan gagang telpon dari kupingku. Wah, bisa budek nih kuping.
“Iya deh, didengerin. Orang cuma becanda kok. Ya udah terusin gih!”
Gak ada sahutan.
“Dek! Hallo…halloo…”
Terdengar cekikikan halus disebrang sana. Dasar, ngerjain orang tua aja hehe.
“Serius nih. Kang Dey kan tau kalo Iffah selain pendiem, pemalu pula”
“Pemalu apa malu-maluin?”
“Kang Dey…udah deh gak mau”
“Iya, iya, sorry, sorry. Trus kenapa?”
Ia ambil nafas sebentar. “Wali kelas Iffah nyuruh Iffah ikutan lomba pidato, Kang. Gimana dong, Kang?” rengeknya dengan suara kekanak-kananakan.
Aku terdiam. Menunggunya menumpahkan yang menjadi ganjalannya.
“Boro-boro pidato, Iffah ngomong di depan temen-temen aja, kalo mereka tiba-tiba diem, anteng ngedengerin Iffah ngomong. Muka Iffah langsung panas, dada berdebar-debar, lutut gemeteran. Jadi gimana atuh, Kang” ucapnya lancar. Biasanya dia begitu irit ngomong kalo ga ditanya duluan. Mungkin pengaruh panik. Jadi pasokan suaranya keluar.
“Tenang dong, Dek. Gak usah panik gitu kali. Kang Dey rasa bukan Iffah aja yang ngalamin perasaan seperti itu, saat mau tampil di depan umum, semua orang juga pernah ngalamin. Kang Dey juga pernah”
“Bener, Kang? Ah, Kang Dey mah bo’ong”
Aku tersenyum. “Yeee, gak percaya. Jujur, Kang Dey juga pernah ngalamin demam panggung. Gimana nggak grogi coba, kalo tiba-tiba aja semua perhatian tertuju ama kita. Bibir kelu, pikiran pun buntu. Halah, hehe” Aku tertawa.
“Bener tuh, Kang. Iffah juga ya kayak gitu itu” ucapnya sambil ikut-ikutan tertawa.
“Tau gak, Dek. Kenapa kita bisa grogi banget?”
“Nggak”
“Karena kita gak bisa ngontrol apa yang ada dipikiran orang-orang yang merhatiin kita. Kita gak tau mereka mikir apa sih tentang kita. Makanya kita gak puguh rasa”
“Iya, Kang. Trus, supaya kita gak grogi gimana?”
“Gimana, ya. Sebenernya yang paling penting untuk ngilangin rasa grogi itu yaitu…” Aku terdiam.
“Apa, Kang? Kok macet” cecarnya gak sabaran.
Aku ketawa. “Yaitu sebelum kita tampil di depan umum. Kita berusaha nyiapin diri sebaik-baiknya”
“Misalnya, Kang?”
“Misalnya, kalo Iffah harus ngomong di depan umum kayak pidato misalnya. Iffah pelajarin dulu materinya dengan seksama, sehingga Iffah nguasain banget apa yang mau diomongin di depan mereka. Dan mampu memperkirakan apa yang kira-kira mereka tanyain. Nah, perasaan siap itulah yang bikin gugup kita bisa berkurang”
“Tapi Iffah takut gak bisa, Kang?” ucapnya dengan suara lemah.
“Belom juga dicoba, masa udah takut duluan. Dicoba dulu dong. Makanya Iffah berusaha deh untuk ngontrol emosi juga pikiran Iffah. Iffah harus yakin kalo Iffah pasti bisa, Insyaallah kalo pikiran itu ada dibenak kita, maka kita pasti bisa. Dan jangan lupa, Iffah juga harus berdoa ama Allah, minta supaya dikasih kekuatan juga kemampuan.”
“Kalo nanti penampilan Iffah jelek gimana, Kang. Kalo ya, Kang. Seumpama gitu” Ia cengengesan.
“Ya, makanya Iffah jangan terlalu menuntut diri dong. Bahwa Iffah harus tampil sempurna. Gak mau jelek apa lagi sampe ngecewain semua orang yang udah ngedukung Iffah untuk ikut lomba pidato itu. Santai aja lagi. Iffah tampil dengan apa adanya. Yang penting, Iffah udah berusaha buat nyiapin diri sebaik-baiknya. Karena sebenernya, persiapan itu berarti udah separuhnya dari kesuksesan Iffah.”
“Gitu ya, Kang?” ucapnya mantap. Sepertinya apa yang aku ucapin, dia udah ngerti.
“Iya begono. Sekali lagi Kang Dey tegasin ya, dan bila perlu Iffah kasih stabilo tebel-tebel” Aku tertawa. “Jangan pernah takut jelek atau takut salah.”
“Jangan pernah takut jelek atau takut salah” Iffah membeo ucapanku.
“Yup, betul. Iffah tau gak, orang yang bisa ngomong lugas dan santai banget di depan umum itu, mereka juga ngelewatin masa latihan yang gak sebentar. Mereka juga pernah ngalamin kritikan pedes dari orang juga hambatan-hambatan. Jadi, Iffah jangan pernah kapok. Trus, samber semua kesempatan untuk belajar dan terus ngembangin diri. Yakin bahwa penilaian yang paling utama hanya dari Allah aja. Jadi jangan terlalu mikirin penilaian orang ama kita. Oke, Dek?”
“Oke deh, Kakak” ucapnya sambil tertawa berderai-derai.
“Udah bisa ketawa, ya. Tadi aja mau mewek-mewek” ledekku menggodanya.
“Ah, Kang Dey mah gitu. Bodo ah. Yang penting, selama ada Kang Dey, semua masalah Iffah jadi ketemu jalan keluarnya” Ia tertawa.
“Enak aja. Pokoknya pas ketemu ta’lim nanti, Iffah bayar biaya curhat ini” ucapku mencandainya.
“Dasar matre, kelaut aja. Amit-amit, punya kakak kok matre gitu ya”
“Bagus lah” ucapku sambil tertawa.
“Makasih ya, Kang Dey.” Klik. Ia pun menutup telponnya. Setelah mengucap salam.

Mabit Lido menjelang Ramadhan

Matahari mulai naik sepenggalah meninggalkan buaian malam dalam hitamnya yang sempat bertahta. Saat aku dan Udin menikmati semangkuk bubur ayam yang lezat. Racikan dan penyajiannya agak sedikit beda ama bubur ayam yang biasa jadi langgananku di depan rumah. Kalau bubur ayam yang sedang kusantap itu gak pake siraman santan kental, tapi kecap asinnya lebih mendominasi. Berbeda, tapi ada kelezatan pada tiap masing-masing racikannya.
“Tadi kenapa harus ngumpet-ngumpet segala si, Din?”
Tercetus juga rasa heran yang sedari berkecamuk dibenakku. Saat kemunculan Udin lumayan mengejutkanku. Gimana nggak coba, aku udah celingukan dengan ponsel bertengger dikuping. Dia malah nongol dari arah belakang.
Udin menghembuskan nafasnya perlahan. Tangannya sibuk mengaduk-aduk bubur ayam itu sehingga semua bahan-bahan yang ada dalam bubur tercampaur baur. Cara makan yang nyaris sama dengan kebanyakan orang. Beda banget ama cara makanku. Kalo aku sih membiarkan semua racikan itu seperti apa adanya. Diambil sedikit demi sedikit. Aku sih geli kalo liat warna bubur itu berubah karena diaduk-aduk. Mengingatkan aku pada muntahan orang.
“Aku takut bertemu dengan penjaga sekolah, Dey”
Aku mengerenyitkan dahiku. “Kenapa? Ngigit emangnya” aku bercanda sambil tersenyum.
“Dia tuh orangnya agak ember, Dey. Ucapannya suka dilebih-lebihkan gitu. Intinya sih aku akan jelek banget dimata kepala sekolah”
“Bukannya kamu tadi bilang kalo hari ini kelasmu kosong. Lagian kamu udah izinkan sama kepala sekolah” ucapku bingung sambil mengunyah buburku yang terasa nikmat sekali.
“Iya sih. Tapi tetep, Dey. Aku akan jelek banget dimata kepala sekolah”
Mata Udin langsung meredup setelah mengucapkan kata-kata itu. Matanya seolah berkata “bertemu penjaga sekolah itu, saat seharusnya aku mengajar adalah hal terburuk yang akan menjadi santapan lezat bagi mulut usilnya”
Aku ngerti. Dan aku langsung merubah topik pembicaraan yang gak ngenakin itu dengan hal-hal ringan. Agar kecerahan pagi itu gak merubah wajah seseorang yang udah jadi sahabat terbaikku dari masa seragam putih abu-abu sampe sekarang.
Setelah semangkuk bubur ayam singgah diperut kami, kami harus berlari-lari mengejar AJA Cimone-Grogol yang kecentilan dengan jalannya yang endut-endutan. Menaikan segerombolan juga satu-persatu penumpang yang akan menggunakan jasa bus itu.
@@@

Waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat saat aku dan Udin sampai di halte Jelambar. Dan sekelebat kulihat bayangan Gigih, ia celingukan mencari-cari dimana kami berada.
Setelah berpelukan untuk melepas segala kerinduan dan basa-basi bertanya kabar. Kami berempat, aku, Maulana, Gigih dan Udin berdiri mengobrol diselingi canda tawa, menunggu datangnya bus yang akan membawa kami ke rumah Evi di SPN Lido.
Lama menunggu bus Sukabumi-Kali Deres, hingga kakiku pegel, akhirnya nongol juga tuh bus. Alhamdulillah, kami dapat tempat duduk. Meski Maulana dan Udin harus duduk terpisah dari aku dan Gigih. Namun jaraknya masih berdekatan. Maklum sebagian dari kursi-kursi itu telah terisi sebagian.
Saat bus melaju membelah lalu lintas Jakarta dengan segala kesemrawutannya. Seorang bapak paruh baya dengan rambut yang mulai dipenuhi uban bertanya ama aku. Tujuanku mau kemana dan dari mana. Biasalah pertanyaan basi sebagai pembuka percakapan. Sehingga menginterupsi obrolanku dengan Gigih yang sedang berlangsung.
Semula agak menyenangkan saat mengetahui kalau bapak itu punya lahan subur untuk bekerja. Peluang tuh untuk mendapatkan pekerjaan, pikirku. Sehingga kuberanikan diri untuk menanyakan lowongan pekerjaan padanya. Dengan antusias ia minta nomor ponselku agar ia bisa menghubungiku kalau ia membutuhkan karyawan baru.
Dari obrolan singkat mengenai lowongan pekerjaan, ujung-ujungnya obrolan itu mgelantur kemana-mana. Dari bahasan satu kebahasan lain yang meloncat-loncat gak ada ujung pangkalnya yang membuatku sedikit jengkel. Karena ia terus-terusan memotong pembicaraan yang sedang kulakukan dengan Gigih. Belum lagi setiap kata yang ia lontarkan selalu bersamaan dengan hujan lokal keluar dari mulutnya yang bergigi kuning gak keurus plus beraroma naga. Membuatku harus berulangkali menghapus muncratan yang mengenai punggung tanganku.
Separuh perjalanan itu benar-benar membuatku gak nyaman banget harus satu kursi dengan bapak itu. Mulutnya terus menerus menyenandungkan kebohongan demi kebohongan yang terlihat jelas dari sorot matanya juga omongannya yang semakin lama semakin jauh dari kenyataan. Ia mengaku sebagai keturunan Sunan lah, personalia di perusahaan marketing lah dan ia sedang ingin naik mobil umum dari pada mobil pribadi karena sedang merakyat lah. Dih, kesannya dia keluarga kerajaan yang sedang turun gunung apa. Dan tetek bengek lainnya, yang intinya sih bokis abis.
Aku enek dan muak saat aroma ketiaknya menguar dari tubuhnya. Dan semakin muak dan jijik saja saat tangannya bergerilnya menjamah selakangannya sendiri dengan kerlingan mata jalangnya. Seolah menggodaku.
Aku beristigfar lirih. Dan terus menyenandungkan bait-bait doa keharibaan Allah, agar aku diselamatkan dari kedzoliman bapak itu yang mengaku bernama Jemy, apabila ia akan berbuat dzolim.
Aku pikir aku gak akan diganggu lagi oleh obrolan dari mulut Pak Jemy itu saat kupasang headset ketelingaku. Mendengarkan nasyid-nasyid dari mp3 yang Gigih bawa. Taunya, ia masih aja mengangguku dengan segala omongan gak bermutunya itu.
Dan aku semakin menyesal saja memberikan nomer ponselku, saat ia berkata bahwa ia masih melajang diusianya yang menginjak 46 tahun itu karena ia gak tertarik pada lawan jenis.
“Kenapa?” Aku memberanikan diri melontarkan pertanyaan itu. Meski aku sadar itu bukan urusanku sama sekali.
“Ada aja…” cetusnya sambil bahunya ia gesekkan kebahuku.
Aku meringis jeri. Menghadapkan wajahku pada Gigih yang seolah gak nyadar sama sekali kalau aku sedang butuh pertolongannya. Dan aku sendiri gak tau, Gigih harus nolong apa ama aku. Lha, secara aku terlihat baik-baik aja. Nggak terlihat sedang dianiaya.
“Kalau kamu menikah, nanti undang saya, ya” kembali ia mengerling genit padaku.
Aku mengangguk terpaksa. Meski rasa sebal mulai menaiki ubun-ubun kepalaku. Kayaknya udah mulai berasap deh.
“Nanti mampir ke rumah teman saya ya, namanya Dodi. Tapi jangan banyak-banyak kalau main, cukup kamu aja atau sama temen disebelah kamu juga boleh. Nanti kita disana seru-seruan…” cerocosnya menyebutkan tempat tinggal temannya di daerah Cengkareng. Menekan kata seru-seruan yang terdengar menjijikkan ditelingaku. Apaan coba seru-seruan?
Aku nyengir terpaksa. Mewakili ucapan yang enggan keluar untuk mengiyakan ajakannya itu.
Najis! Nggak sudi gue mampir. Dia pikir gue apaan…! Siapa juga yang mau mampir…
Aku beristigfar lirih sambil menghembuskan nafasku yang terasa mencekik. Tercekik oleh rasa muak dan terhina yang menjalariku sejak dari tadi ia mulai melakukan dan mengatakan hal-hal yang aneh itu.
Dan aku baru benar-benar bisa bernafas lega saat Pak Jemy itu bangkit dari duduknya, karena bus itu sudah memasuki kawasan Ciawi. Ia akan turun di Ciawi. Dibelakang masjid samping Universitas Juanda itulah ia mengaku tinggal. Lalu ia berdiri di dekat pintu bus dengan sebatang rokok terselip di bibirnya yang menghitam.
Aku muak. Muak karena ternyata dia merokok. Poin yang membuat semakin panjang deretan rasa muakku pada segala kebohongan yang tadi ia dongengkan. Udah penipu, perokok pula.
Aku melengos saat asap rokoknya menghampiri tempat dudukku. Melempar pandangku pada kendaraan-kendaraan yang berjalan merayap sepanjang jalan memasuki Ciawi.
“Ini kan hari sabtu, Kang. Biasa macet mah. Jalurnya kan buka-tutup. Sabar dong…” Gigih menjawab kerisauan hatiku dengan tenangnya. Ugh, mana bisa aku bersabar dengan kemacetan seperti itu. Ditambah dengan bau asep rokok juga bau ketiak yang entah berasal dari tubuh siapa.
@@@

Langit agak sedikit kelabu, matahari kadang-kadang tertutup oleh awan-awan nakal yang berarak dilangit tanpa batas. Saat kami berjalan menanjak memasuki kawasan SPN Lido.
Sepanjang jalan menanjak itu Udin sibuk mencari warung kecil untuk membeli plester. Tangannya terluka oleh silet yang ia bawa di tasnya, tanpa terbungkus. Menggores tangannya dengan sayatannya yang pedih saat ia mencari-cari lembaran rupiah yang ia letakkan dalam saku tasnya.
Angin segar kawasan Lido menampar-nampar wajah kami saat kami memasuki pekarangan rumah Evi. Rumah yang akan kami gunakan untuk mengelar acara Mabit menjelang ramadhan yang akan dilaksanakan ba’da Dzuhur. Sesuai jadwal, rangkaian acara memang akan dilangsungkan dari ba’da Dzuhur hingga akhirnya penutupan keesokan paginya.
Kami langsung menghampiri meja tamu yang telah Evi sediakan untuk mengisi buku tamu. Juga mengambil beberapa lembar selebaran yang telah difoto copy yang berisi semua seluk beluk yang berbau ramadhan sebagai bahasannya.
“Hayuk, pada masuk heula kaleubet…”
Sibuk Evi menggiring kami agar memasuki ruang tamu rumahnya yang sejuk. Dengan ucapan yang selalu tercampur baur dengan bahasa Sunda, terceplos begitu saja dari mulutnya yang memang terbiasa seperti itu. Bagi orang Sunda sendiri ucapannya itu gak ada masalah sama sekali, tapi akan jadi masalah kalau kalimat-kalimat itu udah di alamatin ama Gigih dan Maulana. Secara mereka berdua tuh orang Betawi. Lha, ya kagak bakalan nyambung.
Dan buntut-buntutnya aku harus legowo jadi penerjemah dadakan bagi keduanya yang selalu saja tersenyum-senyum culun.
Maklum teu ngartieun, hehe…
Meski Evi telah berulang kali menasehati mulutnya supaya gak mengeluarkan kata-kata itu, tapi tetap aja mulutnya balik lagi, balik lagi pada bahasa Sundanya yang medok itu. Dan saat aku mengingatkannya, ia akan buru-buru meminta maaf dengan kata-kata lucu yang berloncatan dari bibirnya. Namun gak lama kemudian, saat ia mulai berkata lagi, kata-kata Sunda itu akan keluar lagi. Jadi sudahlah. Biarkan ia dengan ucapannya itu. Dan dengan senang hati (baca terpaksa hehe) aku akan menjadi penerjemahnya tanpa bayaran.
“Sekarang aja apa Om, beres-beresnya. Tapi nanti dulu ya, masih cararapek meureun” cetusnya lucu sambil tersenyum sumringah. Kalau sudah bertingkah seperti itu ia terlihat menggemaskan. Kalau ia keponakanku, pasti sudah aku gucel-gucel kepalanya saking gak tahan melihat tingkah polah akhwat itu. Dewasa sekaligus kekanak-kanakan.
“Target berapa orang yang ingin dicapai, Vi?” aku membuka pembicaraan.
“Ya, pengennya sih 30 orang, Om. Tapi lihat aja, sekarang aja belom ada yang datang” seloroh Evi seolah pesimis.
“Macet kali, Vi…” Gigih urun suara.
“Iya macet banget. Tadi aja kita di bawa muter ke jalan daerah Tapos yang mau ke Wadi…” ucapku membesarkan hati. “…ya, walau yang nanti yang datangnya sedikit ya, nggak papa. Yang penting sukses kayak di Cinumpang dulu. Ya, kan?” tandasku mantap, meski aku gak yakin acara ini akan mendulang sukses seperti di Cinumpang kemarin.
Gigih dan Evi mengiyakan ucapanku.
Sementara itu tangan-tangan kami sibuk mengangkat dan memberesi barang-barang yang ada di ruangan itu. Digeser, dipindah dan setelah lapang menggelar karpet deh. Sebentar saja ruangan itu sudah terlihat lapang dengan bentangan karpet tebal. Dan di ujung karpet bagian dalam, diberi meja untuk meletakkan teve besar juga DVD. Properti yang akan digunakan untuk pemutaran film islami yang menjadi bagian dari acara yang akan dilaksanakan.
Waktu terus merangkak. Kehadiran akhi Fauzi disusul oleh ukhti Euis, ukhti Lilim, ukhti Nining, ukhti Miqo, akhi Imam dan akhi Asep membuat kami yang udah ngejogrog dari tadi bisa bernafas lega. Meski dari mulutku telah menyenandungkan “gak apa-apa” walau yang datang sedikit. Tapi tetep aja jantungku terus menerus berdetak gak karuan saat menunggu kemunculan para peserta Mabit. Dan hatiku terus menerus menghitung jumlah para peserta yang hadir.
Hatiku semakin membuncah gembira saat susul menyusul kehadiran ukhti Zahra, akhi Husen Gadok dengan ukhti Itje dan ukhti Khodijah yang secara kebetulan bertemu di jalan masuk SPN Lido, saat mereka sedang kebingungan menentukan arah. Dan gak lama kemudian, ukhti Zulfah, akhi Adnan, dan akhi Dian. Kemudian ukhti Nadin menyusul dengan gerembolan bawaannya yang seperti biasanya, repot sendiri_datang juga. Itu pun dijemput ama Maulana.
Dengan peserta seadanya, akhirnya acara Mabit pun dibuka oleh Fauzi yang kami paksa menjadi moderator dadakan. Setelah itu abinya Evi berbasa-basi sebentar, memperkenalkan diri selaku tuan rumah yang telah berbaik hati. Membiarkan rumah kediamannya diobok-obok oleh orang-orang dari berbagai tempat.
Dan saat matahari mulai beranjak berangkat keperaduannya, Teh Muth, Teh Rosy dan Endin datang juga. Bersamaan dengan itu pula kumandang adzan Magrib mengiringi kedatangan Akbari. Ia peluk satu persatu peserta Mabit yang ikhwan dengan eratnya sambil memperkenalkan diri.
Pelukannya hangat dan tulus. Mencirikan pribadi orangnya yang hangat, welcome pada setiap orang dan juga tulus dalam berbuat. Terbukti saat orang lain minta tolong padanya, maka dengan sigap ia akan menyingsingkan lengan bajunya tanpa harus diminta dua kali.
Dengan kehadiran Akbari, aku rasa sudah cukup peserta Mabit yang hadir, meski jauh dari jumlah yang ditargetkan. Tapi gak dinyana, saat kami sedang melangsungkan Yasinan, Rotibul Hadad dan Sintu Duror. Akhi Ikhsan Cipaok datang dengan membawa pipi chubby-nya. Ia langsung didaulat untuk mengisi sesi tausyiah yang memang kosong. Karena yang lain hanya bisa saling tunjuk hidung. Termasuk aku hehe.
Setelah itu isoma yang diisi dengan sharing, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kiamat, neraka, surga juga hal-hal ringan lainnya yang diselingi canda tawa. Sesi selanjutnya diisi dengan pemutaran film dokumenter. Film itu berisi penindasan kaum zionis Israel pada Palestina.
Pemutaran film ini bertujuan agar hati para peserta Mabit terketuk, bahwa dibelahan bumi yang lain masih ada saudara-saudara sesama muslim yang butuh uluran tangan juga doa dari muslim yang lain. Juga menggugah hati nurani mereka, agar mereka bisa merasakan penderitaan kaum muslim Palestina yang kelaparan, kedinginan, teraniaya, terdzolimi, diperlakukan semena-mena juga terusir dari tempat tinggal mereka sendiri.
Meski telah berulang kali aku melihat dan mendengar kedzoliman zionis Israel pada Palestina, tak urung mulutku terus menerus menghujat perlakuan tidak manusiawi itu dengan geramnya. Aku sakit hati melihat betapa dzolimnya dan arogannya perlakuan zionis Israel itu. Dan semoga mereka semua membusuk di neraka Jahanam, saat masanya peradilan nanti tiba. Doaku dalam hati. Menuntaskan kegeramanku.
Namun sayang, saat pemutaran film itu berlangsung ada aja beberapa orang yang keluar ruangan. Gak tau ogah nonton atau memang ada keperluan lain. Tapi ada juga yang jelas-jelas gak mau melihat pemutaran film itu, yang memilih tidur di kamar.
Agak kecewa sih melihat hal itu, karena sesi pemutaran film itu kan sudah menjadi bagian dari rangkaian acara Mabit juga. Jadi bukan acara selingan.
Padahal dengan melihat film itu, aku rasa bisa mengasah kepekaan diri supaya tajam. Dengan melihat kelaliman juga penindasan dari zionis Israel. Minimal terketuk untuk menyumbang doa bagi mereka yang terdzolimi.
Waktu telah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Saat pemutaran film dokumenter itu berakhir.
Setelah itu aku sibuk berkoar-koar agar semua peserta bersiap-siap untuk pergi tidur. Agar bisa bangun untuk qiamulail bersama disepertiga malam nanti. Namun bukannya pada tidur, temen-temen malah sibuk sendiri-sendiri. Ada yang masak-masakan, lapar katanya. Ada yang keluar mencari makanan, lapar juga pastinya. Meski cemilan melimpah ruah. Mungkin dasarnya ingin jalan-jalan aja. Ada yang tiduran sambil mengobrol dan mendengarkan radio, ada yang sibuk telpon sana-telpon sini ada juga yang smsan sambil tiduran, seperti aku hehe.
Saat tidur semua peserta Mabit yang ikhwan memakai rumah Evi yang sayap kiri, karena yang sayap kanan diisi para akhwat. Separuh pada tidur di kasur lipat yang digelar di lantai ruang tamu, yang lain nyari tempat masing-masing yang enak untuk ditempati.
Di sayap kiri itu ada tiga ruang kamar kosong berikut ranjangnya. Aku, akhi Husen dan akhi Dian berdesak-desakan di kamar pertama. Akhi Endin di kamar kedua, ngejopak sendirian. Sisanya numplek jadi satu di lantai ruang tamu, berdesakan dan berhimpitan seperti pepes ikan bandeng.
Dan benar aja dugaanku, sewaktu bangun untuk qiamulail para peserta Mabit yang ikhwan pada kesiangan. Mendekati subuh yang langsung tiba, saat salat lail baru dua rakaat dilakukan. Dan benar-benar merusak schedule yang udah disusun.
Setelah shalat subuh berjamaah usai. Acara selanjutnya adalah muhasabah. Perenungan. Dengan bait-bait puisi yang aku bawakan. Juga untaian kata-kata dari Gigih dan dilanjutkan oleh Fauzi dengan menyentuh hati. Gak tau ada yang tersentuh apa gak dengan renungan yang kami suguhkan. Soalnya aku jauh dari usil untuk menyentuh-nyentuh mereka hehe. Yang jelas kami telah berupaya sebaik mungkin. Renungan itu diselingi dengan instrument yang mendayu-dayu juga senandung nasyid yang ada kaitannya dengan renungan tersebut.
Lalu saat perenungan usai kami berpelukan sambil bermaafan jika ada sikap yang menoreh dihati saat canda tawa terlontar.
Setelah sarapan pagi acara dilanjutkan dengan game islami. Game islami itu bertujuan mengeratkan sesama peserta Mabit juga bagaimana sih mengasah kekompakan dan rasa tanggung jawab.
Saat Gigih dan Fauzi sedang mempersiapkan tali-tali rapia juga botol dan gelas kemasan bekas air mineral untuk properti permainan. Ponselku mencicit perlahan. Ada dua lembar sms yang dikirim seseorang. Seseorang yang lumayan dekat denganku. Isi sms itu lumayan mengejutkanku. Dan membuatku sesaat merasa ada yang kosong menerobos hijab hatiku. Benar-benar kosong. Kakiku mendadak lemas.
“Ayo, cepetan kumpul. Saatnya game di mulai. Ayo, cepet! Udah siang nih…”
Aku berteriak-teriak agar peserta segera bangkit dari duduknya, dari kemalasannya juga gak antusiasnya pada game yang akan digelar.
Mungkin aku akan santai dan gak pake berkoar-koar kalo peserta Mabit pulangnya nanti bersama-sama. Lha ini kan nggak, peserta ada yang akan pulang duluan karena ada urusan penting yang harus mereka lakukan.
Kasihan pada Gigih dan Fauzi yang sedari tadi sibuk menyiapkan permainan itu tanpa ada yang berniat membantu. Bahkan cendrung masa bodoh. Susah ya, mengatur anak-anak orang. Yang berbeda karakter juga sifat. Cuapek deh!
Game-nya lumayan seru karena diselingi oleh teriakan-teriakan dari mulut para peserta. Saat hal-hal lucu dan gak terduga mewarnai acara yang sedang berlangsung.
Terutama saat game yang membutuhkan empat peserta untuk melakukannya. Empat orang ini memegang dua utas tali rapia yang dikaitkan saling silang, membawa gelas bekas kemasan air mineral ke tengah arena. Di tengah arena disediakan satu gelas lagi yang berfungsi menampung air yang dibawa empat orang tadi. Saat gelas ditengah arena itu penuh duluan diisi oleh dua kubu yang bertanding itu, maka dialah pemenangnya.
Game membawa air dalam gelas kemasan itu bertujuan memupuk kebersamaan juga kesabaran. Karena kalau gak sabaran, kegagalan yang akan mereka tuai. Seperti airnya sudah tumpah duluan, padahal gelas itu belum sampai arena. Bahkan ada juga yang langsung tumpah, padahal baru aja diangkat.
Namun ada juga peserta yang alih-alih meramaikan permainan itu, malah bikin kacau suasana dengan tingkah polahnya yang kekanak-kanankan. Merecoki dan teriak-teriak gak karuan. Tapi sudahlah, namanya juga permainan. Jadi gak perlu diambil ati, rempela bahkan usus hehe.
Kekosongan yang sempat melandaku akibat sms tadi sedikit sirna. Saat kulihat Gigih tertawa berderai. Mentertawakan regu akhwat yang sedikit curang dalam permainan. Mungkin karena aku jarang melihatnya tertawa, jadi tawa dadakannya itu cukup mengobati resahku. Aneh ya, tawa seorang kok bisa jadi terapi.
@@@

Matahari sudah naik sepenggalah saat para peserta Mabit menyusuri sungai Cisadane. Jalan-jalan pagi. Tujuannya sih mentadaburi indahnya ciptaan Allah yang terbentang indah dan permai di kawasan Lido itu.
Gemericik air, petak-petak sawah, kesiur angin, bau tanah basah, jalan setapak yang dipenuhi rumput-rumputan berembun juga bentangan langit biru itu mendendangkan simfoni indah kebersamaan dalam jalinan ukhwah. Betapa saling menyayangi dan mencintai karena Allah itu terasa begitu indah. Luar bisa indah bagi mereka yang pandai bersyukur. Atas segala karunia yang telah diberikan Allah bagi hamba-hamba-Nya.
Selama perjalanan menyusuri sungai hingga menyebrangi sungai yang lumayan berarus deras. Berkali-kali jepretan kamera mengabadikan keindahan alam juga indahnya kebersamaan. Sayang kan kalau moment seindah itu terlewatkan begitu saja. Jarang-jarang hal itu bisa terulang dua kali dalam hidup.
Lalu satu persatu peserta Mabit baik yang ikhwan maupun akhwat, menyebrangi sungai Cisadane. Menapaki batu-batu besar maupun kecil yang bertonjolan di sungai sebagai pijakannya dengan hati-hati sekali. Karena kalau tidak, sungai itu siap menelan tubuh-tubuh itu hingga kuyup. Juga bahaya dari tonjolan batu-batu yang lumayan licin bagi kaki yang tak beralas.
@@@

Dua hari setelah kegiatan Mabit itu berlalu. Beberapa sms menyambangai inbox-ku.
“Aslkm. Af1 ya, akhi. Dnger2 acra Mabit kmrn ga dihijab ya? Kok bisa ya, panitianya seteledor itu. Mmbiarkan prcamprbauran ikhwn-akhwat. Untung sj ana ga jd ikut. Klo ikut bs berabe tuh. Afwan…wss.”
“Aslkm. Bner ga si, akhi…klo acra Mabit itu ga dihijab? Ikwn-akhwt ada yang cekikikan b’2 trus ada acra game’y kntak jdoh kyak diSCTV itu ya. Antum, ukhti Evi trtma akhi Gigih sbg panitia gmana sih. Pdhl tadi’y sy trtarik skli dg acra trsbt”
“Shrs’y acra yg brbau islami itu ada hijab’y, ga brcmpur aplgi smpe ada yg mojok sgla,astgfrllah…! Pntia’y antum n akhi Gigih kan,ko bs mbirkan smua itu. Apa dsngja? Afwan”
Membaca sms-sms itu sumpah aku kaget banget. Kenapa acara Mabit itu kesannya ajang maksiat banget ya. Darimana mereka tahu format acaranya seperti itu kalau mereka aja gak ikut? Adakah peserta Mabit sendiri yang menjelek-jelekkan acara tersebut? Atau ada orang-orang tertentu yang pada dasarnya gak suka pada acara yang kami buat sehingga melebih-lebihkan kekurangan yang terjadi?
Seribu tanya menggantung dibenakku. Membuatku lama terpekur, merenungi dan me-replay kembali acara Mabit itu. Something wrong?
Untuk hijab, kuakui pada acara Mabit itu memang gak berhijab. Dan itu memang suatu keteledoran. Tapi bukan harga mati aku rasa. Toh, kelompok akhwat dan ikwan berseberangan. Untuk mojok dan cekikikan berdua, aku gak tahu. Karena aku gak memperhatikan satu persatu peserta Mabit. Dan untuk game yang ada kontak jodohnya, aku rasa mengada-ada sekali. Bahkan bisa menjurus ke fitnah. Karena seperti yang udah aku uraikan di atas acara permainannya ya seperti itu. Bahkan regu ikhwan dan akhwatnya dipisah. Gak bercampur-baur.
Akhirnya untuk acara Mabit itu aku rasa ada poin plus-minus-nya. Dan bisa menjadi tolak ukur untuk kedepannya. Kalau acara itu dinilai sukses, kedepannya harus lebih baik lagi. Tapi kalau acara itu dinilai gak berhasil, ya gak apa-apa. Toh, kami masih dalam tahap belajar. Dan sumbangsih ide dari rekan-rekan yang mendukung acara itu sangat dibutuhkan.
Tapi yang aku anehkan, mengapa orang lain harus menyalahkan panitia jika suatu acara tidak berhasil ya. Bukankah sukses tidaknya suatu acara itu berkat kerja sama dari seluruh peserta. Jadi seketat dan sebagus apa pun format acara yang disuguhkan panitia, kalo masih ada orang-orang tertentu yang masa bodoh pada format acara yang dibuat. Aku yakin, acaranya gak akan berjalan secara seperti semestinya. Jadi, sejauh apa pun aku melangkah…loh, kok malah nyanyi. Maksudku, pemahaman agama individu-individu itulah yang seharusnya jadi kaca mata untuk melihat keberhasilan atau tidaknya acara tersebut.
Dan terlepas dari kritikan maupun opini mengenai acara Mabit itu, yang jelas aku pribadi berterima kasih sekali ada yang mau memberi masukan meski caranya agak kurang aksan. Mereka gak mencantumkan nama saat sms seperti itu sama aku. Kesannya gimana gitu.
@@@

SMS Phobia

Aku baru menyadari ternyata menunggu itu sesuatu yang sangat membosankan. Benar-benar membosankan. Apalagi kalau yang diajak janjian orang yang pakai jam karet. Alias telat melulu. Benar-benar bikin gondok.
Sudah satu setengah jam aku menunggu Anjar, sahabatku di halte Citra Land ini. Namun batang hidungnya belum juga nampak. Ditambah lagi sms yang kukirim lima belas menit yang lalu tak jua berbalas.
Dengan wajah mengeras, aku bangkit dari dudukku di bangku besi itu. Sudah tiga kali aku melakukan hal itu. Berdiri sambil menjulur-julurkan kepala, mencari-cari sosoknya diantara orang lalu lalang di ujung jalan. Sambil menatap hilir mudiknya kendaraan-kendaraan dihadapanku dengan segala kesemrawutannya, polusi, bising juga teriakan kondektur mencari-cari penumpang.
“Roxy…Roxy…” teriakan sember kondektur Kopaja membuatku yang sedang pusing menunggu tuh anak tambah keleyengan.
Duh, kemana tuh anak ya. Dasar lelet…!
Aku resah. Tanganku meraba saku celanaku kembali. Mengambil ponsel di dalamnya. Mengecek lagi siapa tau sudah ada sms balasan darinya. Nihil.
Aku mendesah kecewa. Benar-benar menyebalkan. Sudah telat. Sms pun tak dibalasnya.
Aku menghela nafasku. Mengusir tumpukan gundah yang merajai hatiku. Berprasangka baik pada keterlambatannya juga smsnya yang tak berbalas. Mungkin ia terjebak macet, mungkin mobilnya mogok, mungkin pulsanya habis. Dan deretan mungkin yang terus menerus aku pajang di rak-rak hatiku untuk meredakan gemuruh kekesalanku.
Disaat kekesalanku telah mencapai ubun-ubun kepalaku, dengan ekor mataku kulihat sosok yang kutunggu-tunggu itu berjalan melenggang dengan cueknya. Senyuman tak berdosanya bertengger manis di sudut bibirnya yang tipis.
“Afwan ya, Sein telat. Maaf banget…”
Tubuh jangkungnya menghampiriku. Memelukku sambil menyenandungkan monolog alasan atas keterlambatannya. Ucapannya begitu memelas seolah meminta belas kasihan padaku.
Aku masih memberengut. Tak terima atas keterlambatannya.
“Hampir dua jam aku kayak kambing congek nungguin kamu, Jar! Nyaho teu!” Kusemburkan kekesalanku itu dengan sengitnya. Mataku nyureng.
Anjar nyengir. Menjejeri langkahku. Berjalan beriringan menuju Citra Land Mall. Panas di bulan September lumayan menyengat. Membuat tenggorokan serasa tercekik. Maklum puasa.
Ditambah pula si Anjar membuat ulah. Lengkap sudah deritaku di bulan puasa ini…
“Maaf, Sein. Ya, mo gimana lagi namanya juga macet. Itu pan diluar keinginan ane. Pengennya si mulus aja nyampe sini. Bleees…gitu” Anjar memegang bahuku. Mencoba meredakan kekesalanku. Aku menepis tangannya itu.
“Maaf dah. Maaf ye, Sein…”
Aku mendengus. “Enak aja, maaf, maaf. Kalo bisa mengucap maaf buat apa…”
“Ada polisi…” sambar Anjar cepat. Ia tahu sekali aku akan menggunakan kata-kata itu kalau aku sedang sewot. Mencotek penggalan kata-kata itu dari sebuah film drama Korea kesukaanku.
Tak urung aku pun tertawa saat melihat sahabatku itu tertawa sambil memegangi perutnya.
“Nah, gitu dong frend ketawa. Cemberut aje jelek tau. Puasa-puasa gini cemberut. Berkurang ntu pahala puasanye …” sindirnya sambil pura-pura memalingkan mukanya. Dengan bertingkah seperti itu ia tampak lucu dimataku. Culun sekali.
Aku beristigfar lirih. Ingat aku sedang shaum hari ini. Jangan sampai puasaku hari ini hanya dapat haus dan lapar saja.
“Kalo pahalaku berkurang, pahala kamu juga berkurang, Jar”
“Weees, ya nggak dong. Pan nyang cemberut dan sewot itu ente, bukan ane” kilah Anjar tak mau disalahkan.
Aku melotot. “Aku cemberut plus sewot juga gara-gara kamu, tau. Dasar cunihin…” Aku mendorong tubuh jangkungnya kesal.
Anjar tertawa. Seperti biasa menertawakan istilah-istilah dari bahasa Sunda yang aku gunakan. Meski ia tak mengerti artinya. Tapi ditelinga Betawinya, kata-kataku katanya terdengar lucu.
“Trus, kenapa juga smsku nggak dibales. Jangan bilang nggak ada pulsa…” getas kujawab sendiri pertanyaan yang kuajukan itu.
“Emang iye” Ia nyengir.
“Heuleuh, ngabohong wae. Semalem juga masih bisa smsan ma aku” jawabku tak percaya.
“Itu lagi malem, Tong. Pulsa ane abis gara-gara….”
Kami berjalan beriringan menaiki tangga di teras Mall. Melewati detektor keamanan. Naik escalator. Lalu di lantai dasar kami menghampiri lift menuju toko buku langganan kami di lantai atas.
♥♥♥
Kami berjalan beriringan melewati rak-rak peralatan tulis, setelah menitipkan tas di konter depan. Terus berjalan menuju deretan rak-rak yang memajang novel-novel kesukaanku dengan kartu penitipan kutimang-timang ditangan.
“Jadi sms ini lah yang udah nyedot ludes pulsa ane sewaktu sahur tadi, Sein”
Anjar menyodorkan ponselnya. Melanjutkan bahasan yang tadi sempat tertunda.
Kutatap layar ponsel itu. Kubaca deretan kata-kata di dalamnya.
“Bismilahhirohmannirrohim. Allahumma inni as aluka tahdiy bihal qalbi watajmu bihalsyamli watatdhu bihal fitnati anni” Ini doa Nabi Muhamad SAW. Kirim ke 20 org insyaallah dpt rezeki nomplok plus deket jodoh, tp jika TDK menyebarkannya siap2 dpt musibah bsar, rezeki seret jg jauh jodoh. DEMI ALLAH. Ini Amanah”
“Trus kenapa?”
Kusodorkan kembali ponselnya dengan sikap biasa saja. Seolah itu bukan hal yang besar. Sudah sering aku mendapat sms-sms seperti itu, namun tak sekali pun aku menggubrisnya. Menakut-nakuti orang dengan ayat-ayat Allah sekaligus mendoakan yang tidak benar. Aku rasa Islam tak membenarkan perbuatan itu untuk alasan apa pun.
Heran, masih ada saja orang-orang iseng seperti itu. Entah apa maunya.
Kirim ke dua puluh orang, dikira gampang apa. Bisa ludes pulsa dalam sekali duduk. Satu lembar sms saja, seratus ratus lima puluh rupiah. Coba dikalikan dua puluh orang, tiga lembar pula. Bisa tekor deh.
Aku menggerundel di dalam hati.
Anjar melotot. “Kenape, Sein? Enak amat ngomong trus kenape…” Anjar meradang. Merasa kusepelekan urusan yang menurutnya berbahaya itu. “…bujug, ane harus dapat musibah besar, rezeki seret plus jauh jodoh. Kira-kira aje ente ye. Ane belom siap menghadapi semua itu. Ape ente mau?” cerocos Anjar gelisah. Dan menumpahkannya kepadaku dengan wajah angker.
Aku nyengir. “Yeuh, denger ya, Jar. Nggak ada satu orang pun di dunia ini yang mau dapat musibah…” Kujelaskan padanya bahwa maut, rezeki juga jodoh itu sudah diatur oleh Allah. Jadi untuk apa kita harus takut dengan sms semacam itu.
Ceramah deh gue jadinya hehe…
Anjar tidak puas dengan ucapanku barusan.
“Kalo sampe kejadian pegimane?” Ia merajuk dengan wajah masih diliputi ketakutan.
“Allah itu mengikuti prasangkaan hamba-Nya, Jar…” ucapku sambil meletakkan novel yang baru kubaca sinopsis dibelakang covernya. “…yakinlah, bahwa apa pun yang terjadi didunia ini atas kehendak-Nya”
“Tapi kutipan ayatnya, juga kata demi Allahnya itu pegimane?”
Anjar merinding ngeri. Tangannya mengacak-acak deretan novel-novel itu. Tanpa minat.
Aku mendengus. Hilang sabar menghadapi makhluk ngadutun (nggak bisa dinasehatin) yang satu ini.
“Namanya juga orang mau nakutin, ya pastilah pake embel-embel apa aja. Supaya yang baca percaya, tambah takut, lalu mengirim sms-sms itu. Dan ludeslah pulsamu” ucapku sinis dengan suara meninggi.
Punya temen ko ya, bego-bego banget. Masih percaya aja sama hal-hal iseng seperti itu…
Anjar terdiam. Lalu menatapku.
“Naon deui? Apa lagi…” sengit kutatap bening matanya.
Ia manyun. Kehabisan kata-kata.
“Lain kali mah nggak usah percaya lagi sama sms-sms kayak gituan. Kecuali kamu udah jadi milyader yang kebanyakan duit, jadi bisa kirim sms ke sejuta nomor” ucapku getas sambil ngeloyor pergi menuju rak novel yang lain. Meninggalkannya yang masih bengong ditempatnya berdiri.
Aku buru-buru beristigfar. Ingat sedang shaum.
Dari tadi kok nyap-nyap mulu hehe.
♥♥♥
Dua hari kemudian.
Aku sedang khusyu menghadapi Al-Quran tebal dihadapanku. Tadarusan. Sudah sampai surat Yusuf. Di bulan puasa kali ini aku berniat mengkhatamkannya. Tidak seperti bulan puasa yang lalu, akibat radang tenggorokan aku tidak jadi mengkhatamkannya.
Tiba-tiba ringtone songette.mid dari ponselku menjerit nyaring. Ada sms masuk. Kuraih ponsel yang tergolek disisiku. Kubuka dan kubaca isinya.
“Mantan presiden kita sedang sakit keras. Kirim sms ini ke 30 org, dijamin dpt PULSA TIGA RATUS RIBU. Coba deh, aku sudah membuktikannya. Terutama untuk 10 org pengirim per-1. Buruaaan…!!!”
Sender : Si Phobia SMS (085672410322)
Sent : 20:31:25_20/09/2008
Aku nyengir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan temanku yang satu itu. Belum juga berubah.
Sms yang membawa-bawa ayat-ayat Allah dan akibat yang akan ditimbulkannya membuatnya heboh. Sms dengan huruf-huruf merah dan diawali dengan angka 996 depannya membuatnya histeris. Katanya sampai ada yang jatuh korban segala. Itu juga masih katanya. Ia sudah histeris dan paranoid duluan. Dan ini sms dengan iming-iming pulsa membuatnya kalang kabut.
Kembali ponselku berdering. Menyuarakan Negeri Terlukanya-Izzis. Kutatap layarnya. Tertera tulisan, Si Phobia SMS memanggil. Kalau yang punya nama Ginanjar ini tahu, namanya aku ganti dengan nama barusan, dijamin ia akan mencak-mencak.
“Ya, waalaikum salam. Aya naon deui?”
Suara diseberang sana tertawa jelek sekali. Mendengar jawabanku yang kurang sedap.
Ngaganggu konsentrasi tadarusan wae...
“Ane dapet pulsa tiga ratus ribu, Sein. Ane seneeeng banget…”
“Heuleuh, ngabohong aja kamu. Nggak mungkin gara-gara sms teu puguh gitu dapet pulsa tiga ratus rebu sagala. Emang siapa yang mau ngasih. Nenek moyangmu apa. Kamu tuh, Jar, Jar…udah dikasih tau juga. Jangan menghambur-hamburkan pulsa untuk hal-hal tak berguna seperti itu, masih aja dilakuin. Amit-amit deh gua mah punya temen kok sableng kayak elo” cerocosku getas menumpahkan kekesalanku pada teman sebangkuku di sekolah yang lumayan bandel itu. Nafasku ngos-ngosan.
“Stop, stop…ngejeplak aja ntu mulut. Emang ane ngomong apa tadi”
“Dapat duit dari sms teu puguh itu kan?”
Dikiranya aku budek apa…?
Anjar diseberang sana ngakak.
“Kayaknya Rasul gak ketawa ngakak kayak gitu deh” sindirku pedas.
“Afwan” Ia meminta maaf. “Ane pan cuma bilang dapet pulsa tiga ratus ribu…”
“Iya, dari sms itu kan?” selakku ngotot dengan nada mencibir.
“Maaf ye, Sein. Ane dah gak percaya lagi ma sms gituan. Ane kirim ke ente karena iseng aja. Ane lagi seneng”
“Seneng apa iseng?”
“Bener. Ane lagi hepi. Ane dapet pulsa tiga ratus rebu ntu dari kakak ane yang baru pulang kerja di Arab Saudi sono, Sein. Bukan dari sms itu. Ente udah nyerocos aja kayak petasan kebakar…”
Aku mendengus. Enak aja ngatain orang petasan kebakar.
Aku menghela nafas sesaat. “Oh, gitu ya, Jar. Wah, rezeki nomplok dong. Kamu kan terkenal dengan boros pulsa. Aku kecipratan dong” ucapku penuh harap. Sambil tertawa.
Boleh kan ngarep? Hehe..
Anjar tertawa. “Tenang, Sein. Karena ente sahabat ane yang paling bawel sekaligus penuh perhatian sama ane. Trus, sayang lagi sama ane kayak Nyak ane sendiri. Ane kasih ente jatah ceban deh…” ucapnya diselingi tawa berderai.
Aku mendengus. Udah menghina, pelit pula. “Dasar koret, dedekut, medit, siah. Mani cuma dikasih sepuluh rebu doang. Seratus atuh, Jar…” Aku menawar.
“Ngga ah, ceban aja. Pan kata ente, di bulan puasa ini ane harus banyak sodaqoh dan beramal. Jadi, ane mo nyumbangin ni pulsa ma temen-teman kite yang miskin pulsa”
“Bagus deh. Jiwa dermawanmu mulai terketuk sekarang. Meski cuma hanya pada bulan puasa aja baiknya. Nggak papa. Aku salut dan bersuka cita.” Sindirku pedas.
Anjar terdengar menggerundel tak jelas. Lalu berujar dengan galaknya. “Itu menghina apa memuji?”
“Dua-duanya, Frend” ucapku dibarengi tawa.
Klik. Suara telpon diputus.
Aku menggerutu sendiri.
Dasar, teu sopan. Ngga ucap salam dulu. Main tutup wae…
♥♥♥