“Udh sampe mana, Kang? Gigih udh nympe CL nih…”
Sederet sms yang Gigih kirim menyambangi inbox ponselku saat aku masih berjibaku dengan kemacetan di jalur yang menuju Grogol berlawanan arah dengan Puri Kedoya. Hujan yang mula-mula hanya gerimis tak lama kemudian langsung mengguyur deras, seolah ditumpahkan begitu saja dari kemahaluasan langit.
Beberapa penumpang mulai berdesas desus lirih saat kemacetan di jalan sempit namun dipakai dua jalur itu semakin parah. Tersendat dan maju hanya selangkah dua saja.
“Kenapa lewat jalan sini sih?”
Seorang bapak gagah berumur empat puluh tahun disebelahku bertanya lirih kepadaku. Aroma cologne-nya lumayan menyengat. Ia heran kenapa mobil merah itu tak memakai rute seperti biasanya. Bukan memasuki tol Kebun jeruk tapi malah keluar jalur melewati depan Universitas Indonesia Esa Unggul.
“Supaya nggak bayar tol kali” jawabku asal dan berkesan bodoh sambil melirik bapak itu. Tanganku sedang asyik bermain dengan keypad ponselku, membalas sms dari Gigih.
Bapak dengan rambut yang sudah ditumbuhi beberapa helai uban itu tertawa tertahan. “Kan udah bayar tol tadi, mau bayar di tol mana lagi…”
Iya juga ya, oon amat gue, bisik hatiku geli.
“Supaya nggak macet aja sih. Biasanya kan rute sini lumayan lengang. Taunya malah tambah macet” jawab seorang ibu subur disebelah bapak tadi mewakiliku yang masih sibuk dengan ponselku.
Mobil merah yang kutumpangi itu semakin tersendat. Resah dan gelisah mulai menjalariku. Menciptakan hawa panas ditubuhku meningkat. Aku kegerahan. Iseng kubuka jendela mobil sedikit, namun langsung kututup lagi karena titik-titik hujan langsung menyerbu masuk.
“Gigih nunggu di Gramed aja ya…! Sebentar lagi ane juga nyampe” Sms balasan itu kukirim saat ia kembali menayakan keberadaanku. Sementara itu mobil merah itu telah memasuki kawasan Mall Taman Anggrek.
Saat mobil itu berhenti di halte Citra Land, hujan masih mengguyur dengan lebatnya. Dimana-mana payung terkembang. Beberapa pengojek payung menawariku. Cepat aku menggeleng. Lalu aku pun melesat menerobos lebatnya hujan juga jalanan yang digenangi air. Tubuhku lumayan kuyup saat aku sampai dipelataran Mall Ciputra.
Dengan tubuh yang lumayan kuyup, aku pun melangkah memasuki mall itu. Dingin dari pendingin ruangan mall langsung menyergapku. Dan langsung menjalari tubuhku.
Setelah bertemu dengan Gigih aku langsung mengajaknya menuju food court, makan. Dengan suasana dingin seperti itu mengisi perut dengan semangkuk mie pangsit dan ditemani segelas teh hangat rasanya pasti enak sekali.
Setelah sholat Dzuhur aku dan Gigih langsung menerobos gerimis menuju halte Jelambar menuju Gelora Bung Karno Senayan untuk mengunjungi Islamic Book Fair. Dan kami harus rela bergelantungan, berdesakan dan terkumpal-kampil di dalam bus way. Bisa duduk dengan nyaman setelah bus way transit di Harmoni lalu berganti bus way lain yang kosong. Namun saat bus way berhenti di Sarinah seorang ibu dengan anak lelakinya masuk. Ekor mataku melihat stiker yang berbunyi kurang lebih begini “Dahulukan lansia, penyandang cacat, wanita hamil dan wanita”. Iseng kutawari ibu dan anaknya itu.
“Nggak usah, Nak. Terima kasih…” tolak ibu itu halus sambil tersenyum. Sementara itu suara opereter bus way terus menerus berbunyi di setiap pemberhentian dengan “Next stop bla…bla…bla…ceks your belonging bla…bla…bla…”
Tiba-tiba suara Sherina dengan Jalan Cinta-nya menjerit-jerit dai ponselku. Panggilan masuk dari Teh Alit.
@@@
Saat sampai di gedung pameran buku, pernak-pernik dan hiasan-hiasan warna-warni stand-stand langsung menyambutku. Setiap stand bertuliskan nama penerbit bukunya. Tulisan-tulisan itu terbuat dari Styrofoam yang telah diwarnai.
Aroma buku-buku baru itu langsung meraup memenuhi pernafasanku. Dan membuatku langsung bergairah. Untuk segera menjamahnya.
Aku dan Gigih langsung berpisah. Gigih mencari VCD nasyid dan film perjuangan Palestina dan Afganistan, sementara itu aku langsung menuju stand demi stand untuk berburu buku murah. Menuntaskan hasrat beli buku yang membuncah didada.
Kepalaku langsung pening saat menerobos orang-orang yang berduyun-duyun memenuhi lorong-lorong pameran. Bukan pening karena banyaknya pengunjung tapi karena melihat banyaknya bandrol buku yang bergelantungan dengan harga yang bervariasi. Dimulai dari harga lima ribu untuk satu buku, sepuluh ribu untuk tiga buku hingga yang ratusan ribu pun ada. Bertebaran dimana-mana. Belum lagi diskonnya gila-gilaan. Ada diskon yang delapan puluh persen. Bagaimana kepalaku tidak pening coba.
Baru lima belas menit aku menjelajahi stand demi stand, plastik demi plastik sudah menggelantung ditanganku. Dan aku mulai dibuat kerepotan menentengnya.
Aku yang setiap membeli buku di toko buku harus membaca sinopsisnya terlebih dahulu, kali ini aku mengesampingkan kebiasaanku itu. Aku langsung menyambar buku demi buku yang menurutku bagus lalu menuju kasir. Lalu bergerak lagi menyusuri gang demi gang, stand demi stand tanpa kenal lelah dan seperti orang kesurupan. Bukan kesurupan setan jahat, tapi setan buku hehe. Terus saja begitu.
Aku benar-benar berhenti setelah kelelahan mengelilingi semua stand di pameran buku itu. Juga saat sayup-sayup kudengar suara adzan Ashar berkumandang. Dan membuat aku yang kesurupan setan buku itu tersadarkan.
Gigih hanya nyengir melihat aku yang sudah duduk kelelahan di atas tribun dikelilingi plastik demi plastik berisi buku yang bertumpuk disebelahku.
“Habis berapa, Kang?” Tanya Gigih sambil menyerahkan sebotol minuman segar kepadaku.
Aku nyengir. Dan menyebutkan nominal yang telah kuhabiskan untuk buku-buku itu.
Gigih hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar penjelasanku itu. “Sebenarnya Kang Dey sama Gigih itu punya kesamaan loh, Kang” ucapnya mengerling jenaka.
“Iya sama-sama manusia kan” tebakku asal sambil menyelonjorkan kakiku yang pegal bukan main. Sementara itu mataku berkeliling menatap orang-orang yang sedang duduk di tribun untuk melepas lelah. Ada yang sedang mengobrol, membaca buku, mengemil makanan ringan juga ada yang sedang membongkar hasil berburu bukunya.
“Bukan itu, Kang. Tapi sama-sama gila belanja. Kang Dey gila, kalo udah liat buku, kalo Gigih…”
“Gila kalo udah liat kaset dan VCD perjuangan Palestina dan Afganistan” serobotku terkikik geli.
“Ashar yuk, Kang!” ajak Gigih setelah kepenatan kami hilang tertelan obrolan iseng itu.
Aku mengiyakan ajakannya. “Masih punya duit nggak, Dek? Ane mau pinjem…” ucapku sambil menyelip diantara hilir mudiknya pengunjung pameran.
“Ada. Tapi nggak banyak”
“Abis Ashar ane masih pengen beli buku lagi. Duit ane tinggal buat ongkos nih…”
Gigih terbelalak. “Mau beli lagi?” Aku mengangguk.
“Gigih juga mau nyari VCD Palestina lagi, jadi gigih cuma bisa minjemin Kang Dey…” Ia menyebutkan sejumlah uang yang bisa ia pinjamkan padaku. Meski terlalu sedikit jumlah yang ia sebutkan itu tapi aku menyetujuinya. Dari pada aku gegetun seumur-umur karena pulang dengan tidak membeli buku yang aku inginkan.
Aku terbeliak saat sampai di tempat wudhu. Antriannya nauzubilah panjangnya. Mengalahkan antriannya Ponari. Seorang dukun cilik dari Jombang yang dianggap sakti karena mendapatkan batu saat ia pulang sekolah hujan-hujanan. Dan konon katanya batu itu sangat bertuah bisa mengobati berbagai macam penyakit. Begitulah yang diberitakan dengan marak dan gencar oleh media masa maupun elektronik belakangan ini.
Setelah lima belas menit berkutat dengan antrian wudhu yang maju selangkah demi selangkah itu. Aku pun bisa bernafas lega bisa berwudhu dan bebas dari antrian itu. Namun kembali aku terbeliak saat dihadapkan pada antrian sholat yang tak kalah panjang dari wudhu tadi.
“Panjang banget, Dek. Keburu abis ini mah asharnya” gerutuku sambil ikut-ikutan mengantri. Dan membetulkan letak tasku yang melorot terus karena beratnya beban yang aku bawa.
“Sabar, Kang. Anggap aja kita lagi mabit di Mina hehe…” gurau Gigih konyol.
@@@
Sabtu, 28 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar