Kamis, 05 April 2012

KKAEJIN MAEMEURO "PATAH HATI"

Aku dan Choi Jin Wook duduk di atas tribun deretan paling atas di gedung Istora Gelora Bung Karno. Duduk santai di kursi berwarna biru yang berjajar rapi. Berhadapan langsung dengan panggung utama.
Satu dua orang bertebaran di kursi-kursi itu dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang membaca buku, ada yang menatap panggung utama, ada yang sedang makan camilan. Ada yang duduk melamun dangan tatapan kosong jauh ke depan. Ada pula yang sedang asyik mengupil.
Aku menatap hilir mudik pengunjung pameran book fair di bawah sana. Lalu beralih menatap panggung utama. Seorang penulis novel terkenal sedang mengadakan bedah buku. Dikerumuni oleh para penggemarnya. Takjim mendengarkan penuturan sang novelis. Tentang ide cerita novel yang telah dia buat.
”Eotteohkaji, Kang Dey? (Apa yang harus aku lakukan, Kang Dey)”
Jin Wook memutus pengembaraan mataku. Aku beralih menatap mata kecil dengan kelopak mata tunggal itu. Mata itu terlihat muram.
Ia baru saja putus dengan pacarnya. Dan ia masih belum bisa menerima kenyataan. Akan kandasnya hubungan percintaannya.
”Keumanhae (Sudahlah). Lupakan saja dia. Dunia ini kan tidak selebar daun talas, Jin Wook”
”Tapi dia itu cinta pertamaku, Kang. Sulit melupakan dia begitu saja. Aku juga ingin melupakannya. Tapi aku tidak bisa. Andweyo, Kang Dey (Tidak bisa, Kang Dey)”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan wajah nelangsa.
”Bukan tidak bisa, Jin Wook. Tapi belum. Dengan berlalunya waktu, aku yakin. Kamu akan bisa melupakannya”
”Algo ittneundeyo. Eojol su ebseoyo (Aku tahu sih. Tapi, tidak ada cara lain). Untuk saat ini aku masih belum bisa melupakannya”
Choi Jin Wook tertunduk. Kedua tangannya meremas-remas rambut gondrongnya. Terlihat frustasi sekali.
Aku mengenal cowok Korea ini secara tak sengaja.
Setahun yang lalu, aku hendak ke book fair. Saat busway transit di Harmoni. Aku bergabung dengan antrian panjang ke arah Senayan.
Tiba-tiba saja seseorang dibelakangku mendorong tubuhku hingga aku nyaris terjerembab jatuh. Untung saja, seorang Bapak di depanku sigap menahan tubuh olengku.
”Aissshhh, cinca!”
Aku mendesis. Tanpa sadar aku menggunakan kosa kata bahasa Korea. Kata-kata itu sering digunakan dalam drama Korea yang aku tonton. Saat orang sedang kesal karena suatu hal.
”Mianhae. Mianatahaeyo (Maaf. Maafkan saya)”
Aku menoleh. Melihat seorang cowok seusia denganku. Memiliki wajah menyanjung dengan tulang pipi tinggi atau persegi dan mata kecil dengan kelopak mata tunggal. Tipikal orang Korea.
Berulangkali menundukkan kepalanya. Meminta maaf padaku.
Ia tak sengaja. Ada dorongan kuat dari arah belakangnya sehingga dia merangsek ke arahku. Dan aku pun terdorong.
Ia menjelaskan. Wajahnya penuh penyesalan.
”Gwaenchanayo. (Ya, sudah. Tak apa-apa)”
Aku beranikan diri menggunakan bahasa Koreaku yang belum fasih. Setelah yakin bahwa cowok itu orang Korea. Lumayan, bisa mempraktekkan bahasa yang aku gemari itu. Meskipun badanku jadi panas dingin karenanya.
Selama ini aku ingin sekali mempraktekkannya, tapi tak ada lawan untuk kuajak bicara. Jadi seringnya berbicara sendirian seperti orang gila.
”Wa, neoneun hanggugeoreul malhal su itgunyo? (Kamu bisa berbahasa Korea rupanya)”
Ia terlihat girang.
”Ne, geurojiman geureoke jal haji mothaesseoyo (Bisa, tapi nggak terlalu fasih menggunakannya)”
Dan kami pun berkenalan.
Namanya Choi Jin Wook. Ia orang Korea yang sudah lama menetap di Indonesia.
”Kang Dey...”
Panggilan itu menyadarkanku yang tenggelam dalam arus lamunan. Mengingat awal kami berkenalan.
Aku tersenyum. Menutupi malu karena ketahuan sedang melamun.
”Mian (Maaf) Museun irindeyo? (Ada apa?) Malhae bwayo (Katakan saja)”
”Eotteohkaji? (Apa yang harus aku lakukan?)”
Ini kedua kalinya ia mengatakan kata-kata itu dengan wajah memelas. Tak bergairah. Seolah hidup segan, mati pun tak mau.
Aku menghela nafas perlahan.
”Saat kamu memutuskan untuk jatuh cinta pada seseorang. Seharusnya sejak awal kamu harus sudah siap dengan resiko yang akan kamu tanggung. Salah satunya yaitu putus cinta. Dengan mengetahui resiko apa saja yang akan kamu hadapi kelak. Kamu pasti tidak akan terlalu sakit hati apalagi sampai frustasi seperti sekarang ini. Hanya karena dia memutuskanmu dan pergi meninggalkanmu”
”Keuraeso, naega calmothaeso? (Jadi, aku yang salah?)”
”Aku tidak menyalahkanmu, Jin Wook. Aku hanya mengatakan bahwa dalam hidup ini. Apa pun yang kita lakukan pasti ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Apapun itu. Jadi, saat kamu memutuskan berpacaran, kamu harus siap dengan resiko putus. Saat kamu memutuskan sendiri, tanpa pasangan, kamu juga harus siap dengan ucapan orang lain pada kamu. Misalnya dibilang tidak laku. Atau jomblo karatan. Atau bujang lapuk. Dan lain sebagainya. Itu maksud dari ucapanku”
”Nan ihae haesseo (Aku sudah mengerti)”
Choi jin Wook menjawab lirih. Nyaris seperti bisikan.
Kita memang tidak bisa menganggap putus cinta itu hal yang sepele. Bagaimana bisa disebut sepele, kalau gara-gara putus cinta ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Berita itu begitu marak menghiasi pemberitaan di televisi akhir-akhir ini.
Dan melihat kondisi sahabatku ini. Aku jadi khawatir. Khawatir dia melakukan hal-hal gila. Dan diluar dugaan.
”Apa yang membuat kalian putus?”
Aku mulai mengorek keterangan darinya.
“Dia jatuh cinta pada orang lain”
“Mengapa dia jatuh cinta pada orang lain?”
“Mungkin karena aku dinilai tidak pantas berdampingan dengannya”
“Kalau itu alasannya. Mengapa tidak dari awal saja”
”Mungkin, dia hanya ingin coba-coba saja denganku”
”Kata lainnya adalah mempermainkanmu, begitu?”
”Geureon geot gathayo (Sepertinya begitu)”
”Kamu yakin dengan hal itu?”
”Aku juga tidak yakin, Kang”
” Keuttae (Lalu?)”
“Mungkin dia bosan padaku, Kang”
“Jawabanmu selalu mungkin dan mungkin. Itu artinya sesuatu yang belum pasti. Hanya praduga semata. Mengapa kamu tak bertanya langsung padanya. Kenapa kau putuskan aku? Begitu…”
“Aku sudah menayakannya, Kang. Dia bilang, kita sudah tidak ada kecocokan lagi”
“Apakah kamu merasakan hal itu. Bahwa benar diantara kalian sudah tak ada kecocokan lagi?”
“Aku merasa, kami baik-baik saja. Kalau tidak ada kecocokan, buat apa selama ini kami merajut kisah bersama. Mengapa baru sekarang dia mengatakan soal ketidakcocokan itu? Mengapa tidak dari awal saja. Supaya aku tidak berdarah-darah seperti ini karena ditinggalkannya”
“Kalau menurutku, itu hanya alasannya saja. Alasan supaya hubungan diantara kalian berakhir. Pada dasarnya, dia memutuskan hubungan denganmu, karena dia sudah bosan denganmu. Itu saja...”
Aku mengelus bahu Jin Wook. Menyalurkan kekuatan kepadanya. Dan melanjutkan kata-kataku.
”Dia telah merasakan segala apa yang ingin dia rasakan denganmu. Saat rasa itu telah habis. Ia ingin berhenti untuk merasa. Dan mencari rasa yang lainnya. Kalau diibaratkan kamu rasa melon, dia mungkin ingin rasa mangga, nanas, apel dan lain sebagainya. Yang mungkin, dia pikir dia bisa menemukan berbagai macam rasa itu pada diri orang lain”
“A, geurogunyo (Oh, begitu, ya). Tapi mengapa dia lakukan hal itu padaku, Kang? Mengapa dia mencampakkan aku begitu saja? Padahal aku adalah cowok setia. Tapi mengapa kesetiaanku dia lukai. Kepercayaanku dia hancurkan. Ketulusanku dia injak-injak”
Ia meradang. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh dengan tekanan.
Bulir bening menggenangi wajah putihnya. Ia terisak.
Ya, Tuhan. Please, jangan menangis. Aku paling nggak bisa menghadapi orang menangis.
“Jebal, uro hajima (Tolonglah, jangan menangis). Dangdanghake sarara (Kamu harus tegar, Jin Wook)”
Terbata-bata aku mengatakan kata-kata itu. Aku pikir kata-kata itu yang paling cocok untuk mewakili perasaanku. Menghiburnya.
“Mengapa dia lakukan hal itu padaku, Kang?”
Dia mengulangi lagi pertanyaannya itu. Tangannya sibuk menghapus air yang melelehi wajahnya.
Aku terdiam.
Tanganku sibuk mengelus-elus sampul novel yang tadi aku beli. Novel dari pengarang yang sedang berbicara di panggung utama sekarang.
”Neomu aphayo, Kang (Sakit sekali rasanya, Kang)”
Aku menghela nafasku perlahan.
”Aku mengerti. Tapi apapun alasan dia memutuskanmu. Yang jelas, sekarang dia sudah bersama dengan orang lain. Itu artinya, kamu juga harus belajar untuk melupakannya. Buat apa kamu memikirkan orang lain yang sudah tak memikirkanmu lagi. Rugi. Buang-buang waktu dan tenaga saja”
Aku mencoba memberi masukan padanya. Mungkin saja kata-kataku bisa menjadi penawar untuk hatinya. Yang terkontaminasi racun patah hati.
”Kalau dia tahu, kamu masih memikirkannya. Dan kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Dia pasti akan bahagia sekali. Karena ada manusia bodoh sepertimu. Yang masih memikirkannya sementara dia sudah tak ingin mengingatmu lagi”
”Geulseyo (Entahlah). Neomu phigonhaeseo iraeyo (Aku lelah sekali, Kang)”
”Keokjeongma, naega ittjanha, Jin Wook (Jangan khawatir, aku ada disampingmu, Jin Wook). Aku akan selalu menjadi sahabatmu. Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri dalam kesedihan ini”
Aku mengucapkan kata-kata itu seolah-olah sedang memainkan peran dalam drama kehidupan ini.
”Gomawo, Kang Dey (Terima kasih). Neomu kamkyeok haeso nunmuri nanda (Menyentuh banget, sampe mau nangis nih)”
Aku meringis.
”Nae seongjil geondeulijima (Jangan bikin aku grogi deh)”
Jin Wook mulai tersenyum kembali.
“Eottaeyo? Jigeum gwenchanayo? (Bagimana? Kamu sudah merasa baikan sekarng?)
“Ne, mani gwaencanajyeoseoyo (Ya, aku sudah jauh lebih baik)”
“Geurom dahaengiyeyo (Untunglah)”
Aku lega sekarang. Perasaan Jin Wook sudah jauh lebih baik sekarang.
Kami terus berbincang-bincang di atas tribun. Sementara itu kemeriahan pesta book fair masih berlangsung di bawah sana.
Balaraja, 15 Maret 2012
JERAWAT OH JERAWAT

Aku baru saja akan memasangkan headsheat di telingaku. Ketika tiba-tiba seorang remaja tanggung, berusia sekitar empat belas tahunan mendekatiku.
Ia memakai kaos oblong yang sudah belel. Celana yang sempit dibagian betisnya. Dengan wajah bertabur jerawat.
Ia nyengir lebar.
”Ini Kang Dey, kan?”
Aku melongo. Tapi aku buru-buru mengangguk.
Siapa, ya. Aku nggak kenal deh...
Ia langsung duduk disebelahku. Kebetulan hanya kursi itu yang kosong. Diantara deretan kursi tunggu di dealer motor itu.
Aroma khas tubuh remaja menguar dari tubuhnya. Tipikal remaja yang tak memperdulikan pentingnya deodorant.
”Nggak kenal aku, ya. Pastinya. Soalnya kalau di facebook, aku selalu pake foto kartun, Kang”
Aku nyengir.
Oh, ternyata temen fb...
”Namaku Raihan, Kang Dey. Biasa dipanggil Rey. Kalo di Fb namanya Samurai R”
Ia memperkenalkan diri dengan riang.
Aku tersenyum. Senang bertemu orang yang baru dikenal tapi sok akreb begini. Aku lebih santai menghadapinya.
Tanpa kutanya terlebih dahulu, dia sudah memceritakan tentang dirinya. Kedatangannya ke tempat dealer ini. Yaitu untuk service motor juga. Sama denganku. Dan ia masih duduk dibangku sekolah SMP. Terlihat dari gaya berpakaiannya yang tak jauh berbeda dengan remaja zaman sekarang pada umumnya.
Melihat tingkah polahnya dan gaya bicaranya itu, aku seperti melihat keponakanku sendiri. Kumisnya masih tipis. Baru tumbuh. Terlihat sekali kalau bocah itu sedang dalam masa puber.
”Muka Kang Dey bersih, ya. Nggak ada jerawatnya. Sama dengan foto yang di fb. Nggak seperti aku...”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan wajah tertunduk lesu. Menimang-nimang ponsel ditangannya tanpa gairah.
”Siapa bilang? Dulu, waktu Kang Dey seumuran kamu juga jerawatan. Lebih parah malah”
Aku berusaha membesarkan hatinya. Sepertinya ia sedang terserang sindrom minder. Tak percaya diri karena jerawat yang bejibun di wajahnya.
Ia menjebikkan mulutnya. Tak mempercayai ucapanku.
”Lihat dong dengan jelas. Bercak-bercak kecil ini, ini bekas jerawat loh, Rey”
”Trus, gimana cara ngatasin jerawat-jerawat sialan ini, Kang?”
Ia manyun.
Tangannya sibuk menyentuh jerawatnya yang tumbuh disana-sini. Menghiasi permukaan wajahnya. Kedua pipi, dahi dan dagu. Dari yang kecil hingga yang sebesar jagung. Rata memenuhi area wajah hingga ke leher.
Masalah jerawat memang terlihat sepele. Tidak membahayakan, tapi menjengkelkan. Terutama kaum remaja yang menjadi sasaran empuknya. Tapi tidak sedikit pula masalah jerawat ini pun menyerang kaum dewasa.
Sejak memasuki masa pubertas, berbagai macam perubahan terjadi dalam tubuh seseorang yang disebabkan oleh hormon, terutama androgen. Hormon yang lebih banyak pada pria ketimbang pada wanita. Dan hormon ini punya peran terhadap munculnya jerawat.
Produksi hormon androgen ini meningkat pada masa pubertas. Sehingga kelenjar lemak menjadi lebih aktif menproduksi palit yaitu cairan berupa lemak yang berfungsi menjaga permukaan kulit dan rambut tetap lentur, mengkilap dan tidak tembus air, serta mencegah masuknya bakteri lewat pori-pori.
”Rajin merawat kulit wajah dong, Rey”
“Caranya?”
“Setelah Rey beraktifitas atau berpergian, biasanya wajah kamu pasti kotor, berminyak dan berkeringat, kan. Nah, itu akibat debu juga polusi disekitar kita, Rey. Jadi, kalau kamu udah nyampe di rumah, harus langsung cuci muka. Biar yang melekat di wajah kita luntur seketika. Dan jangan lupa, kamu harus memilih sabun muka yang cocok dengan jenis kulitmu. Untuk kulit berjerawat”
“Kadang males, Kang. Ribet...”
Ia menyandarkan tubuhnya seolah tak punya tenaga.
“Ya udah, kalo nggak mau ribet mah. Silakan saja. Jerawat-jerawat itu akan setia menemani hari-harimu. Melekat erat diwajahmu. Dan membuatmu kehilangan rasa percaya diri”
Aku tertawa. Sementara Rey cemberut.
”Selain merawat kulit wajah, kebiasaan kita makan juga bisa menjadi pencetus jerawat, Rey”
”Iya, Kang?” Aku mengangguk.
”Hindari makanan yang terlalu banyak mengandung lemak dan yang terlalu gurih. Kurangin makan coklat, kacang tanah juga goreng-gorengan”
”Banyak amat pantangannya, Kang. Mana aku hobi banget ma coklat juga gorengan. Gorengan adalah makan yang nggak bisa dipisahkan dalam kehidupanku sehari-hari. Jajanan murah dan mengenyangkan”
Ia tertawa.
”Sah-sah aja sih, nyari jajanan murah dan mengenyangkan. Tapi lihat dulu dong dari segi kesehatannya. Tertutup rapat apa nggak wadahnya. Jangan sampai dikerumuni lalat dan juga debu. Hati-hati juga, Rey. Sekarang banyak gorengan yang pake lilin juga plastik”
”Iya, Kang Dey”
Aku mendesis.
”Iiiisssshhh. Ketauan, ya. Nggak pernah nonton berita”
Rey nyengir sambil memainkan rambutnya yang terpotong ala tin-tin.
”Banyakin makan sayuran dan buah-buahan, Rey. Banyak makan buah-buahan itu bisa bikin kulitmu kencang dan segar. Oh ya, itu jerawat yang bengkak dan berdarah abis kamu apain, Rey?”
Aku menunjuk jerawat sebesar jagung dijidatnya. Memerah dan sedikit mengelurkan darah.
”Dipencet. Trus, aku tusuk pake jarum, Kang. Biar cepet kempes. Abis nyebelin sih”
Ia cengengesan. Merasa tidak berdosa telah memencet dan mengorek-ngorek jerawatnya itu dengan tanpa belas kasihan.
”Nggak boleh, Rey. Kamu nggak boleh sembarang pencet dan sembarang tusuk tuh jerawat. Bisa infeksi. Meradang. Tambah parah. Muka bisa rusak. Dan meninggalkan bekas yang nggak bisa ilang, loh. Nih, kayak yang dipipi Kang Dey. Ini karena tangan usil Kang Dey dulu. Yang nggak sabaran. Main pencet dan tusuk aja pake jarum pentul. Padahal itu nggak boleh”
Rey tercengang. Mendengar kata-kata infeksi, peradangan dan rusak berhamburan dari mulutku. Dengan nada naik dua oktaf.
”Oh gitu, ya”
”Iya. Alih-alih pengen sembuh. Yang ada malah tambah parah, Rey, Rey...”
Aku mendecakkan lidahku. Sambil geleng-geleng kepala.
”Oh ya, Kang. Bener nggak sih. Kata temen-temen aku nih, jerawat bisa sembuh pake...pake...”
Rey terlihat ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
”Pake apa?”
”Pake celana dalem cewek, Kang. Katanya, celana dalem itu diolesin ke jerawat. Nanti cepet sembuh”
Rey mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik-bisik. Seolah takut didengar orang-orang yang ada di tempat itu.
Aku ngakak. Wajah Rey langsung merah padam.
”Ngaco, ah. Itu mah mitos. Jangan dipercaya kebenarannya, Rey. Kamu mah ada-ada aja. Apa hubungannya coba, jerawat ma celana dalam. Nggak ada sama sekali, Rey. Kalo kamu ngambil celana dalem orang, trus ketauan. Yang ada, kamu habis digebukin orang sekampung. Trus, di cap sebagai anak abnormal. Mau, kamu?”
”Ogah. Tapi temen-temen sekolahku ada yang melakukan hal itu, Kang Dey”
”Trus, sembuh nggak?”
”Boro-boro sembuh, yang ada dia kebanyakan...” dia menyebut kata jorok yang artinya sama dengan onani. ”...gara-gara nyimpen celana dalam anak orang. Dengkulnya juga pada leklok”
Kami tertawa bersama.
”Kalo jerawat kamu ingin sembuh, datang aja ke dokter ahli penyakit kulit, Rey”
Aku menyarankan.
Rey mendengus.
”Mahal, Kang Dey. Emang nggak ada resep tradisional gitu. Yang murah meriah, tapi lumayan ampuhmenyembuhkan”
”Ada juga sih. Tapi kamu kan orangnya nggak mau ribet”
”Dih, Kang Dey mah...”
Ia merajuk.
”Cuci muka pake teh basi”
”Ogaaaah...” Rey meringis. Aku nyengir.
”Atau cuci muka pake air daun sirih aja. Daun sirih itu airnya mengandung zat antiseptik yang dapat mencegah peradangan dan infeksi akibat jerawat sekaligus menetralkan kelebihan lemak pada wajahmu. Apalagi kamu hobi banget tuh, asal pencet dan ngorek-ngorek jerawat. Padahal tangan kamu belum tentu bersih”
Aku merepet. Rey nyengir kuda.
“Nah, kalau pake air daun sirih aku mau, Kang. Di depan rumahku banyak, Kang Dey. Nanti abis service motor, aku mau nyoba, ah”
”Buat muka kok coba-coba”
Aku menyindirnya dengan kata-kata yang kucontek dari iklan.
Rey tergelak mendengarnya.
”Begitu dong semangat. Buat kesehatan sendiri mah jangan males-malesan atuh”
Aku menepuk-nepuk bahunya.
”Iya, Kang. Makasih saran, nasehat dan juga tipsnya”
”Siiiip. Jangan lupa, kamu juga harus rajin olahraga”
”Ngapain olahraga?”
”Ngapain, apaan. Kalau kamu males olahraga, kulit kamu akan keliatan layu, kusam dan pori-pori nggak bernafas dengan baik. Kalo udah gitu, si jerawat seneng banget ngedon di wajah kamu. Trus, nambah banyak deh jerawat yang nongol, karena pori-pori wajahmu tersumbat. Mau?”
Rey menggeleng kuat-kuat.
”Hindari juga stres, Rey. Karena itu bisa memicu timbulnya jerawat juga” Aku menambahkan.
”Stres kenapa? Emangnya, aku gila”
”Emangnya stres itu gila aja. Kamu mikirin jerawat kamu yang bejibun dengan hati sedih, nelangsa dan uring-uringan itu sudah dikategorikan stres, Rey”
“Oh, begitu ya. Kok Kang Dey banyak tahu sih, soal jerawat dan cara ngatasinnya segala?”
“Ya, iya dong. Kang Dey kan rajin baca. Baik dari buku kesehatan, majalah juga nyari di internet. Emangnya kamu, ke warnet cuma buat ngeliat yang begituan doang. Heuuu, dasar!”
Ia nyengir lebar sekali. Wajahnya sedikit memerah. Seolah ketangkep basah, pipis dicelana.
”Kok, Kang Dey tahu”
”Taulah, Kang Dey kan ahli membaca pikiran orang”
Rey terbeliak.
”Bo’ongan kale, Rey hehe...”
Aku tertawa sambil mendorong tubuhnya. Dan Rey pun ikutan tertawa.
@@@
Balaraja, Pertengahan Maret 2012

Minggu, 01 April 2012

MALU KARENA GIGI

Aku berdiri di atas balkon lantai tiga mall di daerah Serpong. Menatap semua yang terhampar dihadapanku. Sambil merasakan belaian angin. Semilirnya mengelus setiap inchi tubuhku. Membuat pikiranku fresh seketika.
Aku menunggu teman facebook yang tinggal tak jauh dari mall. Ia mengajak copy darat saat tahu aku akan ke mall melalui status yang aku buat.
”On the way mall Serpong...berburu buku murah hehe…”
Begitu bunyi sebaris status yang aku buat.
Tak lama kemudian. Sebuah pesan menyambangin inbox-ku. Dari seseorang yang bernama Aku YangSelalu Tersakiti.
”Mau nggak ketemuan ma aku, Kang Dey. Kebetulan, aku tinggal di daerah Serpong juga. Nggak jauh dari mall. Mau, ya. Penasaran ma Kang Dey setelah membaca note2nya”
Aku mengiyakan permintaan teman facebook-ku itu. Tak ada salahnya bertemu dengan orang yang menyebut dirinya, Si Aku YangSelalu Tersakiti. Lumayan, menambah teman dalam artian sebenarnya. Tak hanya sekedar dalam daftar teman facebook saja.
Percuma punya teman bejibun, kalau tak menjadi benar-benar teman.
Siapa tau copdar ini akan menambah erat tali silaturahmi yang terjalin.
Setiap liburan anak sekolah, aku memang kerap mendatangi mall ini. Menghadiri pameran buku dengan diskon gila-gilaan. Bayangkan, diskonnya hingga 80 persen. Membuatku sakit kepala kalau hanya membawa duit pas-pasan. Maklum, predator buku. Huhu.
”Maaf, permisi. Ini Kang Dey, bukan?”
Sebuah suara mengejutkanku. Memutus lamunan.
Aku membalikkan badan.
Seorang pemuda sebayaku. Dengan postur tubuh lebih tinggi sedikit dariku. Memakai kaos lengan panjang bergaris-garis. Sebuah topi berwarna hitam menutupi kepalanya.
Aku tersenyum. Mengangsurkan tanganku. Mengajak bersalaman.
Ia menjabat tanganku. Kepalanya tertunduk. Terlihat grogi. Dan seolah tak percaya diri.
Kami pun berkenalan.
Namanya Syaiful Anwar. Umurnya 27 tahun. Wajahnya terlihat sedikit lebih tua dari usia sebenarnya.
“Kang Dey bener, usianya sekarang 33 tahun?”
Ia bertanya dengan tatapan tak percaya. Meragukan usiaku.
Aku hanya nyengir mendengar pertanyaan itu.
Dia orang yang kesekian yang tak percaya pada usiaku. Hanya karena melihat postur tubuh juga wajahku yang jauh lebih muda dari usiaku yang sebenarnya.
”Bagaimana perasaan kamu setelah ketemu aku, Kang? Pasti kecewa, ya...”
Ia melontarkan kata-kata itu tanpa menatapku. Ia menatap kejauhan. Entah apa yang ia lihat.
Aku tersenyum.
”Kenapa harus kecewa, Ful?”
Aku memberanikan diri menyebut namanya. Seolah kami dua orang sahabat yang telah lama tak bersua.
Sok akrab ceritanya. Aku kan begitu orangnya. Mudah akrab dengan orang lain yang terlihat menerima aku apa adanya.
”Melihat kondisiku yang seperti ini...”
Suaranya terdengar nyaris seperti bisikan.
”Kondisi seperti apa maksudnya? Yang aku lihat, kamu baik-baik saja. Sehat, bugar, tak ada cacat”
Ia menatapku dengan pandangan sinis.
”Gigiku yang menonjol ini, Kang”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan raut wajah yang terlihat tak nyaman. Ia seperti tertekan.
”Kenapa aku harus kecewa, Ful? Aku berteman dengan siapa aja. Tanpa memandang rupa, fisik, pekerjaan dan lain sebagainya. Aku mau berteman. Kamu mau berteman. Ya, sudah. Kesamaan itulah yang membuat aku nggak perduli dengan kondisi seperti apapun yang dimilikinya. Mau berteman kok repot amat”
“Tapi kebanyakan orang sepertinya menyesal kalau udah ketemu aku, Kang”
”Ah, itu sih perasaan kamu aja, Ful”
”Bener, Kang Dey. Buktinya, mereka ngga mau diajak ketemuan lagi ma aku. Terus juga nggak mau komen-komen lagi di status-status aku. Apa coba namanya, kalau bukan nggak suka ma aku. Itulah sebabnya, kenapa aku pakai foto yang bukan diriku. Tapi wajah-wajah selebritis Korea yang mancung hidungnya. Bukan mancung giginya seperti aku”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan gemas. Merepet tanpa jeda. Ia seperti bak yang sumbatnya dicabut. Lalu mengalirlah air yang selama ini terkungkung di dalam bak.
Setiap orang memang mengidamkan penampilan fisik yang serba ideal. Yang body-nya gemuk ingin kurus, yang kulitnya item ingin putih, yang rambutnya kriting ingin lurus, yang hidungnya rata ingin mancung, yang bibirnya tebal ingin tipis, yang tubuhnya pendek ingin tinggi semampai.
Banyak sekali yang menjadikan itu sebagai obsesi. Sehingga krisis pede pun melingkupi orang yang bersangkutan.
Aku pikir, krisis pede itu sesuatu yang nggak enak banget. Aku juga pernah mengalami hal itu. Aku selalu ngerasa nggak nyaman, karena terus-terusan memikirkan kekurangan yang ada padaku.
”Padahal pola pikir seperti itu malah akan membuat orang lain ngerasa nggak nyaman ma kita, Ful. Mereka akan mikir dan nyari apa sih yang bikin kita jadi pendiem dan minder. Dan saat mereka menemukan apa yang jadi keminderan kita. Ya, udah. Habislah kita jadi bahan ledekan mereka”
”Coba kalau kita nyantai aja dengan penampilan fisik kita. Menerima diri dengan penuh rasa syukur. Waktu dan energi kita yang terbuang percuma, karena kita hanya memikirkan kekurangan kita melulu. Lebih baik kita gunakan untuk mengembangkan banyak potensi yang masih tersembunyi dalam diri kita”
”Tapi aku ngerasa, nggak punya potensi apa pun, Kang Dey”
”Siapa bilang?”
”Akulah, Kang Dey. Barusan, kan...”
Syaiful mengatakan itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Kami pun tertawa bersama.
”Potensi kita tuh banyak, Ful. Kecerdasan, organisasi dan keterampilan komunikasi. Kalo kita bisa tampil supel dengan segala potensi dan kelebihan-kelebihan diri kita, ditengah-tengah kekurangan yang kita punya. Orang lain nggak akan nyari-nyari kekurangan yang ada pada diri kita”
”Yakin, kang Dey?”
”Kamu harus yakin dong. Buktinya aku”
Syaiful mencebikkan mulutnya. Tak percaya padaku.
”Kamu nggak dengar suaraku yang halus kayak cewek. Juga gayaku yang agak gemulai ini”
Syaiful nyengir mendengar ucapanku.
”Hal itu pernah membuat aku down banget, Ful. Aku juga sempat terkukung dalam dilema berkepanjangan. Harus bersikap gimana dengan kondisiku ini. Tapi lama-lama, aku sadar. Bahwa aku adalah manusia yang ngga bersyukur banget. Kufur nikmat pangkat seratus. Kalo aku terus-terusan menjadi manusia yang terpuruk hanya karena kondisiku itu”
”Padahal Allah udah ngasih banyak kelebihan ma aku. Tapi kenapa kelebihan itu nggak aku gali dan munculkan. Jadi berangkat dari pemikiran itu, aku pun bangkit dan berbenah. Untuk menjadi pribadi yang percaya diri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku miliki”
”Dan seperti yang kamu lihat sekarang. Aku tampil apa adanya aku. Tanpa ada yang aku tutup-tutupi. Orang mau menerima aku, alhamdulillah. Sesuatu banget, ya”
”Syahrono kale...”
Syaiful nyeletuk.
Kami pun ngakak bareng.
”Kalo ngga mau menerima, kebangetan sekali”
Aku pura-pura lemas.
Syaiful tertawa.
”Aku nggak nyangka, kalo Kang Dey juga pernah ngalamin apa yang aku rasakan. Kirain aku doang. Perasaan tertekan itu. Dan merasa tidak diterima itu”
Ia mengatakan itu seolah-olah tak percaya. Hal demikian pernah terjadi padaku.
”Itu dulu, Ful. Sekarang tidak lagi”
Aku menirukan kata-kata pada iklan shampoo di teve.
”Lanjut, Kang Dey. Aku suka dengan uraian, Kang Dey. Cepat masuk ke otakku”
Syaiful cengengesan.
”Ya, itu tadi. Mereka udah terlanjur respek dengan kelebihan yang kita punya. Intinya mah mereka udah suka ma kita, karena potensi yang kita miliki. Jadi mana sempet mereka nyari-nyari kekurangan kita, Ful”
”Gini aja deh. Saat kita memiliki kekurangan yang nggak mungkin di rubah, kita harus pinter-pinter menggali dan nemuin kelebihan lain yang bisa kita tampilkan. Itu yang dulu aku lakuin”
Syaiful mengangguk-anggukkan kepalanya. Meresapi yang barusan aku ucapkan.
Kami berdua menatap matahari yang mulai condong ke arah barat. Magrib segera tiba.
”Dan kamu harus inget, Ful. Allah nggak menilai rupa dan fisik hamba-Nya. Tapi yang jadi penilaian adalah iman kita. Jadi kalau kamu bisa menerapkan prinsip ini dalam kehidupan kamu, maka kamu akan jadi manusia pede yang berjalan dimuka bumi ini”
”Kamu nggak usah repot-repotlah mikiran bentuk gigilah, mulutlah, gusilah, hidunglah. Semua itu bukanlah segala-galanya dalam hidup ini, Ful. Yang penting nih, Ful. Mulut kamu itu masih berfungsi dengan baik. Nggak sakit saat makan, minum dan berbicara. Dan yang paling penting lagi, mulut kamu itu nggak ngerugiin orang lain. Dan nggak dipakai buat nyakitin orang lain dengan kata-kata kamu. Bener nggak, Ful”
”Bener banget, Kang Dey”
Wajah Syaiful berbinar-binar. Tak seperti saat pertama ketemu tadi. Kusut dan ditekuk-tekut. Blas, nggak nyaman dilihat.
”Allah udah mengfungsikan organ tubuh kita dengan sebaik-baiknya, Ful. Bukan bentuk gigimu yang harus kamu pikirin. Tapi mulut kamu yang kamu gunakan untuk murah senyum, murah hati, menuturkan kata-kata yang sopan, santun, bijak dan itu yang akan bikin orang lain nyaman sama kamu. Bukan rasa nggak nyaman akan bentuk gigimu lagi”
”Dengan begitu malah mendatangkan penghargaan dari orang lain, kan. Hati kita juga penuh syukur. Kata-kata yang kita ucapkan lebih berarti, menumbuhkan kharisma juga rasa confident. Percaya diri. Jadi, mulai saat ini, say good bye aja deh sama tuh minder. Oke, Ful?”
Syaiful mengangguk mantap.
“Ngedenger kata-kata Kang Dey, aku jadi semangat banget. Nggak pernah aku ngerasa sesemangat ini dalam hidup. Sumpah, Kang Dey. Aku seperti hp yang ngedrop. Trus di cas sampe full. Itulah yang aku rasain sekarang, Kang. Makasih banget...”
Mata Syaiful berkaca-kaca. Dan tiba-tiba saja dia terisak-isak.
Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana.
Selama ini aku emang paling nggak bisa menghadapi orang yang lagi mellow. Kalau istriku sedang sentimentil aja aku suka kelabakan. Nggak tau harus bagaimana menghadapinya.
Balaraja, 06 Februari 2012