Matahari mulai naik sepenggalah meninggalkan buaian malam dalam hitamnya yang sempat bertahta. Saat aku dan Udin menikmati semangkuk bubur ayam yang lezat. Racikan dan penyajiannya agak sedikit beda ama bubur ayam yang biasa jadi langgananku di depan rumah. Kalau bubur ayam yang sedang kusantap itu gak pake siraman santan kental, tapi kecap asinnya lebih mendominasi. Berbeda, tapi ada kelezatan pada tiap masing-masing racikannya.
“Tadi kenapa harus ngumpet-ngumpet segala si, Din?”
Tercetus juga rasa heran yang sedari berkecamuk dibenakku. Saat kemunculan Udin lumayan mengejutkanku. Gimana nggak coba, aku udah celingukan dengan ponsel bertengger dikuping. Dia malah nongol dari arah belakang.
Udin menghembuskan nafasnya perlahan. Tangannya sibuk mengaduk-aduk bubur ayam itu sehingga semua bahan-bahan yang ada dalam bubur tercampaur baur. Cara makan yang nyaris sama dengan kebanyakan orang. Beda banget ama cara makanku. Kalo aku sih membiarkan semua racikan itu seperti apa adanya. Diambil sedikit demi sedikit. Aku sih geli kalo liat warna bubur itu berubah karena diaduk-aduk. Mengingatkan aku pada muntahan orang.
“Aku takut bertemu dengan penjaga sekolah, Dey”
Aku mengerenyitkan dahiku. “Kenapa? Ngigit emangnya” aku bercanda sambil tersenyum.
“Dia tuh orangnya agak ember, Dey. Ucapannya suka dilebih-lebihkan gitu. Intinya sih aku akan jelek banget dimata kepala sekolah”
“Bukannya kamu tadi bilang kalo hari ini kelasmu kosong. Lagian kamu udah izinkan sama kepala sekolah” ucapku bingung sambil mengunyah buburku yang terasa nikmat sekali.
“Iya sih. Tapi tetep, Dey. Aku akan jelek banget dimata kepala sekolah”
Mata Udin langsung meredup setelah mengucapkan kata-kata itu. Matanya seolah berkata “bertemu penjaga sekolah itu, saat seharusnya aku mengajar adalah hal terburuk yang akan menjadi santapan lezat bagi mulut usilnya”
Aku ngerti. Dan aku langsung merubah topik pembicaraan yang gak ngenakin itu dengan hal-hal ringan. Agar kecerahan pagi itu gak merubah wajah seseorang yang udah jadi sahabat terbaikku dari masa seragam putih abu-abu sampe sekarang.
Setelah semangkuk bubur ayam singgah diperut kami, kami harus berlari-lari mengejar AJA Cimone-Grogol yang kecentilan dengan jalannya yang endut-endutan. Menaikan segerombolan juga satu-persatu penumpang yang akan menggunakan jasa bus itu.
@@@
Waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat saat aku dan Udin sampai di halte Jelambar. Dan sekelebat kulihat bayangan Gigih, ia celingukan mencari-cari dimana kami berada.
Setelah berpelukan untuk melepas segala kerinduan dan basa-basi bertanya kabar. Kami berempat, aku, Maulana, Gigih dan Udin berdiri mengobrol diselingi canda tawa, menunggu datangnya bus yang akan membawa kami ke rumah Evi di SPN Lido.
Lama menunggu bus Sukabumi-Kali Deres, hingga kakiku pegel, akhirnya nongol juga tuh bus. Alhamdulillah, kami dapat tempat duduk. Meski Maulana dan Udin harus duduk terpisah dari aku dan Gigih. Namun jaraknya masih berdekatan. Maklum sebagian dari kursi-kursi itu telah terisi sebagian.
Saat bus melaju membelah lalu lintas Jakarta dengan segala kesemrawutannya. Seorang bapak paruh baya dengan rambut yang mulai dipenuhi uban bertanya ama aku. Tujuanku mau kemana dan dari mana. Biasalah pertanyaan basi sebagai pembuka percakapan. Sehingga menginterupsi obrolanku dengan Gigih yang sedang berlangsung.
Semula agak menyenangkan saat mengetahui kalau bapak itu punya lahan subur untuk bekerja. Peluang tuh untuk mendapatkan pekerjaan, pikirku. Sehingga kuberanikan diri untuk menanyakan lowongan pekerjaan padanya. Dengan antusias ia minta nomor ponselku agar ia bisa menghubungiku kalau ia membutuhkan karyawan baru.
Dari obrolan singkat mengenai lowongan pekerjaan, ujung-ujungnya obrolan itu mgelantur kemana-mana. Dari bahasan satu kebahasan lain yang meloncat-loncat gak ada ujung pangkalnya yang membuatku sedikit jengkel. Karena ia terus-terusan memotong pembicaraan yang sedang kulakukan dengan Gigih. Belum lagi setiap kata yang ia lontarkan selalu bersamaan dengan hujan lokal keluar dari mulutnya yang bergigi kuning gak keurus plus beraroma naga. Membuatku harus berulangkali menghapus muncratan yang mengenai punggung tanganku.
Separuh perjalanan itu benar-benar membuatku gak nyaman banget harus satu kursi dengan bapak itu. Mulutnya terus menerus menyenandungkan kebohongan demi kebohongan yang terlihat jelas dari sorot matanya juga omongannya yang semakin lama semakin jauh dari kenyataan. Ia mengaku sebagai keturunan Sunan lah, personalia di perusahaan marketing lah dan ia sedang ingin naik mobil umum dari pada mobil pribadi karena sedang merakyat lah. Dih, kesannya dia keluarga kerajaan yang sedang turun gunung apa. Dan tetek bengek lainnya, yang intinya sih bokis abis.
Aku enek dan muak saat aroma ketiaknya menguar dari tubuhnya. Dan semakin muak dan jijik saja saat tangannya bergerilnya menjamah selakangannya sendiri dengan kerlingan mata jalangnya. Seolah menggodaku.
Aku beristigfar lirih. Dan terus menyenandungkan bait-bait doa keharibaan Allah, agar aku diselamatkan dari kedzoliman bapak itu yang mengaku bernama Jemy, apabila ia akan berbuat dzolim.
Aku pikir aku gak akan diganggu lagi oleh obrolan dari mulut Pak Jemy itu saat kupasang headset ketelingaku. Mendengarkan nasyid-nasyid dari mp3 yang Gigih bawa. Taunya, ia masih aja mengangguku dengan segala omongan gak bermutunya itu.
Dan aku semakin menyesal saja memberikan nomer ponselku, saat ia berkata bahwa ia masih melajang diusianya yang menginjak 46 tahun itu karena ia gak tertarik pada lawan jenis.
“Kenapa?” Aku memberanikan diri melontarkan pertanyaan itu. Meski aku sadar itu bukan urusanku sama sekali.
“Ada aja…” cetusnya sambil bahunya ia gesekkan kebahuku.
Aku meringis jeri. Menghadapkan wajahku pada Gigih yang seolah gak nyadar sama sekali kalau aku sedang butuh pertolongannya. Dan aku sendiri gak tau, Gigih harus nolong apa ama aku. Lha, secara aku terlihat baik-baik aja. Nggak terlihat sedang dianiaya.
“Kalau kamu menikah, nanti undang saya, ya” kembali ia mengerling genit padaku.
Aku mengangguk terpaksa. Meski rasa sebal mulai menaiki ubun-ubun kepalaku. Kayaknya udah mulai berasap deh.
“Nanti mampir ke rumah teman saya ya, namanya Dodi. Tapi jangan banyak-banyak kalau main, cukup kamu aja atau sama temen disebelah kamu juga boleh. Nanti kita disana seru-seruan…” cerocosnya menyebutkan tempat tinggal temannya di daerah Cengkareng. Menekan kata seru-seruan yang terdengar menjijikkan ditelingaku. Apaan coba seru-seruan?
Aku nyengir terpaksa. Mewakili ucapan yang enggan keluar untuk mengiyakan ajakannya itu.
Najis! Nggak sudi gue mampir. Dia pikir gue apaan…! Siapa juga yang mau mampir…
Aku beristigfar lirih sambil menghembuskan nafasku yang terasa mencekik. Tercekik oleh rasa muak dan terhina yang menjalariku sejak dari tadi ia mulai melakukan dan mengatakan hal-hal yang aneh itu.
Dan aku baru benar-benar bisa bernafas lega saat Pak Jemy itu bangkit dari duduknya, karena bus itu sudah memasuki kawasan Ciawi. Ia akan turun di Ciawi. Dibelakang masjid samping Universitas Juanda itulah ia mengaku tinggal. Lalu ia berdiri di dekat pintu bus dengan sebatang rokok terselip di bibirnya yang menghitam.
Aku muak. Muak karena ternyata dia merokok. Poin yang membuat semakin panjang deretan rasa muakku pada segala kebohongan yang tadi ia dongengkan. Udah penipu, perokok pula.
Aku melengos saat asap rokoknya menghampiri tempat dudukku. Melempar pandangku pada kendaraan-kendaraan yang berjalan merayap sepanjang jalan memasuki Ciawi.
“Ini kan hari sabtu, Kang. Biasa macet mah. Jalurnya kan buka-tutup. Sabar dong…” Gigih menjawab kerisauan hatiku dengan tenangnya. Ugh, mana bisa aku bersabar dengan kemacetan seperti itu. Ditambah dengan bau asep rokok juga bau ketiak yang entah berasal dari tubuh siapa.
@@@
Langit agak sedikit kelabu, matahari kadang-kadang tertutup oleh awan-awan nakal yang berarak dilangit tanpa batas. Saat kami berjalan menanjak memasuki kawasan SPN Lido.
Sepanjang jalan menanjak itu Udin sibuk mencari warung kecil untuk membeli plester. Tangannya terluka oleh silet yang ia bawa di tasnya, tanpa terbungkus. Menggores tangannya dengan sayatannya yang pedih saat ia mencari-cari lembaran rupiah yang ia letakkan dalam saku tasnya.
Angin segar kawasan Lido menampar-nampar wajah kami saat kami memasuki pekarangan rumah Evi. Rumah yang akan kami gunakan untuk mengelar acara Mabit menjelang ramadhan yang akan dilaksanakan ba’da Dzuhur. Sesuai jadwal, rangkaian acara memang akan dilangsungkan dari ba’da Dzuhur hingga akhirnya penutupan keesokan paginya.
Kami langsung menghampiri meja tamu yang telah Evi sediakan untuk mengisi buku tamu. Juga mengambil beberapa lembar selebaran yang telah difoto copy yang berisi semua seluk beluk yang berbau ramadhan sebagai bahasannya.
“Hayuk, pada masuk heula kaleubet…”
Sibuk Evi menggiring kami agar memasuki ruang tamu rumahnya yang sejuk. Dengan ucapan yang selalu tercampur baur dengan bahasa Sunda, terceplos begitu saja dari mulutnya yang memang terbiasa seperti itu. Bagi orang Sunda sendiri ucapannya itu gak ada masalah sama sekali, tapi akan jadi masalah kalau kalimat-kalimat itu udah di alamatin ama Gigih dan Maulana. Secara mereka berdua tuh orang Betawi. Lha, ya kagak bakalan nyambung.
Dan buntut-buntutnya aku harus legowo jadi penerjemah dadakan bagi keduanya yang selalu saja tersenyum-senyum culun.
Maklum teu ngartieun, hehe…
Meski Evi telah berulang kali menasehati mulutnya supaya gak mengeluarkan kata-kata itu, tapi tetap aja mulutnya balik lagi, balik lagi pada bahasa Sundanya yang medok itu. Dan saat aku mengingatkannya, ia akan buru-buru meminta maaf dengan kata-kata lucu yang berloncatan dari bibirnya. Namun gak lama kemudian, saat ia mulai berkata lagi, kata-kata Sunda itu akan keluar lagi. Jadi sudahlah. Biarkan ia dengan ucapannya itu. Dan dengan senang hati (baca terpaksa hehe) aku akan menjadi penerjemahnya tanpa bayaran.
“Sekarang aja apa Om, beres-beresnya. Tapi nanti dulu ya, masih cararapek meureun” cetusnya lucu sambil tersenyum sumringah. Kalau sudah bertingkah seperti itu ia terlihat menggemaskan. Kalau ia keponakanku, pasti sudah aku gucel-gucel kepalanya saking gak tahan melihat tingkah polah akhwat itu. Dewasa sekaligus kekanak-kanakan.
“Target berapa orang yang ingin dicapai, Vi?” aku membuka pembicaraan.
“Ya, pengennya sih 30 orang, Om. Tapi lihat aja, sekarang aja belom ada yang datang” seloroh Evi seolah pesimis.
“Macet kali, Vi…” Gigih urun suara.
“Iya macet banget. Tadi aja kita di bawa muter ke jalan daerah Tapos yang mau ke Wadi…” ucapku membesarkan hati. “…ya, walau yang nanti yang datangnya sedikit ya, nggak papa. Yang penting sukses kayak di Cinumpang dulu. Ya, kan?” tandasku mantap, meski aku gak yakin acara ini akan mendulang sukses seperti di Cinumpang kemarin.
Gigih dan Evi mengiyakan ucapanku.
Sementara itu tangan-tangan kami sibuk mengangkat dan memberesi barang-barang yang ada di ruangan itu. Digeser, dipindah dan setelah lapang menggelar karpet deh. Sebentar saja ruangan itu sudah terlihat lapang dengan bentangan karpet tebal. Dan di ujung karpet bagian dalam, diberi meja untuk meletakkan teve besar juga DVD. Properti yang akan digunakan untuk pemutaran film islami yang menjadi bagian dari acara yang akan dilaksanakan.
Waktu terus merangkak. Kehadiran akhi Fauzi disusul oleh ukhti Euis, ukhti Lilim, ukhti Nining, ukhti Miqo, akhi Imam dan akhi Asep membuat kami yang udah ngejogrog dari tadi bisa bernafas lega. Meski dari mulutku telah menyenandungkan “gak apa-apa” walau yang datang sedikit. Tapi tetep aja jantungku terus menerus berdetak gak karuan saat menunggu kemunculan para peserta Mabit. Dan hatiku terus menerus menghitung jumlah para peserta yang hadir.
Hatiku semakin membuncah gembira saat susul menyusul kehadiran ukhti Zahra, akhi Husen Gadok dengan ukhti Itje dan ukhti Khodijah yang secara kebetulan bertemu di jalan masuk SPN Lido, saat mereka sedang kebingungan menentukan arah. Dan gak lama kemudian, ukhti Zulfah, akhi Adnan, dan akhi Dian. Kemudian ukhti Nadin menyusul dengan gerembolan bawaannya yang seperti biasanya, repot sendiri_datang juga. Itu pun dijemput ama Maulana.
Dengan peserta seadanya, akhirnya acara Mabit pun dibuka oleh Fauzi yang kami paksa menjadi moderator dadakan. Setelah itu abinya Evi berbasa-basi sebentar, memperkenalkan diri selaku tuan rumah yang telah berbaik hati. Membiarkan rumah kediamannya diobok-obok oleh orang-orang dari berbagai tempat.
Dan saat matahari mulai beranjak berangkat keperaduannya, Teh Muth, Teh Rosy dan Endin datang juga. Bersamaan dengan itu pula kumandang adzan Magrib mengiringi kedatangan Akbari. Ia peluk satu persatu peserta Mabit yang ikhwan dengan eratnya sambil memperkenalkan diri.
Pelukannya hangat dan tulus. Mencirikan pribadi orangnya yang hangat, welcome pada setiap orang dan juga tulus dalam berbuat. Terbukti saat orang lain minta tolong padanya, maka dengan sigap ia akan menyingsingkan lengan bajunya tanpa harus diminta dua kali.
Dengan kehadiran Akbari, aku rasa sudah cukup peserta Mabit yang hadir, meski jauh dari jumlah yang ditargetkan. Tapi gak dinyana, saat kami sedang melangsungkan Yasinan, Rotibul Hadad dan Sintu Duror. Akhi Ikhsan Cipaok datang dengan membawa pipi chubby-nya. Ia langsung didaulat untuk mengisi sesi tausyiah yang memang kosong. Karena yang lain hanya bisa saling tunjuk hidung. Termasuk aku hehe.
Setelah itu isoma yang diisi dengan sharing, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kiamat, neraka, surga juga hal-hal ringan lainnya yang diselingi canda tawa. Sesi selanjutnya diisi dengan pemutaran film dokumenter. Film itu berisi penindasan kaum zionis Israel pada Palestina.
Pemutaran film ini bertujuan agar hati para peserta Mabit terketuk, bahwa dibelahan bumi yang lain masih ada saudara-saudara sesama muslim yang butuh uluran tangan juga doa dari muslim yang lain. Juga menggugah hati nurani mereka, agar mereka bisa merasakan penderitaan kaum muslim Palestina yang kelaparan, kedinginan, teraniaya, terdzolimi, diperlakukan semena-mena juga terusir dari tempat tinggal mereka sendiri.
Meski telah berulang kali aku melihat dan mendengar kedzoliman zionis Israel pada Palestina, tak urung mulutku terus menerus menghujat perlakuan tidak manusiawi itu dengan geramnya. Aku sakit hati melihat betapa dzolimnya dan arogannya perlakuan zionis Israel itu. Dan semoga mereka semua membusuk di neraka Jahanam, saat masanya peradilan nanti tiba. Doaku dalam hati. Menuntaskan kegeramanku.
Namun sayang, saat pemutaran film itu berlangsung ada aja beberapa orang yang keluar ruangan. Gak tau ogah nonton atau memang ada keperluan lain. Tapi ada juga yang jelas-jelas gak mau melihat pemutaran film itu, yang memilih tidur di kamar.
Agak kecewa sih melihat hal itu, karena sesi pemutaran film itu kan sudah menjadi bagian dari rangkaian acara Mabit juga. Jadi bukan acara selingan.
Padahal dengan melihat film itu, aku rasa bisa mengasah kepekaan diri supaya tajam. Dengan melihat kelaliman juga penindasan dari zionis Israel. Minimal terketuk untuk menyumbang doa bagi mereka yang terdzolimi.
Waktu telah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Saat pemutaran film dokumenter itu berakhir.
Setelah itu aku sibuk berkoar-koar agar semua peserta bersiap-siap untuk pergi tidur. Agar bisa bangun untuk qiamulail bersama disepertiga malam nanti. Namun bukannya pada tidur, temen-temen malah sibuk sendiri-sendiri. Ada yang masak-masakan, lapar katanya. Ada yang keluar mencari makanan, lapar juga pastinya. Meski cemilan melimpah ruah. Mungkin dasarnya ingin jalan-jalan aja. Ada yang tiduran sambil mengobrol dan mendengarkan radio, ada yang sibuk telpon sana-telpon sini ada juga yang smsan sambil tiduran, seperti aku hehe.
Saat tidur semua peserta Mabit yang ikhwan memakai rumah Evi yang sayap kiri, karena yang sayap kanan diisi para akhwat. Separuh pada tidur di kasur lipat yang digelar di lantai ruang tamu, yang lain nyari tempat masing-masing yang enak untuk ditempati.
Di sayap kiri itu ada tiga ruang kamar kosong berikut ranjangnya. Aku, akhi Husen dan akhi Dian berdesak-desakan di kamar pertama. Akhi Endin di kamar kedua, ngejopak sendirian. Sisanya numplek jadi satu di lantai ruang tamu, berdesakan dan berhimpitan seperti pepes ikan bandeng.
Dan benar aja dugaanku, sewaktu bangun untuk qiamulail para peserta Mabit yang ikhwan pada kesiangan. Mendekati subuh yang langsung tiba, saat salat lail baru dua rakaat dilakukan. Dan benar-benar merusak schedule yang udah disusun.
Setelah shalat subuh berjamaah usai. Acara selanjutnya adalah muhasabah. Perenungan. Dengan bait-bait puisi yang aku bawakan. Juga untaian kata-kata dari Gigih dan dilanjutkan oleh Fauzi dengan menyentuh hati. Gak tau ada yang tersentuh apa gak dengan renungan yang kami suguhkan. Soalnya aku jauh dari usil untuk menyentuh-nyentuh mereka hehe. Yang jelas kami telah berupaya sebaik mungkin. Renungan itu diselingi dengan instrument yang mendayu-dayu juga senandung nasyid yang ada kaitannya dengan renungan tersebut.
Lalu saat perenungan usai kami berpelukan sambil bermaafan jika ada sikap yang menoreh dihati saat canda tawa terlontar.
Setelah sarapan pagi acara dilanjutkan dengan game islami. Game islami itu bertujuan mengeratkan sesama peserta Mabit juga bagaimana sih mengasah kekompakan dan rasa tanggung jawab.
Saat Gigih dan Fauzi sedang mempersiapkan tali-tali rapia juga botol dan gelas kemasan bekas air mineral untuk properti permainan. Ponselku mencicit perlahan. Ada dua lembar sms yang dikirim seseorang. Seseorang yang lumayan dekat denganku. Isi sms itu lumayan mengejutkanku. Dan membuatku sesaat merasa ada yang kosong menerobos hijab hatiku. Benar-benar kosong. Kakiku mendadak lemas.
“Ayo, cepetan kumpul. Saatnya game di mulai. Ayo, cepet! Udah siang nih…”
Aku berteriak-teriak agar peserta segera bangkit dari duduknya, dari kemalasannya juga gak antusiasnya pada game yang akan digelar.
Mungkin aku akan santai dan gak pake berkoar-koar kalo peserta Mabit pulangnya nanti bersama-sama. Lha ini kan nggak, peserta ada yang akan pulang duluan karena ada urusan penting yang harus mereka lakukan.
Kasihan pada Gigih dan Fauzi yang sedari tadi sibuk menyiapkan permainan itu tanpa ada yang berniat membantu. Bahkan cendrung masa bodoh. Susah ya, mengatur anak-anak orang. Yang berbeda karakter juga sifat. Cuapek deh!
Game-nya lumayan seru karena diselingi oleh teriakan-teriakan dari mulut para peserta. Saat hal-hal lucu dan gak terduga mewarnai acara yang sedang berlangsung.
Terutama saat game yang membutuhkan empat peserta untuk melakukannya. Empat orang ini memegang dua utas tali rapia yang dikaitkan saling silang, membawa gelas bekas kemasan air mineral ke tengah arena. Di tengah arena disediakan satu gelas lagi yang berfungsi menampung air yang dibawa empat orang tadi. Saat gelas ditengah arena itu penuh duluan diisi oleh dua kubu yang bertanding itu, maka dialah pemenangnya.
Game membawa air dalam gelas kemasan itu bertujuan memupuk kebersamaan juga kesabaran. Karena kalau gak sabaran, kegagalan yang akan mereka tuai. Seperti airnya sudah tumpah duluan, padahal gelas itu belum sampai arena. Bahkan ada juga yang langsung tumpah, padahal baru aja diangkat.
Namun ada juga peserta yang alih-alih meramaikan permainan itu, malah bikin kacau suasana dengan tingkah polahnya yang kekanak-kanankan. Merecoki dan teriak-teriak gak karuan. Tapi sudahlah, namanya juga permainan. Jadi gak perlu diambil ati, rempela bahkan usus hehe.
Kekosongan yang sempat melandaku akibat sms tadi sedikit sirna. Saat kulihat Gigih tertawa berderai. Mentertawakan regu akhwat yang sedikit curang dalam permainan. Mungkin karena aku jarang melihatnya tertawa, jadi tawa dadakannya itu cukup mengobati resahku. Aneh ya, tawa seorang kok bisa jadi terapi.
@@@
Matahari sudah naik sepenggalah saat para peserta Mabit menyusuri sungai Cisadane. Jalan-jalan pagi. Tujuannya sih mentadaburi indahnya ciptaan Allah yang terbentang indah dan permai di kawasan Lido itu.
Gemericik air, petak-petak sawah, kesiur angin, bau tanah basah, jalan setapak yang dipenuhi rumput-rumputan berembun juga bentangan langit biru itu mendendangkan simfoni indah kebersamaan dalam jalinan ukhwah. Betapa saling menyayangi dan mencintai karena Allah itu terasa begitu indah. Luar bisa indah bagi mereka yang pandai bersyukur. Atas segala karunia yang telah diberikan Allah bagi hamba-hamba-Nya.
Selama perjalanan menyusuri sungai hingga menyebrangi sungai yang lumayan berarus deras. Berkali-kali jepretan kamera mengabadikan keindahan alam juga indahnya kebersamaan. Sayang kan kalau moment seindah itu terlewatkan begitu saja. Jarang-jarang hal itu bisa terulang dua kali dalam hidup.
Lalu satu persatu peserta Mabit baik yang ikhwan maupun akhwat, menyebrangi sungai Cisadane. Menapaki batu-batu besar maupun kecil yang bertonjolan di sungai sebagai pijakannya dengan hati-hati sekali. Karena kalau tidak, sungai itu siap menelan tubuh-tubuh itu hingga kuyup. Juga bahaya dari tonjolan batu-batu yang lumayan licin bagi kaki yang tak beralas.
@@@
Dua hari setelah kegiatan Mabit itu berlalu. Beberapa sms menyambangai inbox-ku.
“Aslkm. Af1 ya, akhi. Dnger2 acra Mabit kmrn ga dihijab ya? Kok bisa ya, panitianya seteledor itu. Mmbiarkan prcamprbauran ikhwn-akhwat. Untung sj ana ga jd ikut. Klo ikut bs berabe tuh. Afwan…wss.”
“Aslkm. Bner ga si, akhi…klo acra Mabit itu ga dihijab? Ikwn-akhwt ada yang cekikikan b’2 trus ada acra game’y kntak jdoh kyak diSCTV itu ya. Antum, ukhti Evi trtma akhi Gigih sbg panitia gmana sih. Pdhl tadi’y sy trtarik skli dg acra trsbt”
“Shrs’y acra yg brbau islami itu ada hijab’y, ga brcmpur aplgi smpe ada yg mojok sgla,astgfrllah…! Pntia’y antum n akhi Gigih kan,ko bs mbirkan smua itu. Apa dsngja? Afwan”
Membaca sms-sms itu sumpah aku kaget banget. Kenapa acara Mabit itu kesannya ajang maksiat banget ya. Darimana mereka tahu format acaranya seperti itu kalau mereka aja gak ikut? Adakah peserta Mabit sendiri yang menjelek-jelekkan acara tersebut? Atau ada orang-orang tertentu yang pada dasarnya gak suka pada acara yang kami buat sehingga melebih-lebihkan kekurangan yang terjadi?
Seribu tanya menggantung dibenakku. Membuatku lama terpekur, merenungi dan me-replay kembali acara Mabit itu. Something wrong?
Untuk hijab, kuakui pada acara Mabit itu memang gak berhijab. Dan itu memang suatu keteledoran. Tapi bukan harga mati aku rasa. Toh, kelompok akhwat dan ikwan berseberangan. Untuk mojok dan cekikikan berdua, aku gak tahu. Karena aku gak memperhatikan satu persatu peserta Mabit. Dan untuk game yang ada kontak jodohnya, aku rasa mengada-ada sekali. Bahkan bisa menjurus ke fitnah. Karena seperti yang udah aku uraikan di atas acara permainannya ya seperti itu. Bahkan regu ikhwan dan akhwatnya dipisah. Gak bercampur-baur.
Akhirnya untuk acara Mabit itu aku rasa ada poin plus-minus-nya. Dan bisa menjadi tolak ukur untuk kedepannya. Kalau acara itu dinilai sukses, kedepannya harus lebih baik lagi. Tapi kalau acara itu dinilai gak berhasil, ya gak apa-apa. Toh, kami masih dalam tahap belajar. Dan sumbangsih ide dari rekan-rekan yang mendukung acara itu sangat dibutuhkan.
Tapi yang aku anehkan, mengapa orang lain harus menyalahkan panitia jika suatu acara tidak berhasil ya. Bukankah sukses tidaknya suatu acara itu berkat kerja sama dari seluruh peserta. Jadi seketat dan sebagus apa pun format acara yang disuguhkan panitia, kalo masih ada orang-orang tertentu yang masa bodoh pada format acara yang dibuat. Aku yakin, acaranya gak akan berjalan secara seperti semestinya. Jadi, sejauh apa pun aku melangkah…loh, kok malah nyanyi. Maksudku, pemahaman agama individu-individu itulah yang seharusnya jadi kaca mata untuk melihat keberhasilan atau tidaknya acara tersebut.
Dan terlepas dari kritikan maupun opini mengenai acara Mabit itu, yang jelas aku pribadi berterima kasih sekali ada yang mau memberi masukan meski caranya agak kurang aksan. Mereka gak mencantumkan nama saat sms seperti itu sama aku. Kesannya gimana gitu.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar