Jumat, 22 Januari 2010

Lembaran Duka

“Mat, saya ngambil rokok lagi dong sebungkus,” ucap Pak Burhan, seorang satpam yang berkerja di perusahaan styroform disebarang jalan.
“Wah, gimana ya, Pak. Hutang Bapak yang kemarin-kemarin aja belom bayar…” jawab pemuda bernama Rahmat itu keberatan dengan permintaan satpam tersebut.
“Tenang sih, Mat. Nanti besok juga saya bayar,” ucapnya menggampangkan seperti yang sudah-sudah. Besok, besok, besok saja sampai akhirnya hutangnya bertumpuk. Meninggalkan deretan panjang angka-angka di buku khusus orang yang berhutang. Alias bon.
“Kemaren Bapak juga ngomong gitu. Tapi mana buktinya, belom bayar juga,” Rahmat menyabar-nyabarkan diri. Padahal ia sudah kesal sekali pada lelaki tersebut.
Mengingat hubungan baik yang harus dijalinnya dengan para pekerja di pabrik itu terpaksa ia harus menahan diri untuk tidak membentak-bentak lelaki itu. Maklum, untuk kebutuhannya akan air bersih, baik untuk minum, mandi maupun mencuci. Ia harus memasuki kawasan pabrik.
Dan meski untuk kebutuhan akan air itu ia harus mengeluarkan modal. Yaitu membuatkan keempat satpam yang ada di pabrik itu kopi setiap harinya. Baik itu pagi, siang atau malam hari. Tergantung giliran jaga mereka.
“Kamu nggak percaya sama saya, Mat?” ucap satpam itu seraya mengambil sebungkus rokok yang disodorkan kepadanya dengan raut wajah tak senang.
Rahmat menghela nafas. Mengusir rasa geram yang bercokol dihatinya.
“Bukan begitu, Pak. Masalahnya…”
Dengan runut dan pelan pemuda berparas ganteng itu menceritakan kesulitan yang harus dihadapinya kalau satpam itu tak segera membayar hutangnya. Dari kemarahan sang pemilik kios rokok itu karena tak adanya pemasukan, hingga ketiadaan uang untuk ia belanja lagi. Memutar kelangsungan kios rokok itu.
“Bagaimana mau ada pemasukan, kalau uang dari rokok dihutang, Bapak. Sementara keuntungan dari rokok kan itu tipiiis sekali,” ucapnya gemas dalam hati.
Satpam itu terdiam mendengar penuturan pemuda dihadapannya. Sebenarnya ia kasihan dengan nasib yang dialami pemuda itu. Bukannya ia tak mengerti akan permasalahan yang dihadapinya. Tapi kalau ia tak berhutang, maka ia tak bisa merokok. Karena seluruh penghasilannya sebagai satpam itu harus ia setorkan pada istrinya. Untuk kebutuhan anak-anaknya. Jadi ya terpaksa, jalan satu-satunya adalah berhutang. Meski ia harus menekan rasa malunya. Karena ia harus JJPD alias Janji-Janji Palsu Doang. Seperti para pejabat di atas sana, yang doyannya ber-JJPD.
“Ya udah ya, Mat. Entar juga saya bayar,” ucapnya enteng sambil berlalu dari warung reyot bahkan hampir roboh itu. Maklum sejak dua tahun kios rokok itu berdiri, sang pemiliknya sama sekali tak tergerak untuk memperbaiki kiosnya itu.
Sepeninggal satpam tersebut. Rahmat tercenung lama sekali. Memikirkan ulah para satpam itu.
Jumlah satpam di pabrik itu ada empat orang. Dan keempat-empatnya berhutang semua. Belum dibayar pula. Selain itu juga perlakuan mereka padanya amat sangat kurang menyenangkan. Bahkan ada juga yang jauh dari sopan.
Pernah seorang satpam yang berasal dari Batak, Pak Alek Sihombing namanya. Melemparkan kopi buatannya hingga gelasnya hancur, hanya karena ia salah membuatkan minuman. Satpam itu meminta dibuatkan kopi susu, namun ia buatkan kopi kental hitam. Ia berani melakukan itu karena Pak Heri, satpam yang berasal dari Sumedang mengusulkan hal itu padanya. Lalu ia turuti. Hasilnya, gelas itu hancur berkeping-keping. Dan itu artinya ia akan dimarahi oleh bosnya, juga harus mengganti gelas itu dengan menyunat gajinya yang tak seberapa itu hingga tumpul.
Ada lagi satpam yang berasal dari Makasar, Pak Ranupae namanya. Lelaki itu pernah memaksanya untuk melakukan perbuatan kaum Nabi Luth dengannya. Waktu itu Pak Ranupae sedang mabuk, lalu ia mendatangi kiosnya. Dan langsung menerkamnya dan berusaha menggumulinya. Tubuh kurusnya tak kuasa melawan tubuh gorilla lelaki itu.
Untung saja Allah masih sangat menyayanginya dengan segera mendatangkan pertolongan. Seorang karyawan yang akan bekerja shif 3, Galang namanya, memergoki perbuatan itu. Dan menghajar satpam itu hingga babak belur. Galang tidak terima melihat perlakuan tidak senonoh itu terjadi pada orang yang telah berbaik hati menghutanginya setiap hari. Walau buntut dari peristiwa itu Galang harus rela di keluarkan dari perusahaan tempat ia menggantungkan hidupnya selama ini.
Rahmat buru-buru menghapus air yang menggenangi matanya. Mengingat kejadian naas itu, ia selalu saja dihantui perasaan bersalah. Kalau saja Galang tidak melakukan pemukulan itu untuk menolongnya, mungkin pemuda itu tak akan dikeluarkan dari pekerjaannya.
Entah bagaimana nasib pemuda yang lembut hatinya itu sekarang. Semenjak peristiwa itu ia belum mengetahui kabar beritanya. Hanya doa yang bisa ia panjatkan kehadirat-Nya, agar Galang segera diberi pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Rahmat menghela nafasnya. Membuang sejumput galau yang menggayuti hatinya. Ia langsung bangkit dari duduknya, saat mendengar jeritan nyaring dari ponselnya. Ada panggilan masuk rupanya. Baru ia akan menjangkau ponsel miliknya, layar ponsel itu berkedip sebentar lalu mati. Low bet. Ia ingat belum men-charged poselnya itu karena aliran listrik ke kios itu di putus oleh pemilik warung nasi di sebelah kanannya berjualan.
♥♥♥
Rahmat berjalan dengan langkah gontai mendatangi pemilik warung makan itu, menanyakan alasan mengapa memutus aliran listrik. Padahal ia tak pernah telat membayar uang listrik itu setiap bulannya.
“Permisi, Mang Juned…” ucapnya mendekati lelaki paruh baya yang sedang menggepruk batu es di sudut warung makannya.
“Ada apa,” Tanya Mang Juned tak bersahabat. Melirik sebal kearahnya sebentar lalu kembali pada kegiatannya menggepruk batu-batu es.
“Kenapa aliran listrik ke saya diputus…” ucap Rahmat bersabar melihat tingkah orang yang sangat pantas menjadi bapaknya itu namun kelakuannya seperti anak kecil saja.
“Ya, jelas dong saya putus. Orang situ belum bayar listrik bulan ini,” jawabnya ketus.
“Loh, Mamang gimana sih, bukannya bayarnya nanti tanggal 28. Sekarangkan baru tanggal 22, Mang,”
“Ah, sekarang mah harus tanggal 20 bayarnya, itu paling lambat. Nggak tau apa, bayar listrik sekarang mahal,” ucapnya sambil mengetrok batu es itu hingga hancur.
Rahmat tersengat. Getokan pada batu es itu seolah mewakili getokan pada kepalanya. Darah mudanya berdesir hangat menjalari setiap pembuluh darahnya. Menggumpal memenuhi syaraf amarahnya.
“Tapi kan, Mamang tau sendiri kalau penggunaan listrik ke saya tak seberapa. Cuma tiga lampu, Mang. Trus saya juga nggak pake apa-apa. Radio saya udah pensiun karena rusak dari kemaren-kemaren. Paling-paling saya cuma ngecas HP, itu pun sehari cuma sekali,” ucapnya panjang lebar membela diri.
“Terserah. Saya nggak mau tau. Kalau kamu nggak bayar hari ini, ya nggak saya alirin…” ucapnya keras sekali. Hingga beberapa pengunjung warung makan itu melirik ke arah mereka. Mencuri dengar apa yang sebenarnya terjadi pada dua orang yang sedang bertikai itu.
Rahmat menundukkan wajahnya. Ia malu sekali. Karena beberapa orang dari pengunjung warung makan itu juga langganan belanja di kios rokoknya.
“Ya, udah atuh Mang. Saya ambil duitnya dulu,” ucap Rahmat mengalah. Ia memang sudah terbiasa mengalah untuk segala hal. Mungkin sudah menjadi suratan nasibnya. Mengalah dan mengalah. Pikirnya getir.
Padahal kalau pemutusan aliran listrik itu hanya karena hal sepele seperti itu, mengapa tak dikatakan saja. Tidak perlu pakai memutuskan aliran listrik segala. Toh, ia juga akan mengalah membayar listrik itu tanpa harus ada keributan seperti itu.
“Nah, begitu kan enak…” sambar Bi Ijah, istrinya Mang Juned judes. Berteriak lantang dari dapur, tempat dimana ia sedang sibuk memasak untuk keperluan warung nasinya itu.
Berbicara soal Bi Ijah, Rahmat juga masih menyimpan seribu dongkol pada wanita bermulut pedas itu. Ia yang selama ini rutin makan di tempat itu, tiba-tiba harus dihadapkan pada sejumlah bon yang harus dibayarnya. Tapi jumlahnya tidak sama dengan apa yang dicatat di buku bonnya.
Rahmat memang punya kebiasaan ngebon setiap makan di warung nasi itu. Dan setiap akhir bulan saat para karyawan pabrik melunasi hutang-hutangnya pada kios rokoknya. Ia juga akan membayar hutang makannya pada Bi Ijah. Dan ia tak pernah lupa untuk mencatat jumlah hutangnya setiap ia habis makan di warung itu.
Namun kejadian kemarin membuatnya harus menelan pil pahit kekecewaan. Ia harus membayar sejumlah uang di luar batas nominal pengeluarannya selama ini.
“Loh, Bi. Hutang saya gede amat. Setau saya, hutang saya cuma 40 ribu. Kok ini bisa jadi 70 ribu. Saya nggak ngerti,” ucapnya protes saat ia akan melunasi hutang makannya bulan kemarin.
“Yeuh, catatannya ada. Saya mah moal bakal bohong,” ucap Bi Ijah getas, penuh penekanan.
Rahmat menghela nafasnya. Berat. Entah mengapa wanita gendut dihadapannya ini selalu saja kasar, keras dan cerewet kalau berbicara. Semula ia pikir, wanita ini hanya padanya saja berprilaku tak menyenangkan seperti itu. Namun ternyata pada semua orang pun dia melakukannya.
Andai warung nasi lainnya tak sejauh itu letaknya dari pabrik. Ia yakin, dagangan wanita itu sudah tak laku. Karena sebagian karyawan yang belanja di kiosnya sering sekali mengeluhkan prilaku wanita bertubuh subur itu.
“Saya juga ada catatannya, Bi. Hutang saya tuh cuma 40 ribu doang…” ucap Rahmat berusaha meyakinkan wanita berwajah masam itu pelan. Berusaha menekan perasaan muak yang melingkupinya.
“Kamu tuh, kalau nggak mau bayar hutang bilang atuh. Nggak usah banyak alesan sagala,”
“Yang nggak mau bayar hutang siapa, Bi? Saya cuma bilang, kalau hutang saya cuma 40 ribu, itu aja. Naha jadi ngelantur kamana-mana,” jawab Rahmat emosi dengan logat Sundanya yang medok.
“Lagian kamunya juga sih. Udah jelas catetannya 70 ribu, kamu malah ngotot bilang 40 ribu. Gimana sih. Masih mending kamu boleh ngahutang disini. Di tempat laen mah moal aya anu daek ngahutangan,yeuh,” ucapnya ngotot hingga mulutnya berbusa-busa. Dan urat lehernya bertonjolan.
Rahmat terdiam. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Catatan siapa sebenarnya yang salah. Miliknya atau milik Bi Ijah. Tapi ia yakin, seyakin-yakinnya kalau hutangnya itu hanya 40 ribu rupiah, tak kurang dan tak lebih. Ia belum pikun. Dan ia juga sangat teliti mengenai hutang piutang itu. Tak sekali pun ia lupa untuk mencatat bon pembeliannya pada bon miliknya sendiri, yang ia simpan rapi di bawah kasur lepek yang ditidurinya.
Jadi bagaimana mungkin selisihnya sejauh itu. Kalau selisihnya sedikit sih ngga apa-apa, sangat manusiawi sekali. Tapi ini, benar-benar kelewatan. Batinnya kisruh.
“Rek dibayar moal. Malah bengong deui…” sungut Bi Ijah mengingatkannya dari lamunan.
Rahmat tersentak. Ia baru sadar kalau ia sedari tadi masih berdiri mematung di warung makan itu.
“Ya, udah, Bi. Nih, 40 ribu heula. Rahmat ambil yang tiga puluhnya dulu…” ucapnya akhirnya mengalah pasrah. Wajahnya sendu sambil melangkah meninggalkan warung nasi itu. Sementara itu Bi Ijah tersenyum penuh kemenangan. Berhasil mengelabui pemuda tanggung berwajah ganteng itu. Hatinya membuncah gembira.
♥♥♥
Rahmat menatap tetesan air hujan yang jatuh ke atas ember di hadapannya. Suara gemuruh hujan yang menderu di atas atap yang sudah lapuk itu berkolaborasi dengan suara kilat, guntur dan air yang berkelotak masuk keember. Seperti sebuah simfoni indah yang kerap menemani kesunyiannya dalam kesendirian. Hanya sesekali tikus-tikus got yang sangat besar dan menjijikkan melongok kesendiriannya.
Hatinya pilu. Air matanya berloncatan membasahi pipi mulusnya seolah berlomba dengan air hujan di luar sana. Ia sedih sekali. Menghadapi masalah demi masalah yang seolah-olah bertubi-tubi menghampiri. Belum selesai masalah yang satu muncul kembali masalah yang lain.
Bermula dari rusaknya radio butut yang kerap menemani dendang sunyi hatinya. Lalu charger-nya. Masalah dengan para satpam yang tak jua mau membayar hutang-hutangnya. Pemutusan aliran listrik. Teman baiknya yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri, telah pergi menjauhinya. Meski ia sadar itu akibat ulahnya sendiri, tapi ia kan sudah minta maaf. Tapi mengapa ia masih saja mengabaikan semua sms dan telpon darinya. Ia tak mengerti. Begitu besarkah dosa keisengannya itu?
Lalu seorang gadis dari pesantren putri yang tinggal di daerah sekitar situ juga yang terus menerus mengejar-ngejarnya. Mengharapkan ia menjadi kekasihnya. Itu pun atas kebodohannya sendiri yang telah bermain api dengan gadis itu.
Juga ulah para preman yang kerap mengambil dagangannya tanpa membayar sepeser pun. Mereka juga berjudi serta mabuk-mabukan di depan kiosnya hingga larut malam, hingga mengganggu aktifitas tidurnya. Yang seharusnya ia bisa tidur lebih awal, ini ia harus rela bergadang karena para preman itu melarangnya menutup kiosnya tersebut.
Belum lagi ingatannya harus dirampas paksa oleh bayang-bayang kehadiran Bapak-Ibunya, yang berusaha ia lukis dalam jagat ingatannya akan seraut wajah-wajah yang sama sekali belum pernah ia lihat dan ia kenal. Kecuali melalui rangkaian cerita Nini dan Aki yang sering mereka dongengkan untuk mengantarkannya ke alam mimpi. Di saat ia masih kecil.
“Akiii…Niniii…! Rahmat kangeeen…huhuuuu….” Teriaknya pilu sambil menahan gigil tangis yang merayapi hatinya.
“Ya, Rabb…mengapa Kau membiarkan aku hidup, kalau kepedihan, penderitaan dan nestapa selalu menemani hidupku. Aku tak kuat menanggungnya..ya, Allah…” ratapnya seraya memeluk bantal lepek, lusuh dan bau karena sudah beberapa hari belum ia cuci sarungnya. Karena ia terus berkubang dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Tiba-tiba ia tersentak saat ponselnya menjerit nyaring, tanda pesan pendek masuk. Empat pesan pendek memenuhi inbox-nya. Ia baca tulisan yang tertera di layar ponsel itu satu per satu.
“Jgn brsedih, adikku..krna Allah akn sllu brsamaMu. Jgn nangis, tar ga gnteng lagi loh hehe…qm jg msh pnya akang. Yg akn sllu ada utkmu, jk Rahmt mmbutuhkn bntuan akng, oke. Usbur ba’a…!”
Rahmat tersenyum membaca sms dari Kang Deni, seseorang yang telah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Ia selalu menghibur di saat ia bersedih. Dan selalu memberinya spirit. Kekuatan agar ia terus bertahan dalam menghadapi kehidupan ini.
“Ingat, adik kecilku. Allah sngat sayang pdmu hingga Ia mmberikan rentetan ujian padamu. Dan tak ada ujian yg diberikan-Nya, diluar batas kmampuanmu utk menanggungnya. Bkn qm aza yg pnya mslah tth juga punya kok hehe…! Jgn sedih lg ya, sayang…” Sms dari Teh Mutia. Rahmat tersenyum.
“Sabar ya, ustad Mansur hehe…nasibmu sama denganku. Bedanya, Rahmat kebocoran, kalo Nadia kebanjiran hehe…! Doaku sllu menyertaimu, saudaraku…” Sms dari Teh Nadia. Rahmat tertawa kecil.
“Anjar akn sllu mndoakan Kang Rahmat. Agr sllu tabah dlm mnghadpi berbagai ujian dari-Nya, amin…” Sms dari Dek Anjar. Hatinya membuncah gembira.
Ia terharu membaca sms-sms itu, hatinya semakin gerimis atas perhatian demi perhatian dari orang-orang yang telah menganggapnya saudara mereka sendiri. Meski mereka beda usia, beda kehidupan dan beda perjalanan hidupnya.
Namun yang pasti mereka semua menyayanginya. Dan itu adalah anugerah terindah yang diberikan Allah untuknya.
Air matanya terus berderai-derai membasahi pipi mulusnya. Menangisnya kini bukan karena beban kesedihan yang menghimpitnya. Tapi tangisan yang syarat akan kebahagiaan. Bahagia dipertemukan dengan orang-orang yang lembut hatinya.
“Terima kasih ya, Allah…Alhamdulillah…telah Kau pertemukan hamba dengan orang-orang yang baik hati dan perhatian sama Rahmat. Duh, indahnya ukhuwah dalam Islam itu. Dan akulah bukti yang merasakan keindahan persaudaraan dalam Islam itu…”
♥♥♥

1 komentar:

  1. mirip kehidupan saya loh, kang...makasih udah buat cerita seperti ini

    BalasHapus