
Bruuuk! Prang…!!!
“Raihaaan…! Ada apa?” teriak Mama membahana. Menyusul wanita itu yang masih memakai mukena beserta Bi Kokom muncul.
“Ya Allah…pecah lagi…!” wanita itu melotot.
“Iya eh iya, pecah. Eh, pecah…” latah Bi Kokom kumat.
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. “Beresin, Bi…” perintahnya jengkel.
Bi Kokom bergegas mengambil sapu dan serokan.
“Sini, Bi! Biar Rey aja, kan Rey yang pecahin…” Rey mengambil sapunya.
“Gak papa, Den Rey. Biar Bibi aja” Bi Kokom memunguti pecahan-pecahan piring beling yang berserakan. Kemudian mengumpulkan serpihan beling dengan sapu ke dalam serokan sampah.
“Kenapa, Rey?” wanita itu bertanya khawatir.
Dan menarik anak semata wayangnya itu untuk duduk di kursi.
“Ga ada apa-apa, Ma…”
“Bener?” Rey mengangguk.
“Jangan bohong sama Mama, Rey. Mama tau kamu lagi punya masalah. Keliatan kok dari tingkah laku kamu akhir-akhir ini”
Rey menunduk. Terdiam.
“Ada masalah dengan pacar?” wanita itu mesem.
Rey nyengir. Pacar? Dih, Mama…sejak kapan coba anak Mama ini pacaran?
“Jadi ada apa dong, Rey? Jangan cengar-cengir gitu ah, Mama takut ngeliatnya” ucapnya tambah khawatir. “Ngomong dong, Rey”
“Pupus, Ma…” ucap Rey lemah, menyebutkan nama kucing kesayangannnya. Kucing berbulu orange dengan bercak putih disekitar leher dan matanya.
“Masya Allah, Rey..Rey! Mama kira ada apa, taunya kucing bangor itu “ ucapnya bersungut-sungut. Kesal. “Kenapa emangnya? Jangan-jangan yang mecahin piring tadi…”
“Bukan, Ma…” potong Rey cepat “Tadi emang Rey yang mecahin”
“Terus…”
“Pupus jangan dibuang ya, Ma. Please…Rey mohon…” Rey menghiba.
Wanita itu mendengus. “Oh, jadi kamu lagi mikirin itu. Itu lagi, itu lagi. Bosen deh Mama, Rey. Mama kan udah bilang , pokoknya kucing itu harus segera dibuang. Titik!”
“Yah, Mama…tega amat sih…”Rey manyun. “Nanti aja sih, Ma…”
“Nanti kapan, Rey? Kamu bilang sampai bulan ini” ucap Mama gemas. “Bodo ah, Mama gak mau tau. Pokoknya tuh kucing harus segera dibuang. Gak usah dipiara lagi…”
“Kasian, Ma. Pupus kan lagi hamil” ucapnya lagi beralasan.
“Sok tau kamu, Rey! Darimana kamu tau kalo tuh kucing lagi hamil?”
“Mama gak lihat perut Pupus gendut?”
“Gendut dijadiin alesan. Perutnya gendut karena maling makanan Mama mulu. Tau kamu…!”
“Tapi emang bener, Ma. Pupus tuh lagi hamil, kasihan Ma”
“Oh, jadi kamu lebih kasihan kucing dari pada Mama, begitu”
“Ya gak gitu, Ma…”
“Gak gitu gimana, Rey? Kamu seneng ya, barang pecah belah Mama pada hancur semua sama tuh kucing urakan! “ ucap wanita itu jengkel.
“Ya nggaklah, Ma. Lagian salah Bi Kokom kalo naro sembarangan…” Rey beragumen.
Wanita itu melotot. “Pinter ya, kamu ngomong begitu. Si Bibi pake acara disalahin. Dasar kucing kamu aja tuh yang bangor. Geratakan kemana-mana. Udah ah, Pokoknya Mama gak mau tau, kucingmu itu harus dibuang.”
“Ma, please…sampe melahirkan aja”
“Gak!”
“Ma, Mama cantik deh. Baik lagi” rayu Rey sambil ngelendot. Manja.
“Mulai pinter ngerayu, ya…” jewer Mama pelan.
“Ma, ya…”
Ia menghela nafas. “Ya, udah sampe melahirkan.” putusnya kemudian.
“Bener, Ma?” Rey tak percaya.
“Ya. Tapi setelah melahirkan, di-bu-a-ng. Keputusan tidak bisa diganggu gugat! “ ucapnya mengultimatum.
“Oke, Bos!” Rey sumringah. Matanya berbinar.
Melihat rona bahagia di wajah jakanya itu. Tak urung hati wanita itu ikut bahagia. Kendati ia tak pernah megerti mengapa anaknya itu begitu sayang pada mahluk yang bernama kucing.
“Eh, si Pupus…sini, Pus! “ Diangkatnya kucing itu kegendongannya “Kamu diberi kesempatan lagi sama Mamaku, Pus. Jadi kamu jangan badung. Hargailah kebaikan hati Mamaku…” Rey berceloteh riang sambil mengelu-elus kucing kesayangannya itu.
@@@
“Reeey…! Rey!” cowok berseragam abu-abu itu mengejarnya.
“Eh, Dodi hehe…sorry ditinggal”
Dodi menjejeri langkahnya “Gue manggil-mangil dari tadi juga…” ia masih ngos-ngosan “Jadi gak, ke toko bukunya?”
Rey menepuk jidatnya “Oh ya, aku lupa. Bener…”
Dodi mendengus “Kebiasaan…”
“Sorry ya, Dod. Kayaknya gue gak bisa deh. Besok aja, ya…”
“Ugh, rese lu! Emang kalo hari ini kenapa?” Dodi bersungut-sungut.
“Si Pupus mau beranak, Dod”
“Kucing lo, itu?” Rey mengangguk
“Lha, apa hubungannya kucing mo beranak sama kita gak jadi ke toko buku?”
“Ya, gue mo bantuin si Pupus partus”
“Partus tuh apaan, Rey?”
“Ya, beranak…”
Dodi ngakak. “Sejak kapan lo jadi dukun beranak, Rey? Haha…”
Rey menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sialan…gue dibilang dukun beranak
“Kenapa? Aneh emangnya?” Rey cemberut “Dasar lo gak punya prikebinatangan”
“Deuuu…segitu aja ngambek” ledek Dodi sambil mengelus kepalanya “Gue lupa, elu kan Abu…Abu Hur…siapa, Rey?”
“Abu Hurairah…” jawab Rey sambil menepis tangan sahabatnya itu.
“Iya itu, sahabat Nabi yang miara banyak kucing”
“Gue? Abu Hurairah?” Dodi mengangguk “Ugh, ngarang lo, Dod. Gue sih jauh kemana-mana”
“Loh, iyalah. Di jaman sekarang ini, siapa sih yang mau nolong kucing yang kecebur got. Trus, memeliharanya pula. Boro-boro nolong kucing kecebur, liat orang kecebur got aja gak ada yang mau nolongin. Takut kotor geto…” Dodi nyerocos.
“Whetever deh…yang jelas gue harus cepet balik, entar keburu mbrojol. Gue kan belom nyiapin tempat buat si Pupus beranak” Rey ngeloyor pergi.
“Gue doain anak-anak lo…!” Rey melotot “…maksud gue, anak-anak kucing lo selamet, Rey hehe…” teriak Dodi ngakak.
Tak urung Rey tersenyum mendengar gurauan sohibnya itu.
Ia terus bergegas menyusuri jalan dipinggir kali yang airnya hitam dan berbau. Bau itu mengingatkannya pada pertemuan pertamanya dengan si Pupus.
Pada suatu siang, sepulang dari sekolah, dari pinggir got keruh menuju rumah, terdengar suara mengeong lirih.
Miaaow…miaaow…miaaow…
“Kamu denger suara kucing gak, Dod?”
“He-eh. Kayaknya sih dari dalam got…” timpal Dodi cuek.
Berdua mereka menyusuri pinggiran kali itu untuk mencari asal suara.
“Oh, ya, Dod bener! Itu, Dod liat!“ tunjuk Rey ribut “Kasihan. Puuus…sini, Pus!”
Rey yang pada dasarnya menyukai kucing itu langsung turun mendekati kucing kecil yang berlepotan lumpur.
”Kasihan ya, Dod. Mau gue bawa pulang ah…”
Dodi terbeliak. Kaget bercampur jijik “Dibawa pulang, Rey?” Dodi tak yakin.
“Ya, iyalah, kenapa emangnya?”
“Dasar jorok!”
“Bodo…” Rey cuek.
Sesampainya di rumah, Rey dibantu Bi Kokom menyiapkan air hangat di dalam waskom. Kemudian kucing kotor yang menggigil itu ia masukkan ke dalamnya. Diberi shampo dan disikat pelan-pelan. Setelah bersih Rey mengeringkan bulu-bulu kucing itu dengan pengering rambut Mamanya.
Selama proses pembersihan hingga pengeringan itu, kata-kata ketidaksetujuan Mama terus bergema di ruangan itu. Sementara itu Rey bener-benar tak menggubris perkataan sang Mama.
“Nah, manis. Sekarang, disini adalah tempat tinggalmu. Dan namamu adalah Pupus…” celoteh Rey riang sambil memberinya susu hangat.
@@@
“Untung, Den Rey cepet pulang…” ucap Bi Kokom senang.
“Emang kenapa, Bi?” Rey melepas sepatunya “Oh ya, pasti Pupus udah beranak, ya? Dimana, Bi?”
Rey bergegas ke ruang belakang, dekat gudang. Tempat biasa kucingnya tinggal. Bi Kokom mengekorinya.
“Dimana, Bi? Kok gak ada?”
“Terang aja gak ada, Den. Orang beranaknya bukan disini, hehe…”
“Bilang dong dari tadi!”
“Bilang dong dari tadi eh…dari tadi..” latah Bi kokom.
“Jadi dimana?”
“Dimana…eh di kamar Mama, Den Rey…”
Rey terbeliak “Apa, Bi? Di kamar Mama?” Rey panik.
Celaka… Mama pasti ngamuk nih…
Rey berlari merobos masuk ke kamar sang Mama.
“Ya Allah…kenapa bisa beranak disini, Pus?” Rey menghampiri kucingnya di pojok ruangan. Kucing kesayangannya itu sedang menjilati tubuh empat anaknya satu persatu. Sepertinya ia sedang membersihkan lendir-lendir pada tubuh anak-anaknya itu.
Rey tersenyum. Menyaksikan betapa lucu dan mungilnya anak-anak kucing itu. Warna bulu anak-anak kucing itu bervariasi. Ada yang hitam bercak-bercak putih, orange seperti ibunya, putih tutul-tutul hitam juga hitam belang-belang putih.
“Kenapa bisa beranak disini, Bi?”
“Bibi juga gak tau, Den…”
“Trus gimana, Bi? Apa kita pindahin aja?”
“Jangan…!”
“Kok jangan sih, Bi? Kalau ketauan Mama, Pupus beranak disini bisa wassalam…”
“Wassalam apa, Den…?”
Rey nyengir “Ya kata lain dari, Rey diomelin trus Bibi juga. Dan yang paling parah si Pupus diusir deh, Bi”
“Ya, biarian aja, Den…”
“Yah, si Bibi, kok biarin. Kasihan kan si Pupus and fam”
“Jadi gimana dong?”
“Kita pindahin aja yuk, Bi! Mumpung gak ada Mama” usul Rey cepat.
“Gak boleh, Den. Lagian juga percumah”
“Percuma gimana?” Rey gak mudeng.
“Ya percumah. Entar udah capek-capek kita pindahin, taunya balik lagi kesini. Berabekan”
“Kok bisa…” Rey tambah bingung dengan ucapan Bi Kokom.
“Pernah denger istilah kucing beranak suka pindah-pindah tempat gak, Den?”
Rey menggeleng bego.
“Gini, kita biarin aja sementara disini, entar kalau udah tujuh hari. Dia juga akan pindah sendiri gitu…”
Rey mengangguk mengerti. “Trus gimana dong, Bi?”
“Ya, Bibi juga gak ngerti, Den…”
“Aduh, Pus…kenapa beranak disini? Bikin masalah aja kamu, kamu kan masih dalam masa percobaan. Dan saat Mama nanti pulang, pasti deh marah-marah. Trus kamu diusir deh…tamat riwayat” Rey prihatin sambil mengelus si ibu yang baru melahirkan itu.
Ting nong! Ting nong!
“Gawat! Mama, Bi…!” Rey cemas “…aduh, gimana nih? Bukain pintu, Bi! Duh, kok malah bengong”
“Bengong eh bengong…” latahnya kumat, tergopoh Bi Kokom ke luar. Membukakan pintu untuk majikannya.
Terdengar celoteh wanita itu menanyakan berbagai hal, kebiasaannya setiap sepulang dari berpergiaan.
“Rey udah pulang, Bi?” tanyanya seraya mendorong pintu yang sedikit terkuak.
“Udah, Bu…” ucapnya takut-takut.
Wanita itu terkejut saat menemukan ada orang di dalam kamarnya.
“Ya, Allah, Rey…bikin Mama jantungan aja! Ngapain kamu di kamar Mama?”
Rey nyengir. Memamerkan deretan gigi putihnya.
“Jangan bilang…kamu mo ngagetin Mama, ya…”
“Nggak kok, Ma. Siapa lagi yang mo ngagetin Mama…” Rey berdiri tegang. Tubuhnya sebisa mungkin menghalangi keberadaan si Pupus and fam dari penglihatan sang Mama.
“Ya, udah sana! Mama mo ganti baju nih, gerah banget” ucapnya mengusir “O, ya, Rey…Mama beliin martabak telor kesukaanmu tuh”
Rey tak bergeming. Ia gelisah. Dan tak tahu harus berbuat apa.
“Rey! Kok malah bengong…” Ia heran, biasanya anak semata wayangnya itu langsung ngibrit kalau mendengar kata martabak telor. Wanita itu menghampirinya “Ayo, bandel…” ditariknya tangan Rey. Rey bertahan.
“Kenapa sih, kamu?” Ia menyipitkan matanya, penuh kecurigaan. “Kamu menyembunyikan sesuatu, ya…” selidiknya kemudian.
“Nggak kok, Ma…” Rey belingsatan.
“Dari tadi nggak-nggak terus, awas!” Didorongnya tubuh jakanya itu. Wanita itu terbeliak. “Ya, Allah…Raihaaaan...! Ngapain tuh kucing-kucing ada disini!” teriaknya membahana, saat melihat kucing yang sangat dibencinya itu sedang menyusui anak-anaknya. Beralaskan baju daster sehari-hari miliknya. Dan anak-anak kucing itu gaduh, bernguik-nguik.
Wanita itu menatap berang putranya. “Ngapain dibawa kesini, Rey? Kamu mau sengaja bikin Mama marah, ya…!”
Rey mencelos. ”Dih, Mama…siapa lagi yag bawa-bawa kucing kesini. Orang Pupus beranak disini” ucapnya tak berdosa.
Wanita itu melotot. ”Apaaa? Beranak disini?” Rey menggangguk takut-takut. “Aduh, gak mau. Cepet bawa ke luar, Rey, cepeeet…!” ucapnya uring-uringan.
“Gak bisa, Ma…”
“Gak ada gak bisa-bisaan, cepet pindahin…!” perintahnya semakin kesal. “Biii…! Bi Kokom…”
“Ya, Bu, ada apa? Saya disini kok…”
“Bantuin Rey pindahin tuh kucing-kucing bangor…”
“Gak bisa, Bu. Percuma…” ucapnya takut-takut.
Wanita itu nyureng. “Apa lagi, percuma? Orang disuruh mindahin kok ngebantah…”
“Bukan begitu, Bu…” dijelaskannya seperti yang ia jelaskan pada Rey tadi.
“Jadi harus nungguin seminggu dulu?” Bi Kokom dan Rey mengangguk bareng. “Aduuuh…” wanita itu terhuyung lalu jatuh. Pingsan.
“Mama…!” Rey memburunya. “Bi, bantuin angkat Mama…” berdua mereka membopong tubuh tak berdaya itu ke tempat tidur.
“Ma…! Sadar dong, Ma…” Rey mengguncang dan menepuk-nepuknya.
“Loh, pada ngapain ini pada ngumpul disini?” ucap seorang pria nyelonong masuk. Papa. “Kenapa Mama, Rey?” tanyanya cemas sambil mendekati tubuh istrinya itu. Tergolek lemas di pembaringan.
“Pingsan, Pa…”
“Iya, Papa tau, tapi kenapa kok pingsan”
“Gara-gara Pupus beranak, Pa…”
Pria itu melongo, kemudian tertawa ngakak. “Payah ya, Mamamu Rey. Kucing beranak aja kok pingsan, hehe…”
“Soalnya beranak disini, Pa…”jawab istrinya yang sudah siuman. “Di kamar kita ini…”
“Apa?” ucapnya terkejut. “Dimana?” ia celingukan.
“Tuh…!” Rey menunjuk dengan dagunya.
“Ya, Allah… disini, pindahin, Rey! Pindahiiin…!” ucapnya panik “Kamu kan tau, Papa nih paling alergi sama bulu-bulu binatang”
Rey terdiam. Tak ada yang akan membelanyanya sekarang, atas kelangsungan pemeliharaan kucing itu.
“Papa kan tau…” diulangi lagi penjelasan Bi Kokom tadi.
“Iya sih, Papa ngerti…jadi gimana dong, Rey?” pria itu mondar mandir. Pusing. “Kamu sih pake acara miara kucing segala” ucapnya menyalahkan.
“Iya nih, Rey. Kata Mama juga dibuang aja, pasti gak akan begini kejadiannya…” dukungnya getas. “…jadi kamu harus bertanggung jawab sekarang”
Rey terpekur. Merasa dipojokkan.
Ugh, kok aku sih yang disalahin…pada gak punya prikebinatangan amat sih…
“Gini aja deh, Ma, Pa…untuk sementara waktu, Papa dan Mama pindah ke kamar tamu aja…” usulnya cuek.
“Apaaa?” teriak keduanya kompak.
“Mama gak mau! Enak aja…” ucapnya bersungut-sungut, tidak terima usulan itu.
“Ya, terserah Mama kalau begitu…”
Mama melotot. “Rey!”
“Jadi gimana dong, Ma…?” Rey kesal.
Sejenak wanita itu berpikir. “Aha, gimana kalau Rey sama Papa, bawa kucing-kucing itu pergi jauuuh…trus tinggalin deh. Dijamin gak bakalan balik lagi” Ia mengusulkan.
Rey manyun. “Jangan, Ma, kasihan…” jahat amat sih Mama…
“Kasihan, kasihan…pusing Mama, Rey!” teriaknya kesal.
“Ya, udahlah, Ma…kita ngalah aja, pindah kamar…” ujar sang suami menengahi.
“Iya sih, Ma, Papa aja ngerti tuh. Ngalah ama anak, napa…”
“Gak bisa! Mama memang gak ngerti!” ucapnya tersinggung, disindir seperti itu.
“Ya, udah maaf deh. Mama itu kan baik dan pengertian, ya kan, Ma…” rajuk Rey merayu, meralat ucapannya tadi yang sempat menyinggung perasaannya.
Wanita itu melengos. Cemberut.
“Maaa…please, sampe anaknya disapih deh. Setelah itu terserah Mama” Rey pasrah.
Wanita itu mendengus. “Kemarin bilang sampe beranak, sekarang udah beranak sampe disapih. Entar habis disapih, sampe gede gitu, Rey…” cerocosnya meluap.
“Bener, Ma, Rey janji. Sampe anaknya disapih ya, Mamaku yang paling cantik sedunia…” pujinya terus merayu.
Wanita itu terdiam. Menimbang-nimbang. “Ya, udah, sampe disapih, gak boleh lebih dari itu…” ucapnya memutuskan.
“Aduh, Mama…makasih ya, Mamaku Sayang…” Rey mencium pipi wanita itu.
“Pupuuus…!” Rey mendekati kucing kesayangannya itu. “Mama ngasih kesempatan lagi sama kamu. Mamaku baik, kan? Jadi, jangan membuat ulah lagi, ya…” Rey mencium kucing itu.
Kedua orang tuanya meringis. Jorok.
@@@
“Mau ya, Dod…” rayunya dengan wajah memelas.
“Aduh, gimana ya, Rey…”
“Mau deh, si Pupus sama anak-anaknya itu sangat manis dan lucu-lucu. Apa lagi anak-anaknya, si Tini, Wini, Biti dan Desi. Mungil dan imut-imut” bujuk Rey nyerocos, promosi.
Dodi ngakak, sambil memegangi perut. Untung kelas sepi. Istirahat. Kalau tidak, pastilah aneh mendengar gelak tawa itu.
“Kenapa?” Rey nyengir.
“Habis namanya itu, Rey, haha…Tini, Wini, Biti dan Desi, haha…”
“Emang lucu?”
“Jelas dong lucu, si Tini itu nama pembokat gue. Wini, tetangga gue. Biti, teman adek gue. Nah, si Desi kan adek gue…”
Gantian sekarang Rey yang ngakak.
“Lucu, kan?” Rey mengangguk.
“Bisa ngamuk adek gue, kalo namanya samaan ama kucing”
“Ya diganti, Dod, nama doang ini. Ya, Dod, please deh…hanya elo satu-satunya orang yang bisa gue mintain tolong untuk menyelamatkan nasib Pupus and fam”
Dodi terdiam.
“Please, Dod…” Rey memelas.
“Ya, udah deh” Ia ogah-ogahan.
“Bener, Dod?” Dodi mengangguk. “Alhamdulillah. Thanks ya, Dod, elo emang temen gue yang paaaling baik” Rey menghambur memeluk sahabatnya itu.
Dodi bengong.
“Dijamin, lo gak bakal nyesel deh miara si Pupus, dia itu punya naluri yang sangat tajam” ucap Rey berapi-api.
Pupus memiliki naluri yang kuat terhadap kehadiran Rey, entah karena pendengaran atau penciumannya yang bisa mendeteksi kedatangannya. Pukul berapa pun, kalau tiba-tiba ia terbangun lalu duduk siaga di depan pintu masuk, itu berarti Rey akan segera datang. Terutama pada jam-jam Rey pulang dari sekolah, pukul dua belas lewat, pasti Pupus sudah siaga di depan pintu.
“Dia juga pinnnter, Dod…” Rey melanjutkan.
Rey banyak mengajarkan banyak hal pada Pupus. Dalam hal buang air, Rey mengajarinya agar pada siang hari ia memenuhi kebutuhannya di pekarangan belakang, Pupus segera mengerti. Dan cepat beradaptasi. Kalau ingin ke luar, biasanya ia mendekati Rey, mengeong. Lalu pergi ke arah pintu.
“Jadi Pupus gak bakalan beol sembarangan, Dod”
“Iya, Rey, cukup. Ngoceh aja, lo…!” timpal Dodi sengit “Percaya deh, bakal gue urus baik-baik tuh kucing. Gak usah khawatir”
“Maaf deh, hehe…habis gue takut Pupus elo terlantarkan” Rey cengengesan jelek.
“Sembarangan…” kata Dodi pura-pura marah. “Kapan tuh kucing-kucing mau dibawa kesini, Rey?”
“Entar, Dod, nungguin abis disapih”
“Whetever deh…”
@@@
Di rumah.
Bruuuk…! Praaang…!
“Raihaaan…!” teriak seorang wanita menggebah seantero rumah. “Kamu mecahin apa lagi?”
“Bukan Den Rey, Bu, tapi kucing” jawab Bi Kokom.
“Ada apa sih, Ma? Teriak-teriak mulu, mau saingan sama tarzan apa?”
“Bagus, Rey! Lihat, kelakuan kucing yang kamu sayangin itu” ucap sang Mama berang sambil mengambil sapu injuk. “Kucing kurang ajar! Dikasihani malah ngelunjak, kelewatan…!”
Wanita itu mengejar kucing yang bersembunyi di kolong sambil memukul-mukulkan gagang sapu yang dipegangnya. Dengan lincah kucing itu berlari menghindar. Wanita itu terus memburunya, dan tak memberinya kesempatan untuk berhenti. Saat ada kesempatan, dipukulnya kepala kucing itu.
Pletok! Miaaow…!
Rey meringis. Perasaan dialah yang barusan dipukul. “Jangan, Ma…kasihan” cegah Rey iba.
Wanita itu melotot “Kasihan…” digetok lagi kucing yang masih berdiam diri disudut ruangan, seperti kesurupan.
Pletok! Miaaou…!
“Kesabaran Mama benar-benar udah abis, Rey!” ucapnya berniat menggetok lagi. Tapi keburu Rey merebut gagang sapu tersebut.
“Udah, Ma…nafsu amat sih”
“Udah, Rey? Duh, kucingmu itu udah buat Mama darah tinggi. Kemaren pecahin gelas, trus nyuri pepes ikan kesukaaan Mama, ngotorin sofa dengan bulu-bulunya. Trus lihat tuh, pekarangan belakang, bau kotorannya. Dan sekarang, mecahin mangkok kesayangan Mama” ucapnya ngos-ngosan, Emosi.
Rey berdiri mematung. Tak menyangka reaksi sang Mama akan seperti itu.
“Ya, udah, entar Rey gantiin deh mangkok yang pecahnya” ucap Rey pelan, merasa bersalah.
Wanita itu mendelik. “Apa, Rey? Gantiin?” Rey mengangguk. “Gak mungkin kamu bisa gantiin, Rey. Mangkuk itu dari Cina, hadiah dari temen Mama, tau kamu!” ucapnya ngeloyor pergi dengan mata berkaca-kaca.
Nyes! Rey tertohok. Tak menyangka ulah kucing kesayangnya itu, akan menyakiti perasaan wanita yang sangat disayanginya itu.
@@@
Rey menghampiri meja makan. Lapar. Dilihatnya si Pupus tergolek didekat kursi. Lalu, dihampirinya, dielus-elusnya kucing kesayangannya itu.
Loh, kok diem aja sih.
“Pus! Pus…hah! Kenapa, Pus?” Rey terperanjat melihat busa disekitar mulut si Pupus. Kemudian ia periksa nafasnya, tak ada.
“Pupuuus…! Nggaaak…! Nggak mungkin!” teriak Rey seperti orang kesurupan “Kamu gak boleh mati, Pus, huu…huu…” Rey mendekap tubuh kaku kucing itu.
“Ada apa, Rey? Teriak-teriak begitu. Bikin orang jantungan aja” ucap sang Mama menghampirinya, yang bersimpuh memeluk kucingnya.
“Pupus…hik…ma…ti, Ma, hik hik…” Rey tersedu.
Wanita itu terperangah. Tak percaya. “Bagaimana mungkin, Rey? Tadi pagi Mama lihat ia baik-baik aja”
“Se-per-tinya, hik…dia di-racun…”
“Apa? Diracun?” ucapnya terkejut.
Tiba-tiba Rey bangkit dari duduknya, matanya menyipit. Dan tatapan matanya tepat memandang sang Mama.
“Pasti…pasti Mama yang membunuhnya!” Rey menuduh.
Wanita itu terperanjat. “Mama, Rey?” tangan Mama menunjuk dadanya. ”Kenapa Mama harus membunuhnya, Rey?”
“Karena...hik…Mama, begitu…hik…membencinya. Dan…hik…berulangkali Mama hik…meminta Rey…hik…membuangnya” jawab Rey terbata-bata.
“Mama gak nyangka kamu tega menuduh Mama, Rey. Kamu pikir, dengan segala kebencian Mama pada kucingmu itu, lantas Mama jadi pembunuh, begitu?”
Rey masih sesenggukan. “Karena kebencian, orang…hik…baik-baik pun hik…bisa jadi seorang pembunuh”
“Rey! Denger! Demi Allah, Mama gak membunuhnya. Walaupun Mama membencinya, gak mungkin Mama akan membunuhnya” ucapnya berusaha meyakinkan.
“Kalau…hik…bukan Mama, lalu…hik…siapa?”
“Bibi, Den…” jawab Bi Kokom nongol dari pintu belakang. Sudah sedari tadi ia mendengarkan perdebatan itu. Ia tak tega mendengar majikannya yang baik itu, dituduh pembunuh oleh anaknya sendiri.
“Apaaa?” ucap keduanya berbarengan.
“Iya, Den Rey. Sumpah, Bibi yang ngeracunin si Pupus…”
“Tapi kenapa, Bi?” sela Mama.
“Bibi gak tega ngedenger Ibu tiap hari marah-marah karena barang ini itu pecah, makanan ini itu dilahapnya. Karena kesel, tadi pagi Bibi kasih racun aja makanannya” Bi Kokom menjelaskan. Merasa bersalah.
“Jadi…jadi, bukan Mama pelakunya…” wajah Rey memucat. Tubuhnya tak kuat menopang berat badannya, dan ambruk.
“Raihaaaan…!”
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar