Rabu, 23 Juni 2010

Cerpenku "PUING-PUING HATI MEWARNAI GAZA"



Pagi baru saja merekah. Angin utara pegunungan al-Jarmaq berhembus mengelus tanah-tanah sengketa Palestina.
Kesibukan baru saja dimulai di sebuah rumah mewah di kawasan itu.
“Ayah, Ibu…aku pamit! Aku akan pergi meninggalkan rumah ini” ucapku tegas dan lantang sambil meletakkan bawaanku.
“Apa maksudmu dengan meninggalkan rumah ini, David?” ibuku berseru kaget.
“Apakah kau mendapat tugas pertamamu sebagai seorang dokter?” ayahku tak kalah kaget.
Aku menghela nafasku dan menghembuskannya perlahan.
“Aku sudah muak tinggal di rumah mewah ini. Sementara itu, di luar sana banyak orang-orang Palestina yang kedinginan dan kelaparan. Di kamp-kamp pengungsian” ucapku dengan penuh penekanan.
“Apa urusan kita dengan semua itu. Itu memang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka memang tidak berhak untuk tinggal di bumi Kanaan ini. Ini tanah milik kita, tanah yang dijanjikan untuk kita” ucap ayah tak kalah sengit.
Aku tersengat mendengar perkataan itu. Rahangku mengeras. “Sadarkah Ayah dengan perkataan Ayah barusan? Ini tanah mereka Ayah. Kita yang telah merebut dan mengusir mereka dari tanah milik mereka sendiri. Lupakah Ayah bahwa kita hanyalah seorang pengungsi? Dan kitalah yang menumpang hidup di tanah mereka ini” ucapku berapi-api.
Yitzak Brehim terdiam. Ia sama sekali belum lupa. Masih lekat dalam ingatannya saat pertama kali ia bersama istri dan anaknya meninggalkan Eropa untuk memulai kehidupan baru di bumi tanah Palestina ini. Waktu itu tahun 1967. Israel mengalahkan Arab dalam peperangan selama enam hari dan Israel pun mencaplok Tepi Barat dan Jalur Gaza. Untuk dijadikan daerah kekuasaannya.
Dan menjelang pertengahan tahun tujuh puluhan, warga Palestina diusir secara paksa dari tanah mereka. Karena mereka bersikeras tidak mau menjual tanah-tanah yang mereka miliki pada Israel. Mereka merampas tanah-tanah warga Palestina dimulai dari Acre, Haifa, Yafa dan Beef Sheba hingga terus merangsek ke Jalur Gaza, Mughrabi, Jerusalem, Ramallah, Tepi Barat, Tel Aviv dan seterusnya.
Cara-cara keji pun mereka lakukan agar warga Palestina pergi dari tanah mereka. Dengan cara menghancurkan dan meluluhlantakkan pemukiman mereka dengan bom. Lalu merebut perkebunan-perkebunan mereka yang luas dan subur yang mereka tanami anggur, gandum dan tanaman-tanaman lainnya.
“Lalu kau akan pergi kemana, anakku?” wanita itu memecah hening ruangan. Sorot kekhawatiran nampak diwajahnya.
“Ke tempat dimana mereka membutuhkan pertolonganku , Bu”
“Untuk apa kau lakukan itu, David?”
“Untuk merasakan kerasnya hidup yang mereka rasakan dalam kesusahan dan kesengsaraan yang telah bangsa kita ciptakan. Juga menolong mereka yang membutuhkan bantuan medis, Bu” Jawabku tegas.
Yitzak Breim mendengus. “Konyol sekali apa yang akan kau lakukan itu, David. Kelakuanmu itu tak akan mengubah apa pun yang telah terjadi di bumi ini. Karena selamanya, tanah ini akan menjadi milik kita. Camkan itu. Seandainya mereka bersikap bijak, meninggalkan tanah ini secara sukarela, maka peperangan ini takkan terjadi” ucapnya dengan wajah pongah dan bengis.
Aku menatap lelaki itu dengan penuh kebencian. Darah Yahudi yang mengalir ditubuhku sama sekali tak membuatku bisa bengis seperti ayahku juga bangsaku yang menetap di Palestina ini. Aku tak sudi menjadi bagian dari mereka.
Tanah Palestina ini adalah tanah wakaf umat islam sejak masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang di dalamnya ada masjid Al-Aqsa. Masjid Al-Aqsa di Tepi Barat adalah kiblat pertama umat islam sebelum Masjidil Haram. Dan tak ada seorang pun di dunia islam rela Al-Aqsa diambil oleh pihak lain. Begitulah dulu Abu Hisyam, ayahnya Amru menceritakan itu kepadaku sewaktu aku masih kecil.
“Aku benci peperangan ini. Aku sudah muak dengan segala kebiadaban yang dilakukan bangsa kita ini pada mereka, Bu. Untuk itulah aku akan membantu mereka dengan seluruh kemampuan yang aku miliki” ujarku geram. Urat-urat dipelipisku berdenyut-denyut.
Wanita itu mendesah. “Tak ada satu orang pun yang tidak membenci peperangan, anakku. Peperangan hanya melahirkan kehancuran, kenistaan, kemelaratan, dan penderitaan. Perang hanya membuat orang kehilangan kaki, tangan, keluarga, rumah juga segala yang berbentuk materi juga menghancurkan mental. Tekanan demi tekanan yang menghimpit bisa menciptakan trauma berkepanjangan yang membuat mereka diambang kegilaan. Banyak wanita yang putus asa karena kehilangan kerhormatannya. Dan anak-anak kehilangan masa depannya. Dengan dampak sebesar itu siapa yang menginginkan peperangan, Nak” ucap wanita itu sendu.
Ibu ternyata masih ingat sejarah kelam yang diceritakan oleh kakeknya, pada Perang Dunia II saat tentara Jerman melancarkan aksi pembunuhan besar-besaran pada kaum Yahudi yang dikenal sebagai Holocaust.
Aku tersedu. “Lantas mengapa perang ini terus berlangsung, Bu. Bila telah nyata akibat apa yang ditimbulkannya. Mengapa kita kaum Yahudi tak bercermin pada sejarah kelam itu”
“Karena kita mempertahankan tanah milik kita bodoh” serobot lelaki itu dengan wajah memerah. “Kau orang Yahudi tapi mengapa pemikiranmu lemah dan dangkal seperti orang-orang tolol Palestina itu. Ah, mungkin karena selama ini kau terus-terusan bergaul dengan ank-anak si Hisyam itu. Sehingga kau termakan bualan mereka dan kau pun menjadi lemah dan dungu seperti mereka”
Aku semakin tergugu saat mendengar lelaki itu menghina keluarga sahabatku, Amru Abdulah putra dari Hisyam Abdulah.
Awal saat kami bermukim di Palestina ini dan saat itu Israel belum berbuat biadab seperti saat ini. Keluargaku dan keluarga Amru hidup dengan rukun dan berdampingan. Aku sering diajak ke ladang paman Hisyam, bersama Amru. Untuk bermain-main diladang-ladang gandum yang subur milik mereka. Kami juga selalu bersama-sama pergi ke sekolah. Juga bermain-main di gerbang Jaffa.
Persahabatan kami begitu tulus meski kami sadar bahwa kami berbeda keyakinan. Namun hubungan kami begitu erat, tak surut oleh perbedaan itu. Bahkan kami seperti saudara kandung.
Namun sejak Abu Hisyam, istrinya juga adik-adik Amru, Akmal dan Kamal dibunuh tentara Israel. Aku tak pernah bertemu lagi dengan sahabatku itu. Ia diselamatkan oleh Abu Hanim, pamannya. Entah dibawa kemana. Dan sejak saat itu aku belum pernah berjumpa dengannya lagi.
“Sudahlah, David. Kau tidak usah repot-repot memikirkan penderitaan mereka, akibat kebodohan mereka sendiri. Sekarang kita nikmati saja kemegahan hidup di tanah milik kita ini” Lelaki itu menyeringai penuh kepuasan.
“Harus berapa kali kukatakan Ayah, bahwa ini adalah tanah milik mereka. Dan kitalah yang telah merampasnya dengan paksa dari mereka” lengkingku geram.
Plak! Plak! Tamparan keras lelaki itu mendarat di wajahku. Aku terjengkang. Darah merembes dari bibirku. Asin tersentuh lidahku.
“Lancang sekali mulutmu…!” teriaknya murka dengan suara membahana. Otot-otot pelipisnya bertonjolan.
“Hentikan, Yitzak! Apa yang telah kau lakukan pada putra kita” Ibu berteriak histeris seraya memburuku. Ia marah sekali. Melihat perlakuan ayah padaku.
“Dia bukan putra kita lagi, Sidva. Seorang Yahudi sejati tidak akan mengolok-olok bangsanya sendiri dengan perkataan-perkataan keji seperti itu. Dia telah menjadi duri dalam daging di dalam bangsanya sendiri” ucap lelaki itu meluap-luap.
Aku bangkit dibantu ibuku. “Aku juga tak sudi menjadi bagian dari bangsa yang haus darah akan milik orang lain, hingga mampu mengorbankan nyawa-nyawa manusia yang tak bersalah. Kekejaman itu terjadi di depan mata kita, namun kita hanya menjadi penonton saja. Terlebih dengan apa yang diberitakan CNN, BBC, Fox dan The New York hanya memutarbalikan fakta saja. Kita tau betapa pembohongnya mereka itu. Dan aku sudah muak dengan semua ini…” cerocosku meluap-luap. Aku lelah.
Lalu aku menyambar ranselku dan bergegas meninggalkan rumah mewah yang dibangun di atas tanah rampasan itu.
♥♥♥
Aku sedang mengangkat serpihan-serpihan bom di kaki seorang ibu, tanpa anestesi. Malam tadi dalam kabut udara dingin, dentuman rudal membelah langit kota Gaza. Memburaikan jasad-jasad tak berdosa hingga menyerpih. Menghancurkan bangunan-bangunan hingga tak berpuing. Dan meninggalkan asap legam membumbung. Serta bau mesiu menyatu dengan anyir darah.
Setelah membersihkan luka-luka wanita yang malang itu, aku menatap seorang anak yang penuh darah terbaring di dipan. Ia baru saja menghembuskan nafasnya. Dan ia pasien yang kesepuluh yang meninggal pagi itu.
Setiap hari belasan pasien meninggal dalam rumah sakit ini. Sejak Israel membombardir Jalur Gaza. Obat semakin langka karena kurangnya fasilitas. Israel memblokade jalan-jalan utama sehingga bantuan obat-obatan dari luar terhambat.
Seandainya ketiadaan obat-obatan ini bisa terpenuhi, pasien-pasien itu bisa diselamatkan. Sehingga aku tidak terus menerus menyaksikan kematian demi kematian terjadi dihadapanku. Hingga aku diambang keputusasaan.
“Aku muak dengan peperangan ini, Yassir. Seharusnya peperangan ini tidak pernah ada. Sehingga orang-orang ini tak akan pernah menjadi korban” keluhku pada rekanku, Yassir.
“Aku rasa bukan kau saja yang sudah muak dengan peperangan ini, David. Tapi kami semua orang di Palestina ini juga sudah muak dengan peperangan. Terlebih kami yang harus teraniaya di negeri kami sendiri. Kami juga ingin bebas dari semua kebiadaban ini dan hidup damai” tukasnya sambil memasang infusan dan memberikan suntikan efinefrin pada pria yang terbaring di lantai. Sindiran itu telak mengenaiku.
Aku segera bersandar ke dinding saat guncangan besar terasa melanda ruangan itu. Akibat rudal yang dilontarkan serdadu-serdadu Israel.
Dokter dan perawat terus hilir mudik dengan kesibukannya masing-masing. Semua tampak kelelahan. Maklum dalam keadaan seperti ini tak ada waktu lagi bagi kami untuk memikirkan nikmatnya tidur. Bahkan makanan yang kami makan pun benar-benar alakadarnya. Suplai makanan semakin menipis.
Bahkan ada juga dokter dan perawat yang gugur saat bertugas ke luar Rumah Sakit. Saat memberikan pertolongan pada orang-orang yang terjebak di reruntuhan Gaza.
“Lalu mengapa kau masih disini, David? Mengapa kau tidak pergi saja ke luar dari negeri ini. Bukankah kau bisa pergi kemana saja kau suka. Israel akan memudahkan semua urusanmu untuk hengkang dari sini, bukan?” ucap Yassir sengit.
Aku terhenyak mendengar perkataan Yassir. Namun aku tak bisa menyalahkannya. Kegetiran hiduplah yang telah memaksanya berbicara demikian.
“Aku tidak bisa, Yassir. Aku tidak bisa meninggalkan peperangan ini juga negeri ini. Banyak yang membutuhkan pertolonganku. Aku ingin membayar setiap tetes darah yang telah dikeluarkan bangsa Palestina akibat ulah kekejaman bangsaku. Aku akan membayarnya meski aku harus mati karenanya” tekadku bulat dan kuucapkan kata-kata itu dengan suara serak. Bulir-bulir bening menggenangi wajahku yang kusam, telah beberapa hari ini aku tak menemukan air meski hanya untuk membasuhnya. Dan siapa yang perduli.
“Maafkan aku, David…” Yassir menyentuh bahuku. “Aku tau kau berbeda dengan mereka” ucapnya menentramkan perasaanku. Aku merasa diterima. Lalu kami pun melanjutkan pekerjaan kami menangani gelombang pasien yang dipapah ke rumah sakit ini, terus datang silih berganti.
♥♥♥
Sore itu aku melihat seorang pemuda sebayaku dibawa di atas usungan, lalu di letakkan dilantai begitu saja. Banyaknya korban luka-luka yang dibawa ke rumah sakit, sehingga tak ada lagi tempat yang tersisa kecuali di lantai.
Perlahan aku dekati pemuda itu. Ia meringis menahan sakit akibat luka-luka dikakinya. Sebagian wajah pemuda itu tertutup lelehan darah akibat luka parah dikeningnya.
Perlahan kubersihkan luka-luka diwajah pemuda itu dengan cairan antiseptik. Aku terperanjat saat mata pemuda itu bersirobok dengan mataku. Tanganku bergetar. Mata dengan sorot tajam dinaungi alis yang lebat itu adalah mata seorang sahabat yang selama ini selalu kurindukan kehadirannya. Sepasang mata itu milik Amru Abdulah.
“Am…Amru…” susah payah kusebut namanya. Aku tak percaya kalau aku bisa bertemu dengannya lagi. Dalam situasi seperti ini.
Ia juga terkejut. Namun, mulutnya terkatup rapat. Sorot matanya penuh dengan kebencian. Tak kutemukan lagi wajah persahabatan disana.
“Jangan kau sentuh kulitku dengan tangan najismu itu” ucapnya keras seraya menepis tanganku dengan kasar.
Aku terperanjat. Tubuhku terjajar ke belakang. Aku tak percaya kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang sahabat yang selalu kurindukan. Ia telah berubah. Kedasyatan perang telah merubahnya. Menjadi sosok yang keras.
“Mengapa kau menyakitiku dengan ucapanmu itu, Amru. Apakah kau sudah melupakan persahabatan kita?” ucapku mengais harapan yang mungkin saja masih tersisa.
Amru meludah. “Aku hanya menyakitimu dengan perkataanku. Tapi kau dan bangsamu yang rakus kekuasaan itu telah menyakiti jiwa dan ragaku. Sehingga aku harus terusir dari tempat tinggalku sendiri, kehilangan keluargaku, terlunta-lunta dan menjadi gembel di negeriku sendiri” ucapnya getir. Sorot matanya terluka.
Dua bulir bening menggenangi mataku. Ternyata sakit yang kurasakan memang belum seberapa dibandingkan dengan segala sakit dan penderitaan yang dialami Amru.
“Kau tak usah mengeluarkan air mata buayamu itu. Karena itu tak akan mengubah apa pun yang telah terjadi dan sedang berlangsung ini. Kau hanya bisa mengeluarkan air mata saja, sedangkan aku sudah tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Karena air mata itu telah menjadi tetesan darah”
Aku semakin tergugu mendengar ucapannya yang tajam dan menusuk. Kekejaman perang telah merampas kelembutan yang dimilikinya. Benar-benar sudah tak bersisakah persahabatan itu?
“Aku juga tak pernah menghendaki peperangan ini terjadi, Amru” ucapku tersendat. “Aku juga benci dan muak dengan peperangan ini. Kalau pun harus ada yang menderita atas peperangan ini seharusnya orang-orang di atas, bukan warga sipil. Seandainya aku punya kuasa, aku juga ingin menghentikan peperangan konyol ini”
“Bukan hanya konyol, tapi ini biadab dan diluar ambang batas kemanusiaan…” ucap Amru penuh tekanan dengan sorot mata berkilat-kilat. Menohokku.
Aku terpekur. Harus dengan cara apakah aku bisa mengembalikan persahabatan itu kembali. Tidak tahukah ia, bahwa aku sangat merindukannya. Ingin aku memeluknya. Untuk meleburkan segala penderitaan yang dialaminya. Agar aku juga bisa memikul semua yang dideritanya.
“Maafkan aku, Amru. Maafkan atas segala kekejaman yang telah diperbuat bangsaku” ucapku serak, sepenuh hatiku.
Amru memalingkan wajahnya. “Maafmu tak akan mengubah apapun”
“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kau mau memaafkan aku, Amru” teriakku emosi. Tenggorokanku sakit. Tidak tahukah ia bahwa aku juga menderita akibat peperangan ini. Terutama jiwaku. Aku juga lelah dan putus asa.
Amru tersentak. Lalu ia menatap ke arahku, namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun.
“Aku juga menderita atas peperangan ini. Hampir setiap hari aku menolong orang-orang di rumah sakit ini. Belasan, puluhan bahkan ratusan. Datang dan pergi silih berganti. Dan banyak yang tak bisa kuselamatkan. Mereka satu persatu mati dihadapanku. Hingga aku merasa kehadiranku sebagai seorang dokter tidak berguna sama sekali. Padahal kuselamatkan jiwa-jiwa mereka agar aku terbebas dari rasa bersalah yang menghimpitku akibat peperangan yang ditimbulkan oleh bangsaku ini. Aku juga tak berdaya…aku juga menderita…memikul rasa bersalah ini…” aku tersengal-sengal, terbawa emosi oleh perkataanku yang syarat akan kepedihan.
“Aku mengatakan semua ini padamu, bukan berarti aku membenarkan perbuatan mereka. Tidak, sama sekali tidak. Bahkan hampir setiap detik dalam kehidupanku, aku mengutuk perbuatan biadab yang mereka lakukan. Lalu aku harus bagaimana, Amru? Aku rela mati ditanganmu, kalau itu bisa menebus semua kesalahan yang diperbuat bangsaku. Jadi tolonglah, maafkan aku…” ucapku tersedu-sedu. Wajahku basah oleh air mata.
“Apakah maafku itu penting bagimu?” tanyanya pelan. Setelah kebisuan melanda kami. Hanya dentuman bom diluar sana terdengar memekakkan telinga. Dan meninggalkan getaran pada lantai yang bergelombang.
Aku tersentak. Kutatap matanya. Sekilas masih kulihat pendar harapan disana. Harapan dari maaf yang aku butuhkan.
“Sangat penting. Dan itu sangat berharga bagiku. Aku tak perduli meski seluruh dunia mengutukku, asal kau jangan membenciku. Dan kau mau memaafkanku dan menjadikanku sebagai sahabatmu kembali” ucapku tegas dan penuh harap.
Ia terdiam sesaat lamanya. Lalu ia menghela nafasnya. “Aku sudah memaafkanmu, sebelum kau memintanya padaku, David…” ucapnya seraya menyebut namaku. Senyum dari wajah tampan Amru melingkupiku. Berpendar memenuhi dadaku.
Air mataku berloncatan membasahi wajahku. Aku menangis dan terus menangis. Tubuhku tersungkur. Aku bahagia. Ucapannya itu lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Perlahan kurasakan tangan kokoh itu merengkuhku dan membawaku dalam pelukannya yang hangat, penuh rasa sayang dan persahabatan.
“Aku…aku malu. Sangat malu padamu, Amru. Malu pada perbuatan biadab bangsaku…” ucapku seraya mengeratkan pelukanku.
“Kau tidak salah, David. Kau tetap sahabatku. Dan kita akan tetap bersahabat, hingga ajal menjemput. Dan meski perang ini telah merobek-robek kenangan indah persahabatan kita. Aku tak menyalahkanmu. Maafkan ucapan kasarku, ya…” bisiknya sambil mengeratkan pelukannya, seolah akan menyatukan degup jantung kami dalam irama yang sama.
“Sepanjang masih ada yang memerangi dan menganiaya kami, tak ada jalan lain untuk menghadapinya selain dengan perang. Perang memang kadang-kadang tak bisa dihindari. Tapi yang paling penting, jangan sampai ada perang dihati kita ya…” ucapnya bijaksana.
Aku terharu mendengar ucapannya itu. Kehampaan yang selama ini mengikatku, perlahan namun pasti simpul-simpul itu terlepas. Dan membebaskanku dari kungkungan rasa bersalah yang selama ini membelengguku.
Sementara itu di luar sana tank-tank lapis baja dan tentara-tentara menyandang senapan AK 47 berjaga ketat. Dentuman bom dan rudal yang dilakukan serdadu-serdadu Israel dengan pongah masih terus terdengar. Membelah pekatnya malam di Jalur Gaza. Sepetak wilayah yang selalu dipenuhi jelaga hitam asap mesiu serta kepulan debu. Bumi tempat ribuan nyawa telah mengusung leleran darah dan air mata. Bumi para syuhada. Dan memetakannya sebagai sebidang tanah tempat kebiadaban sejarah umat manusia yang terus berlangsung entah sampai kapan.
♥♥♥
*Paragraph 21 minjem kata-kata milik penulis yang saya kagumi, Mbak Sinta Yudisia dari cerpen Cadas-cadas Kebencian*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar