Jumat, 22 Januari 2010

Mendung di Wajah Raka

Sudah dua hari ini, Raka uring-uringan terus. Wajah yang biasa dihiasi senyum manis, tiba-tiba berubah drastis. Seperti tersaput awan kelabu. Cemberut, kusut dan ditekuk. Pokoknya benar-benar tak enak dilihat.
Teman-teman sekelasnya saja tak habis pikir. Bingung. Begitu juga Koko, teman sebangkunya, dibuat kelimpungan oleh sohibnya itu.
“Elu kenapa sih, Ka? Dieeem… mulu. Lagi punya masalah, ya?” Koko bertanya, sok perhatian.
Raka tak bergeming. Asik dengan buku yang dibacanya.
“Jangan-jangan, kamu sariawan lagi, ya?” pancing Koko lagi.
Ia tahu, Raka langganan sariawan. Setiap tiga bulan sekali, selalu saja mengeluh menderita sariawan. Menurut Raka, sariawan itu selalu hilang timbul.
Kelelep kali ye…hehe…
Raka menggeleng.
“Diomelin ortu?” tebak Koko.
Raka menggeleng lagi.
“Berantem sama pacar? Temen? Kakak?” tanya Koko borongan.
Sebelum Raka menggeleng lagi, Koko menggeleng duluan tepat didepan hidung Raka.
Yee… cian deh, lu keduluan…hehe
“Jadi kenapa dong, Ka? Ngomong dong ngomong! Kali aja gue bisa bantu!” teriaknya kesal, tepat dikuping Raka.
Raka mendelik. “Berisik tau! Dasar bawel! Mau tau aja urusan orang. Nggak tau apa orang lagi bete! Sableng!” bentak Raka keras, sambil ngeloyor pergi.
Koko terpana. Tak biasanya Raka bersikap emosional begitu. Apa lagi hanya karena hal sepele, yang katanya hal luar biasa pun, selalu ia hadapi dengan tenang. Tidak seperti barusan. Menyebalkan.
Kenapa tuh anak? Kesambet apa, ya…?
Sebenarnya ada sih dengan Raka?
Masalahnya sangat sederhana. Bahkan banyak juga yang pernah mengalaminya. Sakit gigi. Karena sakit gigilah, Raka tak enak makan. Tak nyenyak tidur. Mudah tersinggung. Uring-uringan.
“Maa… augh…” rengek Raka manja sambil memegang pipi kirinya.
“Kenapa? Sakit gigi?” Raka mengangguk.
“Kebiasaan. Sakit gigiii…mulu,” Mama duduk disamping bungsunya itu. “Pasti berlubang lagi. Coba Mama lihat!”
Raka membuka mulut. Lebar-lebar.
“Makanya, Ka. Rajin-rajin sikat giginya.” ujar Mama setelah melihat lubang menganga pada gigi jakanya itu.
“Udah Ma. Raka rajin sikat gigi kok. Dua kali sehari malah. Sebelum dan sesudah bangun tidur.”
Mama tertawa tertahan.
“Ka, Ka…Mama heran deh, dua kali sekali sehari kok dibilang rajin. Nggak salah tuh, pantesan sakit gigi mulu.”
Raka cemberut.
“ Itukan udah maksimal, Ma” belanya sewot.
“Maksimal apanya? Sikat gigi itu harus setiap hari. Setiap sesudah selesai makan, sebelum dan sesudah bangun tidur. Terutama setelah makan. Agar sisa-sisa makanan yang tertinggal, tidak mengendap disela-sela gigi. Mengundang bakteri tuh, itulah penyebab gigi berlubang.” cerocosnya semangat.
Raka manyun. Dongkol.
Ugh, Mama! Emang Raka anak TK. Diberi penyuluhan cara membersihkan gigi segala…
“Ya, udah. Sekarang ikut Mama ke dokter” Mama bangkit dari duduknya.
“Mau ngapain, Ma?” rajuknya enggan.
“Periksa gigimu dong, Sayang. Bila perlu ditambal sekalian…”
Raka bergidik.
Ditambal? Emang ban bocor ditambal…
“Coba saya periksa…” seorang dokter memeriksanya sesampainya mereka diruang praktek. “Gigi mana yang berlubang?”
“Kiri, Dok…”Raka celangap. Menunjuk giginya yang berlubang.
“Akhir-akhir ini, gigi adik sering sakit, tidak?”
“Memangnya kenapa, Dok?” Ia balik tanya.
“Kalau gigi adik sering sakit, sebaiknya jangan ditambal dulu. Karena nanti kalau kambuh lagi, bisa fatal akibatnya” Dokter menjelaskan.
“Enggak, Dok…” Raka berbohong.
Bodo, ah… bohong sekali-kali, kali aja abis ditambal nih gigi gak kambuh lagi…
“Bener?” Raka mengangguk. Pasti.
@@@

Malam semakin larut. Jam di dinding menunjukan pukul satu dini hari. Sunyi. Hanya sesekali terdengar gemerisik daun tertiup angin.
Kesunyian itu terpecah.
Di kamarnya, Raka berbaring gelisah. Bolak-balik sambil memegang pipi kirinya yang sakit.
Sejak giginya ditambal dua bulan yang lalu. Raka tak mengeluh sakit gigi lagi. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa gigi tambalannya itu kambuh lagi. Sakitnya bukan kepalang. Lebih parah dari sebelum ditambal.
Perlahan Raka bangkit dari tidurnya. Beranjak mendekati ranjang Alpin, Abangnya. Disebelah.
“Pin! Piiin…! Bangun!” Raka menguncang tubuh kekar itu.
Alpin menggeliat. Enggan ia membuka matanya. Mengucek-ngucek sesaat.
Ia terkejut. Melihat siapa yang berurai air mata disisi ranjangnya.
“Ada apa sih, Ka? Brisik tau!” Semprot Alpin sambil duduk dari rebahnya.
Raka terdiam.
Ugh, tega banget sih. Adeknya sakit gigi malah dibentak. Tambah sakit deh, hik…hik…!
Nut…nut…nut, aduuuh…
“Woooiii…ada apa? Ngantuk nih…”
“Gigiku sakit lagi, Pin” ujar Raka memelas.
Alpin menguap lebar. “Sakit gigi mulu. Bosen!” ucapnya cuek. “Sakit gigi aja ribut, dasar cengeng!”
“Nggak usah ngomong deh, Pin. Belum ngerasain sakit gigi sih. Serba salah tau.” Raka sewot.
“Yeee…siapa suruh sakit gigi. Dasar cengeng!”
Nut…nut…nut!
“Pin! Gimana dong, hik…hik…sakit nih. Hu…hu…” Raka tersedu.
“Aku disuruh ngapain, Ka. Kamu nih ngeganggu aku aja. Aku perlu istirahat. Besok aku ada ujian, tau!” Alpin dongkol. Padahal sebenarnya ia ingin tertawa. Jarang soalnya bisa melihat adiknya itu menangis kejer.
Hiburan gratis nih, hehe…
“Pin…!” bentaknya keras. Alpin gelagepan. “Kelewatan! Orang sakit malah senyum-senyum. Pin, hik…tolong aku, aduuuh…” teriak Raka pilu. Tangannya bergeriliya, menekan-nekan bagian giginya yang sakit. Berharap sakitnya berkurang.
Sebelum giginya ditambal, ia bisa menyelipkan obat pereda sakit. Sekarang ia tak bisa lagi. Ternyata terbukti apa yang dokter ucapkan. Menyesal ia dulu berbohong. Berbohong memang tidak terasa. Hehe.
“Ya, udah. Sini! Aku cabut sekalian pake tang!” ucapnya jengkel. Sudah hampir dua hari ini, jadwal tidurnya terganggu. Karena ulah adiknya itu.
“Pin! Sakit, Pin! Sakit…” Raka jengkel, rengekannya tidak digubris. “Sakit hati juga nih, hik…hik…hik…”
“Loh, sama siapa, Ka?” tanya Alpin gak ngeh.
“Elu…!”
“Lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati ini. Biar tak mengapa…” goda Alpin nyanyi, menirukan lagu dangdut.
Raka semakin kejer. Dan didorongnya tubuh kakaknya itu hingga terjerembab ke kasur.
Ugh, adeknya sakit malah digodain. Lagu apaan tuh, aku sih mendingan gak dua-duanya. Terutama sakit gigi, huuu…derita tiada akhir deh…
Raka tersuruk, putus asa. Tubuhnya telungkup di kasur, terguncang-guncang menahan tangis. Pilu.
Alpin serba salah, hatinya tergerak. Iba.
“Ya, udah aku bikinin air garem deh…”
“Air garem? Buat apa?” Raka tengadah meminta jawaban. Matanya sembab.
“Ya, buat kumur-kumur, Sayang” ucapnya gemas. “Insya Allah, sakitnya akan berkurang”
Kemudian Alpin beranjak meninggalkan adik semata wayangnya itu.
@@@

Saat Mama menyiapkan sarapan pagi, ia heran. Bungsunya absen dari meja makan.
“Raka mana, Pin?”
“Di kamarnya, kali…” sahut Alpin cuek.
“Memangnya tuh anak nggak sekolah, apa? Jam segini kok belum siap.”
Kemudian Mama teriak, memanggil bungsunya itu.
Tak lama kemudian, Raka muncul dengan wajah kusut masai.
Mama terkejut. “Kamu kenapa, Sayang? Sakit?” tanyanya khawatir.
“Gigi Raka kambuh lagi, Ma” jawabnya lesu.
“Iya tuh, Ma. Gara-gara kunyuk ini, aku gak bisa tidur” timpal Alpin sewot. “Mewek plus teriak-teriak pula…”
Raka mendelik. “Bawel!”
“Idih, nggak salah tuh. Ada juga sendirinya tuh yang bawel, cengeng pula, hik…hik…”
“Udah, ah, pagi-pagi kok udah pada ribut…” lerai Mama sabar. “Trus kamu nggak sekolah, Ka?”
“Duh, Mama. Sebelum sakit gigi sialan ini sembuh, Raka ogah ke sekolah”
“Hus! Raka nggak boleh ngomong begitu. Itu kan ujian dari Allah, Sayang” ujarnya lembut sambil membelai kepala bungsunya itu.
“Tapi kenapa harus Raka, Ma? Raka kan nggak sabaran, banyak ngeluhnya”
Mama tersenyum. “Diberi ujian kok nawar. Justru karena kamu nggak sabaran itulah, Allah ngasih kamu ujian yang menuntut kamu supaya jadi orang yang sabar” ucapnya bijak.
“Lagi pula, sakit gigimu itu kan akibat keteledoranmu sendiri, Ka…”
Papa yang sedari tadi mendengarkan, urun suara.
“Papa kok nyalahin Raka sih…”
Papa tersenyum. “Iyalah, masa Papa mo nyalahin anak tetangga sih, hehe. Intinya sih karena kamu nggak menjaga kesehatan, Ka. Ya, jadi rasain deh, hehe…”
Raka manyun.
“Denger tuh, apa kata Papa. Tapi ya, udahlah. Sekarang kamu mandi, gih! Ntar Mama anter ke Dokter Gigi”
“Ke Dokter Gigi? Ngapain lagi, Ma? Bosen, bolak-balik ke dokter mulu…” sahutnya malas.
“Bosen?” Mama melotot. “Nggak ada bosen-bosenan. Pokoknya kalau kamu pengen sembuh, ikut Mama ke dokter buat dicabut!”
“Dicabut, Ma? Ogah, ah…pasti sakit, Ma. Hiiiy…” Raka jiper. Ngeri.
“Apaan Ogah? Harus mau, Ableh…!” ucap Alpin sewot. “Aku yang ogah. Tidurku gak nyenyak gara-gara gigimu itu”
Akhirnya, Raka mau juga diajak ke dokter. Terpaksa. Mama mengancam. Tak mau ambil pusing lagi kalau giginya sakit lagi.
Sesampainya di tempat Dokter praktek. Raka gemetar. Deg-deggan. Apa lagi saat Dokter itu membawakannya jarum suntik
“Untuk…apa itu, Dok?” tunjuknya ngeri. Keringat dingin memenuhi pori-pori kulitnya.
“Menyuntik gusi, Adik. Supaya nggak terlalu sakit saat dicabut”
Raka menjerit tertahan. Saat jarum itu menembus gusinya. Dan tak lama kemudian, ia merasa pipinya menjadi tebal dan kaku.
“Augh…! Sakit, Dok!” teriaknya pilu, saat dokter mencongkel giginya dengan paksa.
Dua bulir bening membasahi pipinya.
Duh, Rabbiii… sakit sekali…
Setelah eksekusi itu selesai, Raka ke luar dengan tubuh gemetar.
“Raka kapok, Ma. Nggak mau dicabut lagi. Sakitnya nauzubillah…” lapornya serak.
Mama terdiam. Ia khawatir saat melihat wajah bungsunya itu pucat pasi dan tubuhnya gemetar. Dengan sayang wanita itu membimbing bungsunya itu pulang.
@@@

Tiga bulan kemudian…
“Aduuuh, Ma. Perih nih, sakit, hssst…” rengek Raka tiba-tiba.
Mama terkejut. Dan sontak menghentikan membaca majalah wanita kesayangannya.
“Kenapa lagi, Ka? Sakit gigi lagi? Kan udah dicabut, heran…” ucapnya tak habis pikir.
Raka menggeleng lemah. “Bukan, Ma. Tapi ini salah Mama…”
“Loh, kok Mama yang disalahin” protes Mama heran.
“Iyalah, Mama kan jarang beli buah yang mengandung vitamin C”
Mama menautkan alisnya. Bingung.
“Apa hubungannya buah-buahan sama sakitmu itu, Ka?” ucapnya tambah bingung dan tak mengerti. “Perasaan Mama rajin beli buah yang mengandung vitamin C. Tuh, di kulkas ada, nanas, jeruk, mangga, tomat…” cerocos Mama semangat.
“Ya, adalah, Ma. Ck…Raka sariawan, Ma…” ucapnya memelas.
“Oooh…” Mama ber-o panjang. “Sariawan, hehe…” Mama tertawa geli.
Raka cemberut.
“Gimana sih, Mama. Anaknya sedang menderita malah diketawain…”
“Habis sakitmu lucu sih, gigi sembuh, eee…sariawan tumbuh, hehe…” kembali Mama terkekeh geli.
Raka semakin cemberut.
“Tau nih, kesehatan mulut udah dijaga. Tapi penyakit, tetep saja ada. Tobaaat…!!!
@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar