Jumat, 22 Januari 2010

SMS Phobia

Aku baru menyadari ternyata menunggu itu sesuatu yang sangat membosankan. Benar-benar membosankan. Apalagi kalau yang diajak janjian orang yang pakai jam karet. Alias telat melulu. Benar-benar bikin gondok.
Sudah satu setengah jam aku menunggu Anjar, sahabatku di halte Citra Land ini. Namun batang hidungnya belum juga nampak. Ditambah lagi sms yang kukirim lima belas menit yang lalu tak jua berbalas.
Dengan wajah mengeras, aku bangkit dari dudukku di bangku besi itu. Sudah tiga kali aku melakukan hal itu. Berdiri sambil menjulur-julurkan kepala, mencari-cari sosoknya diantara orang lalu lalang di ujung jalan. Sambil menatap hilir mudiknya kendaraan-kendaraan dihadapanku dengan segala kesemrawutannya, polusi, bising juga teriakan kondektur mencari-cari penumpang.
“Roxy…Roxy…” teriakan sember kondektur Kopaja membuatku yang sedang pusing menunggu tuh anak tambah keleyengan.
Duh, kemana tuh anak ya. Dasar lelet…!
Aku resah. Tanganku meraba saku celanaku kembali. Mengambil ponsel di dalamnya. Mengecek lagi siapa tau sudah ada sms balasan darinya. Nihil.
Aku mendesah kecewa. Benar-benar menyebalkan. Sudah telat. Sms pun tak dibalasnya.
Aku menghela nafasku. Mengusir tumpukan gundah yang merajai hatiku. Berprasangka baik pada keterlambatannya juga smsnya yang tak berbalas. Mungkin ia terjebak macet, mungkin mobilnya mogok, mungkin pulsanya habis. Dan deretan mungkin yang terus menerus aku pajang di rak-rak hatiku untuk meredakan gemuruh kekesalanku.
Disaat kekesalanku telah mencapai ubun-ubun kepalaku, dengan ekor mataku kulihat sosok yang kutunggu-tunggu itu berjalan melenggang dengan cueknya. Senyuman tak berdosanya bertengger manis di sudut bibirnya yang tipis.
“Afwan ya, Sein telat. Maaf banget…”
Tubuh jangkungnya menghampiriku. Memelukku sambil menyenandungkan monolog alasan atas keterlambatannya. Ucapannya begitu memelas seolah meminta belas kasihan padaku.
Aku masih memberengut. Tak terima atas keterlambatannya.
“Hampir dua jam aku kayak kambing congek nungguin kamu, Jar! Nyaho teu!” Kusemburkan kekesalanku itu dengan sengitnya. Mataku nyureng.
Anjar nyengir. Menjejeri langkahku. Berjalan beriringan menuju Citra Land Mall. Panas di bulan September lumayan menyengat. Membuat tenggorokan serasa tercekik. Maklum puasa.
Ditambah pula si Anjar membuat ulah. Lengkap sudah deritaku di bulan puasa ini…
“Maaf, Sein. Ya, mo gimana lagi namanya juga macet. Itu pan diluar keinginan ane. Pengennya si mulus aja nyampe sini. Bleees…gitu” Anjar memegang bahuku. Mencoba meredakan kekesalanku. Aku menepis tangannya itu.
“Maaf dah. Maaf ye, Sein…”
Aku mendengus. “Enak aja, maaf, maaf. Kalo bisa mengucap maaf buat apa…”
“Ada polisi…” sambar Anjar cepat. Ia tahu sekali aku akan menggunakan kata-kata itu kalau aku sedang sewot. Mencotek penggalan kata-kata itu dari sebuah film drama Korea kesukaanku.
Tak urung aku pun tertawa saat melihat sahabatku itu tertawa sambil memegangi perutnya.
“Nah, gitu dong frend ketawa. Cemberut aje jelek tau. Puasa-puasa gini cemberut. Berkurang ntu pahala puasanye …” sindirnya sambil pura-pura memalingkan mukanya. Dengan bertingkah seperti itu ia tampak lucu dimataku. Culun sekali.
Aku beristigfar lirih. Ingat aku sedang shaum hari ini. Jangan sampai puasaku hari ini hanya dapat haus dan lapar saja.
“Kalo pahalaku berkurang, pahala kamu juga berkurang, Jar”
“Weees, ya nggak dong. Pan nyang cemberut dan sewot itu ente, bukan ane” kilah Anjar tak mau disalahkan.
Aku melotot. “Aku cemberut plus sewot juga gara-gara kamu, tau. Dasar cunihin…” Aku mendorong tubuh jangkungnya kesal.
Anjar tertawa. Seperti biasa menertawakan istilah-istilah dari bahasa Sunda yang aku gunakan. Meski ia tak mengerti artinya. Tapi ditelinga Betawinya, kata-kataku katanya terdengar lucu.
“Trus, kenapa juga smsku nggak dibales. Jangan bilang nggak ada pulsa…” getas kujawab sendiri pertanyaan yang kuajukan itu.
“Emang iye” Ia nyengir.
“Heuleuh, ngabohong wae. Semalem juga masih bisa smsan ma aku” jawabku tak percaya.
“Itu lagi malem, Tong. Pulsa ane abis gara-gara….”
Kami berjalan beriringan menaiki tangga di teras Mall. Melewati detektor keamanan. Naik escalator. Lalu di lantai dasar kami menghampiri lift menuju toko buku langganan kami di lantai atas.
♥♥♥
Kami berjalan beriringan melewati rak-rak peralatan tulis, setelah menitipkan tas di konter depan. Terus berjalan menuju deretan rak-rak yang memajang novel-novel kesukaanku dengan kartu penitipan kutimang-timang ditangan.
“Jadi sms ini lah yang udah nyedot ludes pulsa ane sewaktu sahur tadi, Sein”
Anjar menyodorkan ponselnya. Melanjutkan bahasan yang tadi sempat tertunda.
Kutatap layar ponsel itu. Kubaca deretan kata-kata di dalamnya.
“Bismilahhirohmannirrohim. Allahumma inni as aluka tahdiy bihal qalbi watajmu bihalsyamli watatdhu bihal fitnati anni” Ini doa Nabi Muhamad SAW. Kirim ke 20 org insyaallah dpt rezeki nomplok plus deket jodoh, tp jika TDK menyebarkannya siap2 dpt musibah bsar, rezeki seret jg jauh jodoh. DEMI ALLAH. Ini Amanah”
“Trus kenapa?”
Kusodorkan kembali ponselnya dengan sikap biasa saja. Seolah itu bukan hal yang besar. Sudah sering aku mendapat sms-sms seperti itu, namun tak sekali pun aku menggubrisnya. Menakut-nakuti orang dengan ayat-ayat Allah sekaligus mendoakan yang tidak benar. Aku rasa Islam tak membenarkan perbuatan itu untuk alasan apa pun.
Heran, masih ada saja orang-orang iseng seperti itu. Entah apa maunya.
Kirim ke dua puluh orang, dikira gampang apa. Bisa ludes pulsa dalam sekali duduk. Satu lembar sms saja, seratus ratus lima puluh rupiah. Coba dikalikan dua puluh orang, tiga lembar pula. Bisa tekor deh.
Aku menggerundel di dalam hati.
Anjar melotot. “Kenape, Sein? Enak amat ngomong trus kenape…” Anjar meradang. Merasa kusepelekan urusan yang menurutnya berbahaya itu. “…bujug, ane harus dapat musibah besar, rezeki seret plus jauh jodoh. Kira-kira aje ente ye. Ane belom siap menghadapi semua itu. Ape ente mau?” cerocos Anjar gelisah. Dan menumpahkannya kepadaku dengan wajah angker.
Aku nyengir. “Yeuh, denger ya, Jar. Nggak ada satu orang pun di dunia ini yang mau dapat musibah…” Kujelaskan padanya bahwa maut, rezeki juga jodoh itu sudah diatur oleh Allah. Jadi untuk apa kita harus takut dengan sms semacam itu.
Ceramah deh gue jadinya hehe…
Anjar tidak puas dengan ucapanku barusan.
“Kalo sampe kejadian pegimane?” Ia merajuk dengan wajah masih diliputi ketakutan.
“Allah itu mengikuti prasangkaan hamba-Nya, Jar…” ucapku sambil meletakkan novel yang baru kubaca sinopsis dibelakang covernya. “…yakinlah, bahwa apa pun yang terjadi didunia ini atas kehendak-Nya”
“Tapi kutipan ayatnya, juga kata demi Allahnya itu pegimane?”
Anjar merinding ngeri. Tangannya mengacak-acak deretan novel-novel itu. Tanpa minat.
Aku mendengus. Hilang sabar menghadapi makhluk ngadutun (nggak bisa dinasehatin) yang satu ini.
“Namanya juga orang mau nakutin, ya pastilah pake embel-embel apa aja. Supaya yang baca percaya, tambah takut, lalu mengirim sms-sms itu. Dan ludeslah pulsamu” ucapku sinis dengan suara meninggi.
Punya temen ko ya, bego-bego banget. Masih percaya aja sama hal-hal iseng seperti itu…
Anjar terdiam. Lalu menatapku.
“Naon deui? Apa lagi…” sengit kutatap bening matanya.
Ia manyun. Kehabisan kata-kata.
“Lain kali mah nggak usah percaya lagi sama sms-sms kayak gituan. Kecuali kamu udah jadi milyader yang kebanyakan duit, jadi bisa kirim sms ke sejuta nomor” ucapku getas sambil ngeloyor pergi menuju rak novel yang lain. Meninggalkannya yang masih bengong ditempatnya berdiri.
Aku buru-buru beristigfar. Ingat sedang shaum.
Dari tadi kok nyap-nyap mulu hehe.
♥♥♥
Dua hari kemudian.
Aku sedang khusyu menghadapi Al-Quran tebal dihadapanku. Tadarusan. Sudah sampai surat Yusuf. Di bulan puasa kali ini aku berniat mengkhatamkannya. Tidak seperti bulan puasa yang lalu, akibat radang tenggorokan aku tidak jadi mengkhatamkannya.
Tiba-tiba ringtone songette.mid dari ponselku menjerit nyaring. Ada sms masuk. Kuraih ponsel yang tergolek disisiku. Kubuka dan kubaca isinya.
“Mantan presiden kita sedang sakit keras. Kirim sms ini ke 30 org, dijamin dpt PULSA TIGA RATUS RIBU. Coba deh, aku sudah membuktikannya. Terutama untuk 10 org pengirim per-1. Buruaaan…!!!”
Sender : Si Phobia SMS (085672410322)
Sent : 20:31:25_20/09/2008
Aku nyengir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan temanku yang satu itu. Belum juga berubah.
Sms yang membawa-bawa ayat-ayat Allah dan akibat yang akan ditimbulkannya membuatnya heboh. Sms dengan huruf-huruf merah dan diawali dengan angka 996 depannya membuatnya histeris. Katanya sampai ada yang jatuh korban segala. Itu juga masih katanya. Ia sudah histeris dan paranoid duluan. Dan ini sms dengan iming-iming pulsa membuatnya kalang kabut.
Kembali ponselku berdering. Menyuarakan Negeri Terlukanya-Izzis. Kutatap layarnya. Tertera tulisan, Si Phobia SMS memanggil. Kalau yang punya nama Ginanjar ini tahu, namanya aku ganti dengan nama barusan, dijamin ia akan mencak-mencak.
“Ya, waalaikum salam. Aya naon deui?”
Suara diseberang sana tertawa jelek sekali. Mendengar jawabanku yang kurang sedap.
Ngaganggu konsentrasi tadarusan wae...
“Ane dapet pulsa tiga ratus ribu, Sein. Ane seneeeng banget…”
“Heuleuh, ngabohong aja kamu. Nggak mungkin gara-gara sms teu puguh gitu dapet pulsa tiga ratus rebu sagala. Emang siapa yang mau ngasih. Nenek moyangmu apa. Kamu tuh, Jar, Jar…udah dikasih tau juga. Jangan menghambur-hamburkan pulsa untuk hal-hal tak berguna seperti itu, masih aja dilakuin. Amit-amit deh gua mah punya temen kok sableng kayak elo” cerocosku getas menumpahkan kekesalanku pada teman sebangkuku di sekolah yang lumayan bandel itu. Nafasku ngos-ngosan.
“Stop, stop…ngejeplak aja ntu mulut. Emang ane ngomong apa tadi”
“Dapat duit dari sms teu puguh itu kan?”
Dikiranya aku budek apa…?
Anjar diseberang sana ngakak.
“Kayaknya Rasul gak ketawa ngakak kayak gitu deh” sindirku pedas.
“Afwan” Ia meminta maaf. “Ane pan cuma bilang dapet pulsa tiga ratus ribu…”
“Iya, dari sms itu kan?” selakku ngotot dengan nada mencibir.
“Maaf ye, Sein. Ane dah gak percaya lagi ma sms gituan. Ane kirim ke ente karena iseng aja. Ane lagi seneng”
“Seneng apa iseng?”
“Bener. Ane lagi hepi. Ane dapet pulsa tiga ratus rebu ntu dari kakak ane yang baru pulang kerja di Arab Saudi sono, Sein. Bukan dari sms itu. Ente udah nyerocos aja kayak petasan kebakar…”
Aku mendengus. Enak aja ngatain orang petasan kebakar.
Aku menghela nafas sesaat. “Oh, gitu ya, Jar. Wah, rezeki nomplok dong. Kamu kan terkenal dengan boros pulsa. Aku kecipratan dong” ucapku penuh harap. Sambil tertawa.
Boleh kan ngarep? Hehe..
Anjar tertawa. “Tenang, Sein. Karena ente sahabat ane yang paling bawel sekaligus penuh perhatian sama ane. Trus, sayang lagi sama ane kayak Nyak ane sendiri. Ane kasih ente jatah ceban deh…” ucapnya diselingi tawa berderai.
Aku mendengus. Udah menghina, pelit pula. “Dasar koret, dedekut, medit, siah. Mani cuma dikasih sepuluh rebu doang. Seratus atuh, Jar…” Aku menawar.
“Ngga ah, ceban aja. Pan kata ente, di bulan puasa ini ane harus banyak sodaqoh dan beramal. Jadi, ane mo nyumbangin ni pulsa ma temen-teman kite yang miskin pulsa”
“Bagus deh. Jiwa dermawanmu mulai terketuk sekarang. Meski cuma hanya pada bulan puasa aja baiknya. Nggak papa. Aku salut dan bersuka cita.” Sindirku pedas.
Anjar terdengar menggerundel tak jelas. Lalu berujar dengan galaknya. “Itu menghina apa memuji?”
“Dua-duanya, Frend” ucapku dibarengi tawa.
Klik. Suara telpon diputus.
Aku menggerutu sendiri.
Dasar, teu sopan. Ngga ucap salam dulu. Main tutup wae…
♥♥♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar