Jumat, 19 November 2010

Aku, Dia dan Persahabatan

Aku kenal dia saat kami masih berseragam abu-abu. Dia duduk tepat dibelakang kursiku. Dia nggak banyak omong. Bicaranya irit banget, seperlunya aja. Bahkan dia cendrung menutup diri. Dia pemalu dan rendah diri. Dikemudian hari setelah aku akrab dengannya, aku baru tahu kenapa dia minderan. Ternyata dia nggak PD dengan suaranya yang kecil.
Aku nggak tau bagaimana mulanya aku dan dia bisa akrab. Yang jelas, aku yang cerewet ini punya banyak andil dalam membuka sikap introvert-nya. Terutama ngajarin dia agar dia percaya diri, nggak terlalu irit omong dan banyak mengumbar senyum. Selalu menegakkan kepala saat berjalan. Dan jangan sampai menyembunyikan diri. Seperti tanaman putri malu, langsung meredupkan daunnya apabila disentuh.
Gencarnya aku membombandrdir dia dengan segala hal agar pikirannya lebih terbuka. Agar dia berani mengemukakan pendapatnya. Membela diri saat disudutkan. Dan jangan mau diperalat oleh orang lain karena kebaikan hatinya. Dia orangnya nggak tegaan. Dan akhirnya lambat laun yang kulakukan membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit dia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
Tiga tahun dibangku menengah umum membuat aku dan dia semakin dekat dan akrab. Dan kedekatan itu tetap berlanjut hingga kami duduk dibangku kuliah. Meski kami mengambil jurusan yang berbeda. Dia ngambil keguruan. Sedangkan aku ngambil desain grafis. Aku ngambil jurusan itu bukan karena aku jago desain, tapi karena aku ogah jadi pengangguran. Dan pengen ngerasain jadi mahasiswa. Juga karena aku ogah jadi buruh pabrik. Hehe.
Sedangkan dia ngambil guru, mungkin karena gayanya cocok banget dengan predikat yang akan dia sandang kelak “Bapak Guru”. Rambut klimis. Kumis tipis. Sepatu mengkilat. Baju selalu dimasukkan, rapi banget. Dengan stelan kemeja dan celana bahan. Itu seragam bakunya dalam keseharian. Formil banget. Tapi dia merasa PD dengan tampilannya itu. Meskipun aku rasa, kalo dia ngerubah sedikit aja penampilannya agar lebih gaul. Pasti dia akan jauh lebih keren. Hehe.
Tapi sepertinya dia enggan keluar dari gaya bakunya itu. Ya, itu haknya sih. Dan sebagai sahabatnya, aku bener-bener nggak bisa ngerubah gayanya itu meski aku udah berbusa-busa ngomong.
“Lo keren banget tau kalo pake kaos ini, pake celana selutut ini, pake ini pake itu….” Tapi dia tetap keukueh sumeukeuh pake pakaian kebesarannya itu. So never mind, biarkan dia dengan gaya pakaiannya itu. Yang penting dia ngerasa nyaman. Kenapa aku lakukan itu? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Lulus kuliah, aku dan dia masih tetap akrab dan dekat. Meski kerikil-kerikil tajam berupa pertengkaran kerap mewarnai. Tapi itu nggak menyurutkan langkah persahabatan kami. Aku dan dia masih tetap bersahabat. Dan kami malah tambah akrab kalau habis bertengkar dan diem-dieman.
Selama kami bersahabat, aku dan dia sering berbagi cerita. Tapi ceritaku lebih mengalir deras. Bahkan dia sampai nggak bisa menampungnya. Meluber kemana-mana. Tapi dia sebaliknya, ceritanya tersendat-sendat bahkan bisa macet total kalau aku nggak memancingnya terlebih dahulu.
Dia lebih senang menjadi pendengar yang baik, ketimbang pencerita yang baik. Dia selalu gagap kalo harus nyeritain suatu masalah atau ganjalan yang dia hadapi. Bingung katanya, harus mulai dari mana kalau harus bercerita.
Tapi lagi-lagi dengan kelihaianku, dia bisa buka mulut setelah aku korek-korek, meski kemacetan sering menghadang disana-sini. Aku dengan sabar berusaha menjadi pendengarnya. Karena sekali aku sela, maka buyar sudah alur cerita yang udah dia susun dengan susah payah. Hingga plotnya pun hilang entah kemana. Dan intriknya pun nggak muncul. Emang lagi menulis cerpen apa, pake plot dan intrik segala. Hehe.
Kami juga kerap menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama. Kemping, berwisata, ke pameran buku, konser nasyid, nyari buku loakan di Pasar Senen, nonton di Twenty One, makan di café or resto atau wisata kuliner dipinggir jalan, berburu DVD bajakan, sampe nyari baju ke mall.
Semua hal itu kami lakukan dengan semangat dan kegembiraan mengisi hidup dan masa lajang. Tanpa memikirkan umur yang mulai kepala tiga. Kami jalani hidup ini mengalir seperti air dengan riaknya. Beban banyak, masalah banyak, tapi keceriaan dalam mengisi hidup terus kami gaungkan. Bahwa nggak ada masalah yang nggak ada jalan keluarnya. Dan kami saling membantu dan menguatkan satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
Kini dia menjadi seorang lelaki yang pandai bergaul. Kemana pun dia pergi dia langsung bisa mendapatakan teman baru. Berbeda denganku. Aku gurunya dalam mengajarkan etika pergaulan, tapi aku gagal memperaktekkan teori yang udah aku doktrinkan kepada dia. Bagaimana caranya bergaul dengan baik dan benar. Tanpa harus kehilangan arah dan jati diri yang kita miliki.
Tapi dia nggak pelit berbagi teman baru. Dia akan selalu mengenalkan teman-teman barunya kepadaku. Tanpa dia, mungkin sampai saat ini aku nggak akan punya banyak teman. Karena aku pemalu. Nggak bisa memulai berteman terlebih dahulu.
Namun akhir-akhir ini persahabatanku dengannya mulai merenggang. Bukan karena banyak aktifitas dan kesibukan, bukan juga karena jarangnya intensitas kami bertemu. Tapi karena sms yang dia kirimkan kepadaku. Cukup membuatku kehilangan kata-kata. Meski sms itu hanya berisi sepuluh suku kata.
“Tolong ya, Dey. Jangan buka keburukan aku pada calon istriku”
Ya, Allah…membaca sms itu aku merasa ditabok berulang-ulang. Aku kaget bukan main. Aku shock. Kok kesannya aku lebay banget, ya. Tapi itulah yang aku rasakan. Aku ngerasa nggak ada harganya.
Bagaimana mungkin seorang sahabat yang udah bertahun-tahun bersahabat denganku bisa melontarkan kata-kata seperti itu. Tidakkah persahabatan kami yang lama itu mampu membuatnya mempercayai sahabatnya ini? Tidakkah masa yang lama dalam persahabatan itu mampu membuatnya menilai, melihat dan merasakan sifat dan karakterku?
Toh, selama ini aku nggak pernah bermain watak dihadapannya. Aku nggak pernah jaim dihadapannya. Aku selalu menampilkan apa adanya diriku. Tanpa ada yang kututupi sama sekali. Tapi mengapa kepercayaan itu nggak dimilikinya? Apakah tahun-tahun yang udah kami lewati itu masih nggak cukup untuk memupuk kepercayaannya kepadaku?
Aku benar-benar nggak habis pikir dengan jalan pikirannya. Apakah dia pikir aku sanggup membeberkan segala rahasia dan keburukannya kepada orang lain? Sebawel-bawelnya aku, aku nggak akan bawel kalo urusannya udah berbau RAHASIA. I’ll shut up. Semarah-marahnya aku ama dia dan sebesar apa pun masalah antara aku dan dia. Aku akan tetap menjaga rahasianya dengan aman. Dan aku nggak akan mungkin membuka aibnya. NGGAK AKAN. Karena bagiku, itu sama aja artinya aku membuka aibku sendiri. Karena dia adalah SAHABATKU.
Memang itu haknya, untuk percaya atau nggak padaku. Tapi lamanya persahabatan kami tidakkah cukup menjadi bukti bahwa disana ada kesetiaan, kejujuran, kepercayaan dan kesalingmengertian. Dariku untuknya. Karena aku pun sebagai sahabatnya, memiliki semua perasaan itu. Aku mempercayainya. Meskipun misalnya dia membohongiku. Aku akan tetap memaafkannya. Karena dia adalah SAHABATKU.
Mungkin bagi sebagian orang sms itu kata-kata yang sepele banget dan nggak ada artinya sama sekali. Tapi bagiku BESAR sekali artinya.
Artinya dia sama sekali nggak mempercayai aku sebagai sahabatnya sendiri. Dan itu sangat menyakiti hatiku. Gimana nggak coba. Sebagai sahabat yang baik, aku selalu menutupi semua keburukannya dari orang lain yang sam-sama kami kenal. Kusimpan segala rahasia dan cerita yang dia ceritakan kepadaku. Kugigit erat-erat hingga nggak tercecer dan jadi bahan perbincangan orang lain. Kenapa? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Kusayangi dia dengan setulus hati. Kuberikan dukungan moral saat dia anjlok ke titik nol. Kusemangati dia agar kuat saat dia lemah. Kutemani dia kemanapun dia ingin pergi saat nggak ada halangan dan kesibukan yang menghalangiku. Untuk membunuh sepi yang sedang menelikungnya. Dan aku tulus ikhlas dalam melakukannya. Kenapa? Karena aku adalah SAHABATNYA.
Tapi kenapa dia tega melontarkan kata-kata seperti itu?
Dan setelah semua dikomunikasikan. Dikonfirmasikan. Ada apa dan mengapa? Semua masih nggak jelas bagiku. Tapi sekali lagi aku memaafkannya. Karena dia adalah SAHABATKU.
Dan saaat aku bertemu muka dengannya beberapa hari yang lalu. Dia tampak berbeda. Meski dia didepanku. Tapi hatinya nggak ada disana. Dia membuat sekat diantara kami. Meskipun samar tapi dengan jelas aku bisa merasakannya. Acuh bicaranya, patah lengkung senyumnya, gelisah duduknya dan dia enggan menatap mataku. Membuang arah pandang kesegala penjuru. Tidak kepadaku. Ada apa dengannya?
Mungkinkah persahabatan kami sudah retak? Seperti halnya gelas yang retak, dan nggak mungkin bisa utuh kembali?
Meskipun aku nggak ngerti harus bagaimana, tapi aku masih menunggunya disini untuk memberinya ruang dan waktu. Agar dia leluasa berpikir. Akan dibawa kemana persahabatan aku dan dia. Mengapa aku lakukan itu? Karena aku masih SAHABATNYA.
(untuk dia, sahabatku yang saat ini nggak bisa kugapai…)
Kamar bujang, 19 Nov 2010

Jumat, 02 Juli 2010

DUA SISI HATI

Aku baru aja keluar dari kamar mandi pas ngedenger suara ribut-ribut dari ruang tamu. Seperti biasa, setiap akhir pekan kakak beradik Mamed dan Juned selalu aja mouth war. Dan masih topik yang sama yang mereka ributin. Mamed gak suka kalau abang satu-satunya itu ngedate dengan musuh bebuyutannya Si Hilda. Anak gadis tunggal ibu kost.
“Pokoknya sampe kapan pun aku gak ridho dunia akhirat, Kang Juned pacaran ama cewek tengil dan matre itu” sembur Mamed emosi. Lebay banget! Dunia akhirat. Gak sekalian setinggi langit dan sedalam lautan. Hehe.
“Terserah kamu lah, Dek. Capek aku kalo harus berantem terus ama kamu. Aku yang ngejalanin hubungan itu kok, kamu yang berkeberatan” suara Juned lirih, kontras dengan suara adiknya yang meledak-ledak. Sambil meraih kunci motornya dan keluar dari kosan yang kami diami.
Aku keluar munuju ruang tamu sambil membawa cemilan ditangan, seiring dengan deru motor Juned ninggalin halaman. Kulihat Mamed masih tiduran dengan remot ditangannya, disudut sebelah kiri merapat ke tembok kamar. Tempat kesukaannya. Matanya menatap kosong layar kaca yang lagi nayangin berita sore. Acara yang paling disukainya selain balapan motor, kontes menyanyi, reality lebay yang banyak menebar kesedihan dan film horor.
“Cemberut aja lo. Bukan buruan mandi. Bau tau…” ucapku sambil duduk dengan punggung bersandar ke tembok. Menyindir kebiasaan buruknya yang jarang mandi itu. Kontras banget ama aku yang udah seger, wangi karena udah luluran pake lulur yang gambarnya anak raja.
Dia cuek aja dengan sindiranku, gak pernah nunjukin kalo dia tersinggung kalo aku sindir soal kebauannya itu. Coz menurutnya, dia gak bau sama sekali. Heran ya, bau sendiri kok gak bisa terdeteksi. Aku aja yang jaraknya dua depa dari dia bisa nyium prengusnya. Dia sendiri malah kagak nyium. Itu idung apa talang aer sih. Hehe.
Cowok berkulit sawo mateng itu mendengus keras. Kalo ada kertas dijamin pada terbang semua saking kerasnya. Kentara banget sebelnya. “Kesel gue sama Kang Juned, Dey. Udah dibilangin kalo Miss Gemblong itu cewek tengil, centil, matre dan hanya pengen morotin duitnya doang, Kang Juned masih aja bandel. Masih aja ngedate ama cewek bertubuh gemblong itu” cerocosnya menumpahkan uneg-uneg yang bercokol dikepalanya. Menjuluki anak ibu kost dengan gemblong karena tubuhnya yang lumayan subur.
“Terus mau lo gimana? Kesenangan orang kok dilarang-larang” jawabku asal.
Mamed mendelik. “Gue maunya mereka putus-tus-tus. Ngapain jalan ama cewek gak bener kayak gitu” ucapnya sambil memajukan bibirnya. Dua senti kedepan. Halah, panjang amat. Hehe.
Aku terkejut. Biskuit coklat yang aku makan berhamburan keluar. “Apa maksud lo dengan cewek gak bener, Med? Hati-hati lo, kedenger Emaknya kita bisa diusir secara gak hormat dari kosan ini” ucapku tertahan. Takut suara yang aku keluarkan dihembus angin dari ventilasi dan sampai ketelinga ibu kost yang peka itu.
“Sebodo amat. Kalo gue diusir, dengan senang hati gue akan hengkang dari kosan ini. Gue udah enek ngeliat perempuan sundal itu”
“Med! Hati-hati kalo ngomong” aku tekan suaraku sampe tenggorokanku sakit.
“Kenapa emangnya, Dey? Lo takut” Dia malah nantangin.
“Itu namanya fitnah, Med” semburku gak suka.
“Fitnah apaan. Itu bener, Dey. Gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri, kalo dia tuh bermesraan dengan seorang yang kukenal…”
“Ooh kamu ketauan, pacaran lagi…” sambungku bernyayi lagu Mata Band. ”Nyanyi lo…” aku mesem.
“Nggak! Gue baca puisi” ujarnya terusik karena luapan emosinya terpotong oleh gurauanku.
“Dih, ngambek. Gue nyela cuma selingan doing, Tong. Iklan gitu. Kasian mulut lo tar mencong kanan-kiri kalo gue gak kasih iklan hehe” ucapku sambil tergelak-gelak.
Cowok yang lahir dan dibesarkan di kota Cirebon itu asli manyun dan gondok banget karena gurauanku yang asli garing.
“Dia jelas-jelas ngeduain kakak gue, Dey. Tapi kakak gue gak percaya. Padahal gue ceritanya panjang banget, sepanjang jalan Balaraja-Cirebon. Trus gue juga ceritanya pake efek-efek dramatis supaya meyakinkan Kang Juned bahwa cerita gue murni dan benar apa adanya tanpa direkayasa. Seperti adegan hot Ariel-Luna” ucapnya ngos-ngosan persis waria abis dikejar petugas Tantrib. Urat-urat dipelipisnya berdenyut-denyut. Melanjutkan kemarahannya yang sempat terpotong olehku.
“Oh gitu ya, Med. Lo ngeliat dia lagi mesra-mesraan ama siapa? Dimana? Jam berapa? Harus kongkrit, runut dan jelas. Biar pas lo beberin ke dia, dia gak bisa ngelak apa lagi sampe sembunyi-sembunyi seperti artis-artis yang suka bikin sensasi itu loh” cibirku dengan muka enek. Inget kasus selebritis kita yang doyannya nyari sensasi mulu.
“Mesra mah kata yang kurang menggigit Dey. Yang tepat itu mesum. Dia mesum dengan siapa? Dengan Si Burhan. Si biang rese yang suka malakin orang-orang di pasar itu. Asli pasangan yang klop. Yang satu biang onar, yang satu biang rese, tukang gossip pula” Mamed mencibir. “Tapi heran kakak gue gak percaya ama adiknya ini. Dan dia lebih percaya ama Si Gemblong yang terbuat dari ketan item itu. Padahal sebagai adik gue sayang banget ama Kang Juned, Dey. Gue gak mau dia dimanfaatin dan disakiti. Sakit ati gue ngeliatnya” ucapnya parau, matanya berkaca-kaca.
Aku menarik nafas perlahan. Tumben lo bisa mellow, Med. Bisikku dalam hati. “Gue ngerti banget ama kerisauan lo itu, Med. Deh, bahasa gue kagak nahan, risau, bo hehe.” Aku ngakak. Mamed asli mendelik segede jengkol. “Tapi gue rasa, cara lo ngingetin Kang Juned, dengan cara lo tadi itu kurang tepat dan gue rasa gak bakal ngefek. Dan itu udah kebukti sendiri kan ama lo. Dia sama sekali gak percaya ama investigasi lo yang super tergesa-gesa itu” ucapku berhati-hati. Takut menyinggung persaaannya.
Meski teman satu kerjaku di pabrik sepatu ini paling anti dengan kata-kata manis, terutama kalo udah ngomong ama siapa aja. Ia begitu tedeng aling-aling. Tepat mengenai sasaran. Meski yang diajak bicaranya udah mengerut karena tersinggung, tapi dia masih aja enjoy bicara. Seolah kata-katanya madu manis kali. Padahal pahitnya ngalahin daun papaya rebus. Kata lainnya mah dia gak ngeh kalo orang lain sudah tersinggung dengan kata-katanya.
“Kurang tepat gimana, Dey? Emangnya gue harus ngomong pake cara apa ama Kang Juned. Dengan gurindam lagu, acak pantun dan syair puisi. Atau kupecahkan saja gelasnya biar ramai…” semburnya mencemooh. Akhirnya dia berpuisi juga. Dian Sastro aja kalah cara ngucapinnya. Saking ancurnya Mamed berpuisi. Hehe.
Aku nyengir. “Lebay lu! Ya gak gitu juga kali, Med. Maksud gue tuh gini. Kang Juned kan lagi madly in love ama Hilda. Jadi seperti apa pun kelakuan dan tingkah laku Hilda. Selama masih bisa ditolelir ama dia, ya dimaafin lah, namanya juga cinta. Ayang tersayang, uhuy…”
“Halah cinta apaan. Tai kucing! Masa diduain masih bisa ditolelir” semburnya dengan wajah yang super duper muak. Dua tiga muncratan air ludahnya mengenaiku.
Aku nyureng sambil mengelap hujan lokalnya dengan ekspresi dijijik-jijikkan.
“Masalahnya, dia gak ngeliat sendiri kalo Hilda selingkuh ama cowok lain, Mamed. Yang ngeliat tuh only you, cuma lo. Trus lo ngasih taunya pake urat pula, so jangan salahkan Kang Juned, kalo dia gak percaya. Coba lo ngasih taunya pake bihun, daun sesin ama toge. Pasti dia makan tuh bakso. Ups, gak ada hubungannya ya…” Aku tertawa ngikik. Mamed melotot. Perasaan dari tadi adegannya melotot mulu. Gak ada kata lain apa, mencak-mencak kek, hentak-hentak kaki kek. Emang anak TK ngambek.
“Coba lo ngomongnya gak pake emosi, tapi tentrem karta raharja, trus lo ajak dia supaya dia ngeliat sendiri apa yang Hilda perbuat, bisa jadi dia akan percaya dengan kata-kata mutiara yang lo sodorin”
“Bisa jadi, Dey? Emang ada kemungkinan lain?”
“Ya, adalah dodol” semburku puas. Kapan lagi coba bisa membom dia. Gantian lah masa aku doang yang selalu dia bom dengan kata-katanya yang super pedas itu. Masakan Padang aja kalah pedes. Halah, apa sih. Segala masakan Padang dibawa-bawa. Emang lagi wisata kuliner ama Farah Quin.
“Meski Kang Juned udah ngeliat sendiri yamg dilakuin Hilda. Ada dua kemungkinan versi gue, Med. Pertama, putus karena gak terima diduain. Dan itu maunya lo kan. Yang kedua, masih tetap berlanjut karena Kang Juned maafin Hilda” ucapku berspekulasi.
“Najis amat kalo sampe Kang Juned masih maafin dia, Dey”
“Lo gak bisa ngomong sesadis dan senista itu pada orang yang lagi jatuh cinta, yang kata Titiek Puspa berjuta rasanya, Med. Lo kan belum ngerasaain sendiri kalo love is blank. Saking butanya. Dara juling disangka bidadari” ucapku sambil ngakak. Mentertawakan ucapanku sendiri.
Mamed mesem doang. Selera humornya masih menguap. Tertutupi dendam kesumat pada anak gadis ibu kost itu. Dara hitam manis yang terlihat sinis.
$$$

Pepatah mengatakan, serapat apapun bangkai ditutup, tetep kecium juga baunya. Orang bau ketek aja gak ditutupin tetep kecium. Halah, apa coba. Dan begitu juga ama hubungan Juned dan Hilda. Lama-lama, akhirnya ketahuan juga kalau selama ini Juned diduain ama tuh cewek. Tentu aja Juned murka abis. Semurka Pak Raden kalo kumisnya digundulin orang. Dan semua itu berkat campur tangan Mamed. Dan hubungan mereka pun bubar-bar-bar. Kayak orang lagi nonton layar tancep langsung bubar, pas hujan tiba-tiba aja mengguyur.
Juned memutuskan untuk kembali ke Cirebon, tempat kelahirannya. Untuk menentrakamkan hatinya yang terlanjur hancur berkeping-keping jadinya.kini air mata jatuh bercucuran. Hus, malah nyanyi.
Dan gak lama kemudian, Mamed pun menyusul jejak langkah sang kakak, dia undur diri dari pabrik sepatu. Meninggalkanku sendirian di kosan yang samar-samar tercium bau Mamed yang tertinggal di langit-langit kamar. Karena ia sudah kelewat muak ngeliat tingkah Hilda yang dimatanya super duper menjijaykan. Dia nyari kerjaan baru di Karawang. Dan dengan kepintaran otaknya juga keahliannya, gak lama dia pun mendapatkan pekerjaan.
“Betah lo disini, Med?” aku bertanya sambil menyelonjorkan kaki. Pegal. Setelah seharian ini melakukan perjalanan jauh menuju kosan Mamed di daerah Karawang. Betisku terasa membesar sampe ngalahin gedenya tales Bogor. Setelah tiga bulan kami gak bersua. Terpisah oleh jarak dan waktu.
“Lumayan, Dey. Minimal gue gak ngeliat muka Si Gemblong itu lagi. Yang diliat dari sudut mana pun gak akan pernah memancarkan keindahan sisi-sisi wanita” ucapnya seraya tersenyum. Dan ternyata dendam itu sudah mulai mencair.
“Sadis lu!” Aku lempar kepalanya pake bantal bola kesukaannya.
Dia tertawa. “Kerjaan gue lumayan enak, Dey. Teman-teman sepabrik gue juga asyik-asyik. Bahkan gue sekarang bisa akses internet selama gue kerja tanpa mengganggu kinerja gue. Facebookan gue gak pernah keluar duit” ucap si setan facebook itu dengan bangga.
“Kok bisa?” aku heran ngedenger penjelasannya itu. Dapet kerjaan enak amat. Bisa berselancar kedunia maya tanpa jeda.
“Bisalah. Gue” semburnya jumawa dan berkesan meremehkan. Asli songong abis.
”Syukur deh” aku ikut bahagia kalau sahabatku itu bahagia. Namun kebahagian yang baru kurasakan itu tak berlangsung lama. Jantungku serasa melorot, pas ngeliat Mamed mengambil bungkus rokok di kusen jendela. Menyalakannya dan mulai merokok dengan nikmatnya.
“Gak usah ngeliat gue kayak gitu deh, Dey. Gue jadi malu…” ucapnya kemayu. “Gue ganteng ya sekarang”
“Ganteng dari Majenang. Pengen muntah gue…” semburku keki. “Gue kaget aja ngeliat lo sekarang ngerokok, Med. Sejak kapan kegilaan ini dimulai?” ucapku dengan nada sakartis. Aku gak suka dengan kebiasaan barunya itu. Merokok. Satu hal yang sangat dibencinya saat ia masih tinggal bersamaku. Dan kebencian pada rokoklah awal kami dekat dan bersahabat. Tapi sekarang. What going on?
“Hentikan tatapanmu itu, Dey. Tatapanmu itu seolah menggerus tulang-tulang dalam tubuhku. Aku tau, aku bersalah padamu, karena aku telah berani-beraninya merokok dihadapanmu. Sekarang aku pasrah, hukum apa pun, aku siap menerimanya” ucapnya dengan lebay, ngikutin gaya sinetron kita yang menjijaykan.
Aku gak bergeming sama sekali mendengar gurauannya itu. Mamed benar-benar merasa gak enak hati sekarang.
Perlahan Mamed menghembuskan asap rokoknya keluar. “Sejak gue tinggal disini, Dey. Toh, gak ngerokok juga gue tetep ngisep asepnya dari temen-temen sepabrik gue. Jadi sekalian aja gue ngerokok. Bereskan. Gue juga udah mulai nyobain minum-minum, Dey. Ke pub, clubbing, dugem. Seru, Dey…” Dia nyerocos riang. Tanpa beban. Bangga sekali.
Aku lemas mendengar daftar panjang tentang apa yang dilakukannya sekarang. Padahal jelas-jelas apa yang dilakukannya itu amat sangat gak bener. Keblinger. Dan lama-lama dia bisa klenger kalo masih melakoninya.
Dia benar-benar berubah sekarang. Dulu, jangankan untuk minum-minuman keras, melihat orang merokok aja dia bereaksi keras, sama seperti aku. Tapi sekarang dia melakoninya, ditambah pula miras. Perutku serasa diremas-remas. Miris dengan kelakuannya itu. Betapa lingkungan sangat berpengaruh besar dalam perkembangan seseorang yang tergerus oleh arus zaman.
“Terserah lo, Med. Kalo lo mau merusak tubuh lo dengan nikotin itu. Itu urusan lo. Lo mo kena kanker, jantung, impotensi, bengek, turun bero, TBC, gangguan kehamilan pada janin itu urusan lo. Tapi tolong, ngerokoknya di luar sono. Jangan di depan gue. Enek surenek gue!” semburku emosi. Mendorong tubuh gempalnya supaya keluar. Lupa kalau ini kosannya, bukan kosan aku.
“Iya deh…” Ia menurut. Beranjak keluar. Duduk dikursi semen di depan kosan. “Tapi jangan ngedoain gue sesadis itu kali, Dey. Meskipun perbuatan gue nista dan sudra, tapi gue tetaplah manusia biasa. Ngeri gue dengernya. Bulu-bulu disekujur tubuh gue berdiri semua nih” ujarnya dengan wajah bergidik ngeri. Asli acting banget.
“Tapi lo masih mau kan bersahabat ama gue, Dey?” Ia bertanya dengan wajah serius. Penuh harap. Tumben dia punya koleksi sememelas itu. Dasar buaya cap karung.
Aku terdiam. Menghembuskan nafasku perlahan. Meredakan emosi yang berdiam dikepalaku.
“Sampai kapanpun kita akan tetap bersahabat, Med. Gak perduli meskipun sekarang lo jadi bocah yang keblinger dan nggak bener. Rusak serusak baju loakan di Pasar Senen, gue gak perduli. Karena diluar hobi baru lo itu, lo tetep Mamed yang dulu. Yang hobinya menjatuhkan gue, pembunuh karakter terdasyat diseantero bumi, suka nakut-nakutin gue, ngerjain gue, tapi tetep baik hati kalo gue minta ajarin yang berbau teknologi. Meski gue gak memohon”
Mamed cengengesan mendengar rentetan ucapanku yang menjatuhkan juga memujinya itu.
Terus terang mengenal Mamed adalah anugerah gak indah dalam hidupku hehe. Karena dia aku yang semula gagap teknologi jadi melek teknologi. Dia tidak pelit untuk berbagi ilmu yang diketahuinya. Entah itu untuk urusan otomotif, ponsel juga komputer. Karena kalau udah urusannya teknologi, Mamed lah jagonya. Darinya aku banyak belajar tentang semua itu.
Meski tak kupungkiri berteman dengannya membuatku was-was bin sport jantung kalo berada di tempat umum. Takut dia menjatuhkan mentalku dengan kata-katanya yang tepat menuju sasaran. Menusuk dan bikin gondok. Secara dia ahlinya membunuh karakter aku. Kalo di film Bajay Bajuri, dia tuh tokoh Emak versi laki-lakinya. Tau kan bagaimana sepak terjang Emak membunuh karakter Mpok Hindun, Mpok Mina dan tetangga-tetangganya yang lain? Hehe.
Belum lagi kebiasaan buruknya nakut-nakutin aku kalo lagi nonton film horor. Ugh, jangan ditanya deh, bikin ilfill banget.
Pernah pas kita lagi nonton film horor barat bareng yang judulnya Final Destination. Dia membohongi aku bahwa adegan yang akan aku tonton sama sekali gak ada adegan yang nyereminnya. Dia udah nonton duluan pas aku lagi shif satu. Walau satu pabrik tapi kita beda shif sodara-sodara.
Nah, aku percaya aja dengan mulut manisnya itu. Dan pas aku lagi enjoy-enjoynya menyaksikan adegan yang dimaksud, tiba-tiba aku melolong histeris. Pasalnya apa yang dikatakannya adegan yang biasa itu, ternyata luar biasa mengejutkan. Jantungku serasa melorot dibuatnya pas ngeliat kesadaisan yang terpampang didepan mataku.
“Dasar Mamed gilaaaaa…!!!.” Teriakku histeris sambil menyerbunya dengan bantal guling ditangan. Dan dia sangat menikmati banget kalau dia bisa membuatku histeris seperti itu. Itu tontonan favorit dia. Melihatku gak karu-karuan. Wajahnya akan berbinar puas. Matanya memancarkan cinta. Dan aku benar-benar tersiksa. Siapa dia? Ternyata Si Mamed gila! Ugh, bener-bener bikin keki dan gregetan banget. Gregetnya ngalahin Sherina nyanyi.
Kamar Bujang, 29 Juni 2010
“Cerita ini buat sahabat gue yang jauh dimata, jauh dihati. Ups salah, dekat dihati ding hehe. Karena ketemu dia hidup gue lebih berwarna. Love you so much friend! Semoga persahabatan kita gak akan berakhir meski jarak dan waktu memisahkan kita. Forever…”

MENJADI YANG TERAKHIR

Waktu baru aja nunjukin pukul 05.30 pas gue nginjekin kaki di Lampu Merah Balaraja. Dan sepagi itu gue udah dibuat emosi oleh ulah si Zein coz sedari tadi gue telpon gak diangkat-angkat, disms gak dibales pula. Sumpah mules deh gue. Belom lagi NSP dia yang berbunyi “Mau dibawa kemana hubungan kita…” enek gue dengernya, secara dia janjian ama gue tapi ngaretnya nauzdubillah. Gue jawab aja NSP dia dengan gondoknya “Mau dibawa ke neraka temenan kita…” dih, nyanyi deh gue.
Meski hati gedek setengah mampus, gue dengan berat hati terpaksa ninggalin dia en ngabur sendiri ketujuan semula. Yaitu ikut audisi yang mulainya jam delapan teng. Gara-gara running text yang ada di sebuah stasiun swasta yang mengiming-imingi pemirsa dengan duit satu milyar. Aku ngiler pengen coba-coba sebagai ajang iseng-iseng berhadiah. Secara di zaman serba susah gini, terutama nyari kerjaan, tiba-tiba duit satu milyar melambai-lambai di depan mata. Audisi, siapa takut hehe.
Setelah baca iklan itu hari jumatnya gue langsung kontek Zein, ngajakin dia ikutan tuh audisi. Karena dia juga demen ama yang namanya audisi-audisian yang berbaui keartisan itu, dia langsung setuju. Langsung deh kita ngedownload tuh formulir, trus di print. Sibuk foto copy ijazah, KTP, Kartu Keluarga, euleuh-euleuh kayak mo ngelamar kerjaan aja tuh syarat-syaratnya. Ditambah pula foto ukuran 4R pake gaya dan foto terbaru (ssssttt…tau gak, yang gue sodorin ke Mbak-mbak ditempat registrasi itu blas gak ada pake gaya-gayaan plus tuh foto jadul bekas gue ikut audisi oleh vocal yang nyucinya kebanyakan hehe) secara waktunya mepet banget, terpaksa yang ada aja deh yang dipake.
Dan syaratnya masih berlanjut. Kita disuruh buat karangan satu lembar ukuran A4 tentang siapa diri kita, dari sifat, kepribadian ampe motivasi ngikutin audisi itu. Duh, sakit kepala gue.
Balik deh keperjalanan gue menuju audisi. Gak lama kemudian akhirnya gue pun sampe di terminal Grogol. Trus dari situ gue nyambung lagi naik P6 Grogol-Rambutan. Pas keneknya teriak-teriak dengan suaranya yang bau-bau naga coz belom sikat gigi “Cawang, Cawang…!”
Buru-buru deh gue turun. Taunya gue turun di stasiun Cawang. Pas gue naik ke atas gue sampe di depan bangunan gede Menara Saidah. Pas gue tanya ama satpam yang jagain Menara Saidah, jl. DI Panjaitan dimana, dia gak tau.
Trus gue nanya ama seorang bapak yang lagi parkir mobil di depan Menara Saidah itu, dia jelasin sambil belagak mikir, suara kayak kumur-kumur gak jelas plus niup-niupin asep rokoknya ke gue. Sumpah, gedek banget gue. Udah kebanyakan gaya jawabnya, gak jelas pula jawabannya. Dasar semprul! Terpaksa gue balik lagi ke halte yang tadi coz tuh bapak perokok bilang harus ke Uki dulu.
Di halte itu gue denger kenek bus gak jelas nomer berapa teriak-teriak “Uki-Uki” langsung aja gue naik. Walo gue sempet kaget coz nama tetangga gue si Uki disebut-sebut hehe.
Takut kejadian kayak tadi, nyasar gitu. Gue parno banget naik tuh bus. Kepala gue udah tengok kanan-kiri buat ngeliat jl. DI Panjaitan kav 24, panjangnya leher gue udah ngalahin leher soang tetangga gue. Uyak-uyek kayak orang kena wasir. Dan gak lama kemudian, gue ngeliat tulisan jalan yang gue maksud, gue langsung stop. Meski belom jelas tujuan gue.
Lagi bingung-bingunya gue nyariin tuh tempat, tiba-tiba henpon gue getar-getar. Taunya si Zein sms katanya dia kesiangan en sekarang nyasar di Uki. Gue langsung telpon dia “Gue juga lagi bingung, nyasar pula. Any way, baswey lo cari jalan sendiri. Tar kita ketemuan disana”
Di halte deket gue turun tadi, gue nekat nyetop mikrolet 06. Trus gue tanya gedung yang gue tuju. Dia tau. Jalan tuh angkot. Belum juga gue duduk enjoy, tuh supir bilang “Ini kan tempat yang kamu tuju?”
Gubrak! Pengen deh gue pingsan. Gimana nggak kaget coba, tuh gedung yang gue tuju cuma beberapa lemparan tombak dari gue turun tadi.
“Euleuh-euleuh, Bang Supir…tau deket gini mah mendingan gue jalan, Bang…Bang…” Jakarta emang tempatnya orang nyari kesempatan dalam kebingungan, ya. Baru tau loh, kemana aja selama ini? Auk ah…
$$$
Pukul 07.30 gue udah nyampe di pintu gerbang tuh studio. Dan ternyata orang-orang dengan aneka rupa dan warna udah pada ngejogrok di tempat itu. Ada yang lagi lesehan, ngedeprok, berdiri di bawah pohon, ada juga yang udah duduk di deretan kursi-kursi. Dengan map-map merah ditangan. Seragam niye. Kompak amat tuh map. Taunya ada yang menggunakan kesempatan langka itu untuk menjual map. Laris manis. Hehe.
Tampilan orang per orang itu gak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Saking beragamnya. Tapi akan gue gambarkan yang tampilannya aneh, norak dan berani malu aja ya yang ingin gue share.
Tampilan pertama, cowok putih pake kaos oblong putih dibolong-bolongin, celana selutut disobek-sobek, bawa karung yang isinya makanan, minuman, map dll. Kalo boleh gue kasih nama kantong doraemon hehe. Plus topi pak tani alias caping. Gue kira tuh orang pengemis yang nyasar ke tempat audisi hehe. Salut deh berani malu.
Tampilan kedua, wanita berjilbab dengan aksesoris dari potongan-potongan bungkus mie yang dia buat untuk ikat kepala, ikat pinggang dan selempang yang sering dipake Putri Indonesia itu loh. Cuma bedanya, tulisan diselempangnya bunyinya Miss Daur Ulang.
Tampilan selanjutnya sih rada-rada senewen gitu, cewek masih muda tapi pake daster kayak emak-emak, trus cowok kemayu pake kaos kaki warna-warni dengan kemeja diiket bawahnya sampe udelnya keliatan. Dikiranya sexy meureun hehe.
Sisanyanya sih cowok-cewek yang tampil bak selebritis trendi, fungky, dendy tapi gak matching dandanannya. Tapi ada juga yang ganteng dan cantik bak selebritis beneran. Ada yang mirip Tata Dadah, Okky Look at deh, Opie tanpa Kumis, Azis gak pake Gagap, Aming Wetai, Rapih Amad, Vicky Burket, Adrian MauLagi, LumayatNa dll. Ada juga yang mirip artis luar loh. Kayak Harry Potter (kaca matanya doang), Rubeus Hagrid (endutnya doang), Harmionie (rambutnya doang) hehe.
Dan ada juga yang ancur banget baik dari segi tampilan juga wajahnya. Meskipun di make over tetep aja make sadnes hehe. Jahat banget sih gue. Tapi ada juga yang bersahaja, miskin papa tak berpunya hehe. Saking bersahajanya cuma pake sandal jepit. Dan tas kecampang. Hehe lo kira orang pedaleman, Dey. Gitu deh.
$$$
Jam 8.15 baru deh semua peserta audisi disuruh kumpul. Baris berbanjar persis anak-anak lagi main uler-uleran. Idih, kita dikerjain ama panitianya juga mau aja, secara kita sedang bermetamorfosa menuju milyuner hehe.
Saat baris-berbaris itulah gue udah bareng Zein. Dibarisan itu gue ketemu cowok yang logatnya asli Betawi banget. Namanya Adi. Anak Tangerang kota. Anaknya kocak abis. Dia pake dandanan yang gue kira penjaga parkir. Anaknya jujur abis, dia rela ngumbar kejelekan diri demi mancing ger tawa orang-orang dibarisan itu.
Selama baris ama tuh bocah, gue, Zein dan Dede anak Tasik yang mukanya Cina banget. Ngoceh mulu demi membunuh ketegangan karena gak tau test tulisnya apa, panas karena dijemur dibawah panasnya terik matahari, perut keroncongan karena belom sempat sarapan. Berpadu dengan alunan lagu theme songnya audisi yang digelar itu.
Inilah satu kesempatan untuk kita melangkah kedepan…
Biar berjuta rintangan, gue gak apal lagi hehe…
Tingkah polah orang-orang yang antri itu beragam banget. Ada yang cemberut, diem ngejubleg blas gak pake senyum, bercanda saling ledek dan menjatuhkan, ngakak-ngakak juga ada. Ada yang cinlok pula. Duh, sempet-sempetnya. Meski kulit udah terpapar panasnya matahari, keringat meleleh membasahi wajah dan pakaian. Hingga aroma minyak wangi, bau ketiak dan bau kentut ampe susah dibedain. Tapi semua tetap bertahan. Meski kaki udah kram kesemutan, pegel dan betis udah melar kayak tales Bogor. Semua tetap bertahan. Demi duit satu milyar.
Kalo gue sih ikut audisi itu cuma iseng-iseng berhadiah. Ngimpi banget kalo harus dapetin duit satu milyar. Dan dari awal juga udah gak yakin dapet. Tapi minimal bisa masuk lima belas besar aja udah beruntung banget. Ngarep. Nongol di teve dan meskipun keluar dipenampilan pertama. Minimal ada PH yang mau ngelirik untuk dijadiin objek menghasilkan uang. Penyakit gila nomer 12 “Kebelet jadi Artis” hehe. Ngomongin penyakit gila jadi keingetan novel nya Andrea Hirata, Maryamah Karvop.
Dan kalau pun gak lolos, minimal bisa dapet pengalaman dijemur ampe setengah gosong dan yang terpenting gue dapet temen-temen baru. Dengan banyak karakter. Dari yang alim ampe yang keblinger, dari yang diem ampe yang ember, dari yang lebay ampe yang malu-maluin, dari yang baru lulus SMU ampe yang baru lulus Sarjana. Dari yang rambut warna-warni ampe yang udah tumbuh uban. Semua numplek-plek jadi satu.
Dan semua penderitaan itu berakhir pas barisan sampai di depan registrasi. Dapet nomer. Duduk antri nunggu test tulis. Pas masuk untuk test tulis dikerjain lagi suruh teriak-teriak juga berhitung hehe. Test tulisnya 13 soal. 10 pilihan ganda. 3 essay. Harus dikerjakan selama 10 menit. Dan konsentrasi langsung buyar pas ibu-ibu yang bawa orok imut nangis kejer hehe.
Batin gue langsung miris, “Aduh ibu, demi duit satu milyar. Kau rela-relain bersusah payah seperti itu. Dan gak ngerti kemana kah suamimu hehe”
Test tulis usai gue kelaperan. Sibuk nyari WC. Sekali ketemu WC. Antrinya kagak nahan. Terpaksa Aku, Zein dan Dede nyebrang mencari WC dan masjid untuk sholat Dzuhur. Mana kendaraan yang hilir mudik itu ngebut-ngebut banget. Bikin sport jantung yang mo lewat.
Di masjid itu persamaan nasib menjadi pemburu duit 1 M, mempertemukan gue dengan dua orang yang datang dari luar Jakarta. Audisi. Yang satu dari Jombang namanya Dedi, tapi sekarang tinggal dan kerja di Bogor. Ngeliat Dedi adem banget karena selain pendiam juga lekat dengan kesederhanan. Tapi dia terobsesi banget untuk jadi selebritis. Karena pekerjaan yang dilakoninya sekarang, agak jauh dari menyenangkan. Ya kata lainnya mah, ingin merubah kehidupan. Kali aja beruntung.
Yang satu lagi dari Citayem blasteran Padang-Sunda, Dodi namanya. Mukanya India banget. Kulitnya item manis. Baru lulus SMK. Dan ikutan audisi ini pun dengan surat pengantar coz ijazahnya belom turun hehe. Umurnya baru 18 tahun. Rentan dengan perubahan. Masih labil. Dan masih mudah terpengaruh oleh lingkungan. Maklum, ia masih mencari jati dirinya yang konon hilang hehe.
Akhirnya gue, Zein, Dede, Dedi dan Doni melebur jadi satu. Dan diantara mereka berempat gue yang paling uzur hehe. Gue ama Dede yang ngakunya mirip Jonatan frizie, kalau kata gue sih versi bengebnya. Dan pengen dipanggil UJ. Kata Dedi sih “Ustadz Jablay” berbalas-balasan omong dari yang berbau porno, sara ampe yang gak pararuguh. Doni terkesima ampe kecapean dan bilang “Gue udahan…” tapi pas dengerin banyolan gue dan Dede, dia ikut lagi. Terus aja berulang.
Nah, ditengah bawelnya gue, Dede dan Doni sebagai supporter. Zein dan Dedi kompak jadi wasit hehe. Habis, mereka sama-sama pendiam. Ngomongnya kalo lagi disamber aja.
Semua berbagi pengalaman. Bercerita tentang ambisi, motivasi dan visi ke depan kalo mendapat satu milyar. Yang kalo didenger-denger, sumpah pada ngayal dan ngimpi banget. Semua berharap. Semua berdoa. Gak yakin dapet, tapi kepingin dapet hehe.
Setelah capek ngobrol sambil ngebunuh waktu, ba’da sholat Magrib. Kita berlima balik lagi ke Studio buat liat pengumuman lolos nggaknya kita dalam seratus besar. Semua harap-harap cemas. Berdiri berbanjar menuju satu titik dimana papan pengumuman menunggu wajah-wajah pemburu duit satu M.
Suara-suara seperti lebah mengudara.
“Lulus gak ya, gue..” ucap cewek berkepang disebelahku diucapkan pada temannya dengan wajah gak enak diliat saking ngarepnya.
“Duh, kakiku gemeteran nih…” cowok yang super endut dengan gaya serba gemulai urun suara. Badannya gelisah. Tangannya sibuk mengelap leleran keringat yang membanjir bak air bah diwajahnya. Hehe lebay abis.
“Aduh, saya kok deg-degan ya” Dedi sibuk ngecek henpon ngeliat jam.
“Kapan dimulainya sih…” Dede gregetan sambil mijit-mijit jerawat batunya yang mengkhawatirkan meletus saat itu juga. Gak tahan denger panitia yang kebanyakan omong. Melulu nanya ama peserta lolos apa gak tuh audisi. Mene khetehe. Batinku jengah. Justru semua bergerombol disitu kayak kaum duafa nunggu raskin itu karena nunggui pengumuman. Lu, lu pade malah ngebacot aje. Duh, kasarnya bahasa gue. Jangan masukin ati ya sodare-sodare hehe.
“Saya kebelet pipis nih, Dey” Zein buka suara. Dia tepat dibelakangku. “Kayaknya saya yakin, bahwa saya positif gak lolos” semburnya santai banget sambil semprot farfum kanan-kiri. Maklum, rata-rata yang ada disitu blom pada mandi. Termasuk yang nulis. Secara boro-boro mau mandi, WC aja gak ketauan dimana rimbanya. Mau sholat aja harus antri karena yang disebut mushola di samping Studio itu hanya seukuran jamban. Dan kalo ingin yang agak luas bin jembar, harus keluar gerbang. Itu pun kondisinya sangat sangat memprihatinkan. Kumuh, bau dan kurang terawat. Beda dengan kulitku yang selalu dihand bodiin. Apa coba.
Finally, berhenti juga tuh panitia berkoar-koar yang gak penting. Sekarang dia berteriak pake mega phon bahwa semua peserta dimohon segera bergerak. Jangan dorong-dorongan dan diutamakan ibu hamil, manula dan penyandang cacat. Hus, emang duduk di bus way apa hehe.
Dengan derap langkah seirama, seperti pasukan perang menyerbu kubu musuh. Wajah-wajah kumal pemburu duit 1M tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sekali dilukis, teriakan histeris dari yang lolos, desah kecewa dari yang gak lolos, nangis kejer peserta yang lolos, marah-marah dari yang gak lolos. Merajah udara yang pengap.
“Emaaaakkk, gue lolooooosss, 1 milyar mungguuin gue!” teriak suara cewek dengan cemprengnya membelah terangnya kota Jakarta. Melukiskan perasaannya saat kamera teve dan reporter menanyakan perasaannya yang haru biru.
Lolongan demi lolongan peserta yang lolos terus terdengar. Sementara itu jeritan histeris yang gak lolos pun berbaur menjadi satu.
Begitu pun wajah teman-teman baruku. Dede berulang kali berujar “Kok gue gak ngerasaain apa-apa ya. Gue gak apa-apa deh gak lolos” ucapnya dengan senyum getir.
“Bukan rezeki saya kayaknya” sumbang suara Dedi terdengar. Bauran kecewa yang terlukis diwajahnya gak bisa nutupin betapa kecewanya dia.
“Lemes kaki gue, Kang. Kok bisa gak lolos ya…” bisik Doni putus asa.
Sementara kuelus-elus pundak Doni agar menerima keadaan, mataku berkeliaran mencari sesok yang tiba-tiba aja menghilang. Zein. Sejak dia berucap “Gue gak lolos, Dey” dia menghilang dan gak jelas dimana rimbanya.
Saat aku dan yang lain berpencar, kebingungan nyariin Zein yang ngilang. Diantara hiruk pikuk beragam orang. Seorang reporter dengan mix ditangan, berikut sorot kamera yang menyilaukan mendekatiku.
“Lolos gak, Mas?” ucapnya dengan suara bak wartawan yang nanyain orang yang ketangkep basah bawa narkoba.
Aku menggeleng seraya tersenyum.
“Bagaimana perasaanya?” kejarnya saat diliatnya aku akan berlalu dari situ mencari jejak Zein yang hilang. Dan gak sopan banget. Lagi diwawancara juga. Duh, artis kali gue diwawancara.
“No coment, Mbak..” ucapku seraya berlalu dari cengkraman Miss Reportis. Duh, Desi Ratna Sari banget sih jawabanku itu.
Dan setelah kecapean ngubek-ngubek keberadaan Zein, yang menghilang tanpa jejak, akhirnya kami berempat mengambil keputusan untuk hengkang dari tempat itu. Dengan tenaga yang hampir terkuras. Klimaknya pengumuman barusan. Rame-rame kita naik mikrolet 06. Dede terus menuju Cijantung. Dedi, Doni dan aku turun di persimpangan Uki untuk menuju tujuan masing-masing.
“Tebakan, kira-kira siapa yang bakal sampe rumah duluan?” ucap Dedi iseng melawan bising P6.
Doni diam. Masih belum menapak bumi. Harapannya untuk menjadi yang TERAKHIR kandas.
“Kayaknya kamu deh” jawabku pas inget dia bicara bahwa perjalanannya menuju Bogor dari Stasiun Cawang hanya ditempuh dalam waktu satu setengah jam.
Ternyata dugaanku salah. Pas aku udah mandi dan udah seger lagi. Lagi rebahan di tempat tidur. Sms dari Dedi masuk.
“Aku baru sampai nih…capek banget” begitu bunyi smsnya.
Ternyata dia menjadi yang terakhir sampai rumah. Aku juga tetap menjadi yang terakhir (anak bungsu) di rumah. Hehe. Benar-benar hari yang melelahkan, setelah berjuang audisi untuk menjadi yang terakhir.
Kamar Bujang, Senin, 28 Juni 2010

Rabu, 23 Juni 2010

Bookoholick

“Udh sampe mana, Kang? Gigih udh nympe CL nih…”
Sederet sms yang Gigih kirim menyambangi inbox ponselku saat aku masih berjibaku dengan kemacetan di jalur yang menuju Grogol berlawanan arah dengan Puri Kedoya. Hujan yang mula-mula hanya gerimis tak lama kemudian langsung mengguyur deras, seolah ditumpahkan begitu saja dari kemahaluasan langit.
Beberapa penumpang mulai berdesas desus lirih saat kemacetan di jalan sempit namun dipakai dua jalur itu semakin parah. Tersendat dan maju hanya selangkah dua saja.
“Kenapa lewat jalan sini sih?”
Seorang bapak gagah berumur empat puluh tahun disebelahku bertanya lirih kepadaku. Aroma cologne-nya lumayan menyengat. Ia heran kenapa mobil merah itu tak memakai rute seperti biasanya. Bukan memasuki tol Kebun jeruk tapi malah keluar jalur melewati depan Universitas Indonesia Esa Unggul.
“Supaya nggak bayar tol kali” jawabku asal dan berkesan bodoh sambil melirik bapak itu. Tanganku sedang asyik bermain dengan keypad ponselku, membalas sms dari Gigih.
Bapak dengan rambut yang sudah ditumbuhi beberapa helai uban itu tertawa tertahan. “Kan udah bayar tol tadi, mau bayar di tol mana lagi…”
Iya juga ya, oon amat gue, bisik hatiku geli.
“Supaya nggak macet aja sih. Biasanya kan rute sini lumayan lengang. Taunya malah tambah macet” jawab seorang ibu subur disebelah bapak tadi mewakiliku yang masih sibuk dengan ponselku.
Mobil merah yang kutumpangi itu semakin tersendat. Resah dan gelisah mulai menjalariku. Menciptakan hawa panas ditubuhku meningkat. Aku kegerahan. Iseng kubuka jendela mobil sedikit, namun langsung kututup lagi karena titik-titik hujan langsung menyerbu masuk.
“Gigih nunggu di Gramed aja ya…! Sebentar lagi ane juga nyampe” Sms balasan itu kukirim saat ia kembali menayakan keberadaanku. Sementara itu mobil merah itu telah memasuki kawasan Mall Taman Anggrek.
Saat mobil itu berhenti di halte Citra Land, hujan masih mengguyur dengan lebatnya. Dimana-mana payung terkembang. Beberapa pengojek payung menawariku. Cepat aku menggeleng. Lalu aku pun melesat menerobos lebatnya hujan juga jalanan yang digenangi air. Tubuhku lumayan kuyup saat aku sampai dipelataran Mall Ciputra.
Dengan tubuh yang lumayan kuyup, aku pun melangkah memasuki mall itu. Dingin dari pendingin ruangan mall langsung menyergapku. Dan langsung menjalari tubuhku.
Setelah bertemu dengan Gigih aku langsung mengajaknya menuju food court, makan. Dengan suasana dingin seperti itu mengisi perut dengan semangkuk mie pangsit dan ditemani segelas teh hangat rasanya pasti enak sekali.
Setelah sholat Dzuhur aku dan Gigih langsung menerobos gerimis menuju halte Jelambar menuju Gelora Bung Karno Senayan untuk mengunjungi Islamic Book Fair. Dan kami harus rela bergelantungan, berdesakan dan terkumpal-kampil di dalam bus way. Bisa duduk dengan nyaman setelah bus way transit di Harmoni lalu berganti bus way lain yang kosong. Namun saat bus way berhenti di Sarinah seorang ibu dengan anak lelakinya masuk. Ekor mataku melihat stiker yang berbunyi kurang lebih begini “Dahulukan lansia, penyandang cacat, wanita hamil dan wanita”. Iseng kutawari ibu dan anaknya itu.
“Nggak usah, Nak. Terima kasih…” tolak ibu itu halus sambil tersenyum. Sementara itu suara opereter bus way terus menerus berbunyi di setiap pemberhentian dengan “Next stop bla…bla…bla…ceks your belonging bla…bla…bla…”
Tiba-tiba suara Sherina dengan Jalan Cinta-nya menjerit-jerit dai ponselku. Panggilan masuk dari Teh Alit.
@@@
Saat sampai di gedung pameran buku, pernak-pernik dan hiasan-hiasan warna-warni stand-stand langsung menyambutku. Setiap stand bertuliskan nama penerbit bukunya. Tulisan-tulisan itu terbuat dari Styrofoam yang telah diwarnai.
Aroma buku-buku baru itu langsung meraup memenuhi pernafasanku. Dan membuatku langsung bergairah. Untuk segera menjamahnya.
Aku dan Gigih langsung berpisah. Gigih mencari VCD nasyid dan film perjuangan Palestina dan Afganistan, sementara itu aku langsung menuju stand demi stand untuk berburu buku murah. Menuntaskan hasrat beli buku yang membuncah didada.
Kepalaku langsung pening saat menerobos orang-orang yang berduyun-duyun memenuhi lorong-lorong pameran. Bukan pening karena banyaknya pengunjung tapi karena melihat banyaknya bandrol buku yang bergelantungan dengan harga yang bervariasi. Dimulai dari harga lima ribu untuk satu buku, sepuluh ribu untuk tiga buku hingga yang ratusan ribu pun ada. Bertebaran dimana-mana. Belum lagi diskonnya gila-gilaan. Ada diskon yang delapan puluh persen. Bagaimana kepalaku tidak pening coba.
Baru lima belas menit aku menjelajahi stand demi stand, plastik demi plastik sudah menggelantung ditanganku. Dan aku mulai dibuat kerepotan menentengnya.
Aku yang setiap membeli buku di toko buku harus membaca sinopsisnya terlebih dahulu, kali ini aku mengesampingkan kebiasaanku itu. Aku langsung menyambar buku demi buku yang menurutku bagus lalu menuju kasir. Lalu bergerak lagi menyusuri gang demi gang, stand demi stand tanpa kenal lelah dan seperti orang kesurupan. Bukan kesurupan setan jahat, tapi setan buku hehe. Terus saja begitu.
Aku benar-benar berhenti setelah kelelahan mengelilingi semua stand di pameran buku itu. Juga saat sayup-sayup kudengar suara adzan Ashar berkumandang. Dan membuat aku yang kesurupan setan buku itu tersadarkan.
Gigih hanya nyengir melihat aku yang sudah duduk kelelahan di atas tribun dikelilingi plastik demi plastik berisi buku yang bertumpuk disebelahku.
“Habis berapa, Kang?” Tanya Gigih sambil menyerahkan sebotol minuman segar kepadaku.
Aku nyengir. Dan menyebutkan nominal yang telah kuhabiskan untuk buku-buku itu.
Gigih hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar penjelasanku itu. “Sebenarnya Kang Dey sama Gigih itu punya kesamaan loh, Kang” ucapnya mengerling jenaka.
“Iya sama-sama manusia kan” tebakku asal sambil menyelonjorkan kakiku yang pegal bukan main. Sementara itu mataku berkeliling menatap orang-orang yang sedang duduk di tribun untuk melepas lelah. Ada yang sedang mengobrol, membaca buku, mengemil makanan ringan juga ada yang sedang membongkar hasil berburu bukunya.
“Bukan itu, Kang. Tapi sama-sama gila belanja. Kang Dey gila, kalo udah liat buku, kalo Gigih…”
“Gila kalo udah liat kaset dan VCD perjuangan Palestina dan Afganistan” serobotku terkikik geli.
“Ashar yuk, Kang!” ajak Gigih setelah kepenatan kami hilang tertelan obrolan iseng itu.
Aku mengiyakan ajakannya. “Masih punya duit nggak, Dek? Ane mau pinjem…” ucapku sambil menyelip diantara hilir mudiknya pengunjung pameran.
“Ada. Tapi nggak banyak”
“Abis Ashar ane masih pengen beli buku lagi. Duit ane tinggal buat ongkos nih…”
Gigih terbelalak. “Mau beli lagi?” Aku mengangguk.
“Gigih juga mau nyari VCD Palestina lagi, jadi gigih cuma bisa minjemin Kang Dey…” Ia menyebutkan sejumlah uang yang bisa ia pinjamkan padaku. Meski terlalu sedikit jumlah yang ia sebutkan itu tapi aku menyetujuinya. Dari pada aku gegetun seumur-umur karena pulang dengan tidak membeli buku yang aku inginkan.
Aku terbeliak saat sampai di tempat wudhu. Antriannya nauzubilah panjangnya. Mengalahkan antriannya Ponari. Seorang dukun cilik dari Jombang yang dianggap sakti karena mendapatkan batu saat ia pulang sekolah hujan-hujanan. Dan konon katanya batu itu sangat bertuah bisa mengobati berbagai macam penyakit. Begitulah yang diberitakan dengan marak dan gencar oleh media masa maupun elektronik belakangan ini.
Setelah lima belas menit berkutat dengan antrian wudhu yang maju selangkah demi selangkah itu. Aku pun bisa bernafas lega bisa berwudhu dan bebas dari antrian itu. Namun kembali aku terbeliak saat dihadapkan pada antrian sholat yang tak kalah panjang dari wudhu tadi.
“Panjang banget, Dek. Keburu abis ini mah asharnya” gerutuku sambil ikut-ikutan mengantri. Dan membetulkan letak tasku yang melorot terus karena beratnya beban yang aku bawa.
“Sabar, Kang. Anggap aja kita lagi mabit di Mina hehe…” gurau Gigih konyol.
@@@
Sabtu, 28 Februari 2009

Cerpenku "PUING-PUING HATI MEWARNAI GAZA"



Pagi baru saja merekah. Angin utara pegunungan al-Jarmaq berhembus mengelus tanah-tanah sengketa Palestina.
Kesibukan baru saja dimulai di sebuah rumah mewah di kawasan itu.
“Ayah, Ibu…aku pamit! Aku akan pergi meninggalkan rumah ini” ucapku tegas dan lantang sambil meletakkan bawaanku.
“Apa maksudmu dengan meninggalkan rumah ini, David?” ibuku berseru kaget.
“Apakah kau mendapat tugas pertamamu sebagai seorang dokter?” ayahku tak kalah kaget.
Aku menghela nafasku dan menghembuskannya perlahan.
“Aku sudah muak tinggal di rumah mewah ini. Sementara itu, di luar sana banyak orang-orang Palestina yang kedinginan dan kelaparan. Di kamp-kamp pengungsian” ucapku dengan penuh penekanan.
“Apa urusan kita dengan semua itu. Itu memang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka memang tidak berhak untuk tinggal di bumi Kanaan ini. Ini tanah milik kita, tanah yang dijanjikan untuk kita” ucap ayah tak kalah sengit.
Aku tersengat mendengar perkataan itu. Rahangku mengeras. “Sadarkah Ayah dengan perkataan Ayah barusan? Ini tanah mereka Ayah. Kita yang telah merebut dan mengusir mereka dari tanah milik mereka sendiri. Lupakah Ayah bahwa kita hanyalah seorang pengungsi? Dan kitalah yang menumpang hidup di tanah mereka ini” ucapku berapi-api.
Yitzak Brehim terdiam. Ia sama sekali belum lupa. Masih lekat dalam ingatannya saat pertama kali ia bersama istri dan anaknya meninggalkan Eropa untuk memulai kehidupan baru di bumi tanah Palestina ini. Waktu itu tahun 1967. Israel mengalahkan Arab dalam peperangan selama enam hari dan Israel pun mencaplok Tepi Barat dan Jalur Gaza. Untuk dijadikan daerah kekuasaannya.
Dan menjelang pertengahan tahun tujuh puluhan, warga Palestina diusir secara paksa dari tanah mereka. Karena mereka bersikeras tidak mau menjual tanah-tanah yang mereka miliki pada Israel. Mereka merampas tanah-tanah warga Palestina dimulai dari Acre, Haifa, Yafa dan Beef Sheba hingga terus merangsek ke Jalur Gaza, Mughrabi, Jerusalem, Ramallah, Tepi Barat, Tel Aviv dan seterusnya.
Cara-cara keji pun mereka lakukan agar warga Palestina pergi dari tanah mereka. Dengan cara menghancurkan dan meluluhlantakkan pemukiman mereka dengan bom. Lalu merebut perkebunan-perkebunan mereka yang luas dan subur yang mereka tanami anggur, gandum dan tanaman-tanaman lainnya.
“Lalu kau akan pergi kemana, anakku?” wanita itu memecah hening ruangan. Sorot kekhawatiran nampak diwajahnya.
“Ke tempat dimana mereka membutuhkan pertolonganku , Bu”
“Untuk apa kau lakukan itu, David?”
“Untuk merasakan kerasnya hidup yang mereka rasakan dalam kesusahan dan kesengsaraan yang telah bangsa kita ciptakan. Juga menolong mereka yang membutuhkan bantuan medis, Bu” Jawabku tegas.
Yitzak Breim mendengus. “Konyol sekali apa yang akan kau lakukan itu, David. Kelakuanmu itu tak akan mengubah apa pun yang telah terjadi di bumi ini. Karena selamanya, tanah ini akan menjadi milik kita. Camkan itu. Seandainya mereka bersikap bijak, meninggalkan tanah ini secara sukarela, maka peperangan ini takkan terjadi” ucapnya dengan wajah pongah dan bengis.
Aku menatap lelaki itu dengan penuh kebencian. Darah Yahudi yang mengalir ditubuhku sama sekali tak membuatku bisa bengis seperti ayahku juga bangsaku yang menetap di Palestina ini. Aku tak sudi menjadi bagian dari mereka.
Tanah Palestina ini adalah tanah wakaf umat islam sejak masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang di dalamnya ada masjid Al-Aqsa. Masjid Al-Aqsa di Tepi Barat adalah kiblat pertama umat islam sebelum Masjidil Haram. Dan tak ada seorang pun di dunia islam rela Al-Aqsa diambil oleh pihak lain. Begitulah dulu Abu Hisyam, ayahnya Amru menceritakan itu kepadaku sewaktu aku masih kecil.
“Aku benci peperangan ini. Aku sudah muak dengan segala kebiadaban yang dilakukan bangsa kita ini pada mereka, Bu. Untuk itulah aku akan membantu mereka dengan seluruh kemampuan yang aku miliki” ujarku geram. Urat-urat dipelipisku berdenyut-denyut.
Wanita itu mendesah. “Tak ada satu orang pun yang tidak membenci peperangan, anakku. Peperangan hanya melahirkan kehancuran, kenistaan, kemelaratan, dan penderitaan. Perang hanya membuat orang kehilangan kaki, tangan, keluarga, rumah juga segala yang berbentuk materi juga menghancurkan mental. Tekanan demi tekanan yang menghimpit bisa menciptakan trauma berkepanjangan yang membuat mereka diambang kegilaan. Banyak wanita yang putus asa karena kehilangan kerhormatannya. Dan anak-anak kehilangan masa depannya. Dengan dampak sebesar itu siapa yang menginginkan peperangan, Nak” ucap wanita itu sendu.
Ibu ternyata masih ingat sejarah kelam yang diceritakan oleh kakeknya, pada Perang Dunia II saat tentara Jerman melancarkan aksi pembunuhan besar-besaran pada kaum Yahudi yang dikenal sebagai Holocaust.
Aku tersedu. “Lantas mengapa perang ini terus berlangsung, Bu. Bila telah nyata akibat apa yang ditimbulkannya. Mengapa kita kaum Yahudi tak bercermin pada sejarah kelam itu”
“Karena kita mempertahankan tanah milik kita bodoh” serobot lelaki itu dengan wajah memerah. “Kau orang Yahudi tapi mengapa pemikiranmu lemah dan dangkal seperti orang-orang tolol Palestina itu. Ah, mungkin karena selama ini kau terus-terusan bergaul dengan ank-anak si Hisyam itu. Sehingga kau termakan bualan mereka dan kau pun menjadi lemah dan dungu seperti mereka”
Aku semakin tergugu saat mendengar lelaki itu menghina keluarga sahabatku, Amru Abdulah putra dari Hisyam Abdulah.
Awal saat kami bermukim di Palestina ini dan saat itu Israel belum berbuat biadab seperti saat ini. Keluargaku dan keluarga Amru hidup dengan rukun dan berdampingan. Aku sering diajak ke ladang paman Hisyam, bersama Amru. Untuk bermain-main diladang-ladang gandum yang subur milik mereka. Kami juga selalu bersama-sama pergi ke sekolah. Juga bermain-main di gerbang Jaffa.
Persahabatan kami begitu tulus meski kami sadar bahwa kami berbeda keyakinan. Namun hubungan kami begitu erat, tak surut oleh perbedaan itu. Bahkan kami seperti saudara kandung.
Namun sejak Abu Hisyam, istrinya juga adik-adik Amru, Akmal dan Kamal dibunuh tentara Israel. Aku tak pernah bertemu lagi dengan sahabatku itu. Ia diselamatkan oleh Abu Hanim, pamannya. Entah dibawa kemana. Dan sejak saat itu aku belum pernah berjumpa dengannya lagi.
“Sudahlah, David. Kau tidak usah repot-repot memikirkan penderitaan mereka, akibat kebodohan mereka sendiri. Sekarang kita nikmati saja kemegahan hidup di tanah milik kita ini” Lelaki itu menyeringai penuh kepuasan.
“Harus berapa kali kukatakan Ayah, bahwa ini adalah tanah milik mereka. Dan kitalah yang telah merampasnya dengan paksa dari mereka” lengkingku geram.
Plak! Plak! Tamparan keras lelaki itu mendarat di wajahku. Aku terjengkang. Darah merembes dari bibirku. Asin tersentuh lidahku.
“Lancang sekali mulutmu…!” teriaknya murka dengan suara membahana. Otot-otot pelipisnya bertonjolan.
“Hentikan, Yitzak! Apa yang telah kau lakukan pada putra kita” Ibu berteriak histeris seraya memburuku. Ia marah sekali. Melihat perlakuan ayah padaku.
“Dia bukan putra kita lagi, Sidva. Seorang Yahudi sejati tidak akan mengolok-olok bangsanya sendiri dengan perkataan-perkataan keji seperti itu. Dia telah menjadi duri dalam daging di dalam bangsanya sendiri” ucap lelaki itu meluap-luap.
Aku bangkit dibantu ibuku. “Aku juga tak sudi menjadi bagian dari bangsa yang haus darah akan milik orang lain, hingga mampu mengorbankan nyawa-nyawa manusia yang tak bersalah. Kekejaman itu terjadi di depan mata kita, namun kita hanya menjadi penonton saja. Terlebih dengan apa yang diberitakan CNN, BBC, Fox dan The New York hanya memutarbalikan fakta saja. Kita tau betapa pembohongnya mereka itu. Dan aku sudah muak dengan semua ini…” cerocosku meluap-luap. Aku lelah.
Lalu aku menyambar ranselku dan bergegas meninggalkan rumah mewah yang dibangun di atas tanah rampasan itu.
♥♥♥
Aku sedang mengangkat serpihan-serpihan bom di kaki seorang ibu, tanpa anestesi. Malam tadi dalam kabut udara dingin, dentuman rudal membelah langit kota Gaza. Memburaikan jasad-jasad tak berdosa hingga menyerpih. Menghancurkan bangunan-bangunan hingga tak berpuing. Dan meninggalkan asap legam membumbung. Serta bau mesiu menyatu dengan anyir darah.
Setelah membersihkan luka-luka wanita yang malang itu, aku menatap seorang anak yang penuh darah terbaring di dipan. Ia baru saja menghembuskan nafasnya. Dan ia pasien yang kesepuluh yang meninggal pagi itu.
Setiap hari belasan pasien meninggal dalam rumah sakit ini. Sejak Israel membombardir Jalur Gaza. Obat semakin langka karena kurangnya fasilitas. Israel memblokade jalan-jalan utama sehingga bantuan obat-obatan dari luar terhambat.
Seandainya ketiadaan obat-obatan ini bisa terpenuhi, pasien-pasien itu bisa diselamatkan. Sehingga aku tidak terus menerus menyaksikan kematian demi kematian terjadi dihadapanku. Hingga aku diambang keputusasaan.
“Aku muak dengan peperangan ini, Yassir. Seharusnya peperangan ini tidak pernah ada. Sehingga orang-orang ini tak akan pernah menjadi korban” keluhku pada rekanku, Yassir.
“Aku rasa bukan kau saja yang sudah muak dengan peperangan ini, David. Tapi kami semua orang di Palestina ini juga sudah muak dengan peperangan. Terlebih kami yang harus teraniaya di negeri kami sendiri. Kami juga ingin bebas dari semua kebiadaban ini dan hidup damai” tukasnya sambil memasang infusan dan memberikan suntikan efinefrin pada pria yang terbaring di lantai. Sindiran itu telak mengenaiku.
Aku segera bersandar ke dinding saat guncangan besar terasa melanda ruangan itu. Akibat rudal yang dilontarkan serdadu-serdadu Israel.
Dokter dan perawat terus hilir mudik dengan kesibukannya masing-masing. Semua tampak kelelahan. Maklum dalam keadaan seperti ini tak ada waktu lagi bagi kami untuk memikirkan nikmatnya tidur. Bahkan makanan yang kami makan pun benar-benar alakadarnya. Suplai makanan semakin menipis.
Bahkan ada juga dokter dan perawat yang gugur saat bertugas ke luar Rumah Sakit. Saat memberikan pertolongan pada orang-orang yang terjebak di reruntuhan Gaza.
“Lalu mengapa kau masih disini, David? Mengapa kau tidak pergi saja ke luar dari negeri ini. Bukankah kau bisa pergi kemana saja kau suka. Israel akan memudahkan semua urusanmu untuk hengkang dari sini, bukan?” ucap Yassir sengit.
Aku terhenyak mendengar perkataan Yassir. Namun aku tak bisa menyalahkannya. Kegetiran hiduplah yang telah memaksanya berbicara demikian.
“Aku tidak bisa, Yassir. Aku tidak bisa meninggalkan peperangan ini juga negeri ini. Banyak yang membutuhkan pertolonganku. Aku ingin membayar setiap tetes darah yang telah dikeluarkan bangsa Palestina akibat ulah kekejaman bangsaku. Aku akan membayarnya meski aku harus mati karenanya” tekadku bulat dan kuucapkan kata-kata itu dengan suara serak. Bulir-bulir bening menggenangi wajahku yang kusam, telah beberapa hari ini aku tak menemukan air meski hanya untuk membasuhnya. Dan siapa yang perduli.
“Maafkan aku, David…” Yassir menyentuh bahuku. “Aku tau kau berbeda dengan mereka” ucapnya menentramkan perasaanku. Aku merasa diterima. Lalu kami pun melanjutkan pekerjaan kami menangani gelombang pasien yang dipapah ke rumah sakit ini, terus datang silih berganti.
♥♥♥
Sore itu aku melihat seorang pemuda sebayaku dibawa di atas usungan, lalu di letakkan dilantai begitu saja. Banyaknya korban luka-luka yang dibawa ke rumah sakit, sehingga tak ada lagi tempat yang tersisa kecuali di lantai.
Perlahan aku dekati pemuda itu. Ia meringis menahan sakit akibat luka-luka dikakinya. Sebagian wajah pemuda itu tertutup lelehan darah akibat luka parah dikeningnya.
Perlahan kubersihkan luka-luka diwajah pemuda itu dengan cairan antiseptik. Aku terperanjat saat mata pemuda itu bersirobok dengan mataku. Tanganku bergetar. Mata dengan sorot tajam dinaungi alis yang lebat itu adalah mata seorang sahabat yang selama ini selalu kurindukan kehadirannya. Sepasang mata itu milik Amru Abdulah.
“Am…Amru…” susah payah kusebut namanya. Aku tak percaya kalau aku bisa bertemu dengannya lagi. Dalam situasi seperti ini.
Ia juga terkejut. Namun, mulutnya terkatup rapat. Sorot matanya penuh dengan kebencian. Tak kutemukan lagi wajah persahabatan disana.
“Jangan kau sentuh kulitku dengan tangan najismu itu” ucapnya keras seraya menepis tanganku dengan kasar.
Aku terperanjat. Tubuhku terjajar ke belakang. Aku tak percaya kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang sahabat yang selalu kurindukan. Ia telah berubah. Kedasyatan perang telah merubahnya. Menjadi sosok yang keras.
“Mengapa kau menyakitiku dengan ucapanmu itu, Amru. Apakah kau sudah melupakan persahabatan kita?” ucapku mengais harapan yang mungkin saja masih tersisa.
Amru meludah. “Aku hanya menyakitimu dengan perkataanku. Tapi kau dan bangsamu yang rakus kekuasaan itu telah menyakiti jiwa dan ragaku. Sehingga aku harus terusir dari tempat tinggalku sendiri, kehilangan keluargaku, terlunta-lunta dan menjadi gembel di negeriku sendiri” ucapnya getir. Sorot matanya terluka.
Dua bulir bening menggenangi mataku. Ternyata sakit yang kurasakan memang belum seberapa dibandingkan dengan segala sakit dan penderitaan yang dialami Amru.
“Kau tak usah mengeluarkan air mata buayamu itu. Karena itu tak akan mengubah apa pun yang telah terjadi dan sedang berlangsung ini. Kau hanya bisa mengeluarkan air mata saja, sedangkan aku sudah tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Karena air mata itu telah menjadi tetesan darah”
Aku semakin tergugu mendengar ucapannya yang tajam dan menusuk. Kekejaman perang telah merampas kelembutan yang dimilikinya. Benar-benar sudah tak bersisakah persahabatan itu?
“Aku juga tak pernah menghendaki peperangan ini terjadi, Amru” ucapku tersendat. “Aku juga benci dan muak dengan peperangan ini. Kalau pun harus ada yang menderita atas peperangan ini seharusnya orang-orang di atas, bukan warga sipil. Seandainya aku punya kuasa, aku juga ingin menghentikan peperangan konyol ini”
“Bukan hanya konyol, tapi ini biadab dan diluar ambang batas kemanusiaan…” ucap Amru penuh tekanan dengan sorot mata berkilat-kilat. Menohokku.
Aku terpekur. Harus dengan cara apakah aku bisa mengembalikan persahabatan itu kembali. Tidak tahukah ia, bahwa aku sangat merindukannya. Ingin aku memeluknya. Untuk meleburkan segala penderitaan yang dialaminya. Agar aku juga bisa memikul semua yang dideritanya.
“Maafkan aku, Amru. Maafkan atas segala kekejaman yang telah diperbuat bangsaku” ucapku serak, sepenuh hatiku.
Amru memalingkan wajahnya. “Maafmu tak akan mengubah apapun”
“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kau mau memaafkan aku, Amru” teriakku emosi. Tenggorokanku sakit. Tidak tahukah ia bahwa aku juga menderita akibat peperangan ini. Terutama jiwaku. Aku juga lelah dan putus asa.
Amru tersentak. Lalu ia menatap ke arahku, namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun.
“Aku juga menderita atas peperangan ini. Hampir setiap hari aku menolong orang-orang di rumah sakit ini. Belasan, puluhan bahkan ratusan. Datang dan pergi silih berganti. Dan banyak yang tak bisa kuselamatkan. Mereka satu persatu mati dihadapanku. Hingga aku merasa kehadiranku sebagai seorang dokter tidak berguna sama sekali. Padahal kuselamatkan jiwa-jiwa mereka agar aku terbebas dari rasa bersalah yang menghimpitku akibat peperangan yang ditimbulkan oleh bangsaku ini. Aku juga tak berdaya…aku juga menderita…memikul rasa bersalah ini…” aku tersengal-sengal, terbawa emosi oleh perkataanku yang syarat akan kepedihan.
“Aku mengatakan semua ini padamu, bukan berarti aku membenarkan perbuatan mereka. Tidak, sama sekali tidak. Bahkan hampir setiap detik dalam kehidupanku, aku mengutuk perbuatan biadab yang mereka lakukan. Lalu aku harus bagaimana, Amru? Aku rela mati ditanganmu, kalau itu bisa menebus semua kesalahan yang diperbuat bangsaku. Jadi tolonglah, maafkan aku…” ucapku tersedu-sedu. Wajahku basah oleh air mata.
“Apakah maafku itu penting bagimu?” tanyanya pelan. Setelah kebisuan melanda kami. Hanya dentuman bom diluar sana terdengar memekakkan telinga. Dan meninggalkan getaran pada lantai yang bergelombang.
Aku tersentak. Kutatap matanya. Sekilas masih kulihat pendar harapan disana. Harapan dari maaf yang aku butuhkan.
“Sangat penting. Dan itu sangat berharga bagiku. Aku tak perduli meski seluruh dunia mengutukku, asal kau jangan membenciku. Dan kau mau memaafkanku dan menjadikanku sebagai sahabatmu kembali” ucapku tegas dan penuh harap.
Ia terdiam sesaat lamanya. Lalu ia menghela nafasnya. “Aku sudah memaafkanmu, sebelum kau memintanya padaku, David…” ucapnya seraya menyebut namaku. Senyum dari wajah tampan Amru melingkupiku. Berpendar memenuhi dadaku.
Air mataku berloncatan membasahi wajahku. Aku menangis dan terus menangis. Tubuhku tersungkur. Aku bahagia. Ucapannya itu lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Perlahan kurasakan tangan kokoh itu merengkuhku dan membawaku dalam pelukannya yang hangat, penuh rasa sayang dan persahabatan.
“Aku…aku malu. Sangat malu padamu, Amru. Malu pada perbuatan biadab bangsaku…” ucapku seraya mengeratkan pelukanku.
“Kau tidak salah, David. Kau tetap sahabatku. Dan kita akan tetap bersahabat, hingga ajal menjemput. Dan meski perang ini telah merobek-robek kenangan indah persahabatan kita. Aku tak menyalahkanmu. Maafkan ucapan kasarku, ya…” bisiknya sambil mengeratkan pelukannya, seolah akan menyatukan degup jantung kami dalam irama yang sama.
“Sepanjang masih ada yang memerangi dan menganiaya kami, tak ada jalan lain untuk menghadapinya selain dengan perang. Perang memang kadang-kadang tak bisa dihindari. Tapi yang paling penting, jangan sampai ada perang dihati kita ya…” ucapnya bijaksana.
Aku terharu mendengar ucapannya itu. Kehampaan yang selama ini mengikatku, perlahan namun pasti simpul-simpul itu terlepas. Dan membebaskanku dari kungkungan rasa bersalah yang selama ini membelengguku.
Sementara itu di luar sana tank-tank lapis baja dan tentara-tentara menyandang senapan AK 47 berjaga ketat. Dentuman bom dan rudal yang dilakukan serdadu-serdadu Israel dengan pongah masih terus terdengar. Membelah pekatnya malam di Jalur Gaza. Sepetak wilayah yang selalu dipenuhi jelaga hitam asap mesiu serta kepulan debu. Bumi tempat ribuan nyawa telah mengusung leleran darah dan air mata. Bumi para syuhada. Dan memetakannya sebagai sebidang tanah tempat kebiadaban sejarah umat manusia yang terus berlangsung entah sampai kapan.
♥♥♥
*Paragraph 21 minjem kata-kata milik penulis yang saya kagumi, Mbak Sinta Yudisia dari cerpen Cadas-cadas Kebencian*

Jumat, 22 Januari 2010

Lembaran Duka

“Mat, saya ngambil rokok lagi dong sebungkus,” ucap Pak Burhan, seorang satpam yang berkerja di perusahaan styroform disebarang jalan.
“Wah, gimana ya, Pak. Hutang Bapak yang kemarin-kemarin aja belom bayar…” jawab pemuda bernama Rahmat itu keberatan dengan permintaan satpam tersebut.
“Tenang sih, Mat. Nanti besok juga saya bayar,” ucapnya menggampangkan seperti yang sudah-sudah. Besok, besok, besok saja sampai akhirnya hutangnya bertumpuk. Meninggalkan deretan panjang angka-angka di buku khusus orang yang berhutang. Alias bon.
“Kemaren Bapak juga ngomong gitu. Tapi mana buktinya, belom bayar juga,” Rahmat menyabar-nyabarkan diri. Padahal ia sudah kesal sekali pada lelaki tersebut.
Mengingat hubungan baik yang harus dijalinnya dengan para pekerja di pabrik itu terpaksa ia harus menahan diri untuk tidak membentak-bentak lelaki itu. Maklum, untuk kebutuhannya akan air bersih, baik untuk minum, mandi maupun mencuci. Ia harus memasuki kawasan pabrik.
Dan meski untuk kebutuhan akan air itu ia harus mengeluarkan modal. Yaitu membuatkan keempat satpam yang ada di pabrik itu kopi setiap harinya. Baik itu pagi, siang atau malam hari. Tergantung giliran jaga mereka.
“Kamu nggak percaya sama saya, Mat?” ucap satpam itu seraya mengambil sebungkus rokok yang disodorkan kepadanya dengan raut wajah tak senang.
Rahmat menghela nafas. Mengusir rasa geram yang bercokol dihatinya.
“Bukan begitu, Pak. Masalahnya…”
Dengan runut dan pelan pemuda berparas ganteng itu menceritakan kesulitan yang harus dihadapinya kalau satpam itu tak segera membayar hutangnya. Dari kemarahan sang pemilik kios rokok itu karena tak adanya pemasukan, hingga ketiadaan uang untuk ia belanja lagi. Memutar kelangsungan kios rokok itu.
“Bagaimana mau ada pemasukan, kalau uang dari rokok dihutang, Bapak. Sementara keuntungan dari rokok kan itu tipiiis sekali,” ucapnya gemas dalam hati.
Satpam itu terdiam mendengar penuturan pemuda dihadapannya. Sebenarnya ia kasihan dengan nasib yang dialami pemuda itu. Bukannya ia tak mengerti akan permasalahan yang dihadapinya. Tapi kalau ia tak berhutang, maka ia tak bisa merokok. Karena seluruh penghasilannya sebagai satpam itu harus ia setorkan pada istrinya. Untuk kebutuhan anak-anaknya. Jadi ya terpaksa, jalan satu-satunya adalah berhutang. Meski ia harus menekan rasa malunya. Karena ia harus JJPD alias Janji-Janji Palsu Doang. Seperti para pejabat di atas sana, yang doyannya ber-JJPD.
“Ya udah ya, Mat. Entar juga saya bayar,” ucapnya enteng sambil berlalu dari warung reyot bahkan hampir roboh itu. Maklum sejak dua tahun kios rokok itu berdiri, sang pemiliknya sama sekali tak tergerak untuk memperbaiki kiosnya itu.
Sepeninggal satpam tersebut. Rahmat tercenung lama sekali. Memikirkan ulah para satpam itu.
Jumlah satpam di pabrik itu ada empat orang. Dan keempat-empatnya berhutang semua. Belum dibayar pula. Selain itu juga perlakuan mereka padanya amat sangat kurang menyenangkan. Bahkan ada juga yang jauh dari sopan.
Pernah seorang satpam yang berasal dari Batak, Pak Alek Sihombing namanya. Melemparkan kopi buatannya hingga gelasnya hancur, hanya karena ia salah membuatkan minuman. Satpam itu meminta dibuatkan kopi susu, namun ia buatkan kopi kental hitam. Ia berani melakukan itu karena Pak Heri, satpam yang berasal dari Sumedang mengusulkan hal itu padanya. Lalu ia turuti. Hasilnya, gelas itu hancur berkeping-keping. Dan itu artinya ia akan dimarahi oleh bosnya, juga harus mengganti gelas itu dengan menyunat gajinya yang tak seberapa itu hingga tumpul.
Ada lagi satpam yang berasal dari Makasar, Pak Ranupae namanya. Lelaki itu pernah memaksanya untuk melakukan perbuatan kaum Nabi Luth dengannya. Waktu itu Pak Ranupae sedang mabuk, lalu ia mendatangi kiosnya. Dan langsung menerkamnya dan berusaha menggumulinya. Tubuh kurusnya tak kuasa melawan tubuh gorilla lelaki itu.
Untung saja Allah masih sangat menyayanginya dengan segera mendatangkan pertolongan. Seorang karyawan yang akan bekerja shif 3, Galang namanya, memergoki perbuatan itu. Dan menghajar satpam itu hingga babak belur. Galang tidak terima melihat perlakuan tidak senonoh itu terjadi pada orang yang telah berbaik hati menghutanginya setiap hari. Walau buntut dari peristiwa itu Galang harus rela di keluarkan dari perusahaan tempat ia menggantungkan hidupnya selama ini.
Rahmat buru-buru menghapus air yang menggenangi matanya. Mengingat kejadian naas itu, ia selalu saja dihantui perasaan bersalah. Kalau saja Galang tidak melakukan pemukulan itu untuk menolongnya, mungkin pemuda itu tak akan dikeluarkan dari pekerjaannya.
Entah bagaimana nasib pemuda yang lembut hatinya itu sekarang. Semenjak peristiwa itu ia belum mengetahui kabar beritanya. Hanya doa yang bisa ia panjatkan kehadirat-Nya, agar Galang segera diberi pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Rahmat menghela nafasnya. Membuang sejumput galau yang menggayuti hatinya. Ia langsung bangkit dari duduknya, saat mendengar jeritan nyaring dari ponselnya. Ada panggilan masuk rupanya. Baru ia akan menjangkau ponsel miliknya, layar ponsel itu berkedip sebentar lalu mati. Low bet. Ia ingat belum men-charged poselnya itu karena aliran listrik ke kios itu di putus oleh pemilik warung nasi di sebelah kanannya berjualan.
♥♥♥
Rahmat berjalan dengan langkah gontai mendatangi pemilik warung makan itu, menanyakan alasan mengapa memutus aliran listrik. Padahal ia tak pernah telat membayar uang listrik itu setiap bulannya.
“Permisi, Mang Juned…” ucapnya mendekati lelaki paruh baya yang sedang menggepruk batu es di sudut warung makannya.
“Ada apa,” Tanya Mang Juned tak bersahabat. Melirik sebal kearahnya sebentar lalu kembali pada kegiatannya menggepruk batu-batu es.
“Kenapa aliran listrik ke saya diputus…” ucap Rahmat bersabar melihat tingkah orang yang sangat pantas menjadi bapaknya itu namun kelakuannya seperti anak kecil saja.
“Ya, jelas dong saya putus. Orang situ belum bayar listrik bulan ini,” jawabnya ketus.
“Loh, Mamang gimana sih, bukannya bayarnya nanti tanggal 28. Sekarangkan baru tanggal 22, Mang,”
“Ah, sekarang mah harus tanggal 20 bayarnya, itu paling lambat. Nggak tau apa, bayar listrik sekarang mahal,” ucapnya sambil mengetrok batu es itu hingga hancur.
Rahmat tersengat. Getokan pada batu es itu seolah mewakili getokan pada kepalanya. Darah mudanya berdesir hangat menjalari setiap pembuluh darahnya. Menggumpal memenuhi syaraf amarahnya.
“Tapi kan, Mamang tau sendiri kalau penggunaan listrik ke saya tak seberapa. Cuma tiga lampu, Mang. Trus saya juga nggak pake apa-apa. Radio saya udah pensiun karena rusak dari kemaren-kemaren. Paling-paling saya cuma ngecas HP, itu pun sehari cuma sekali,” ucapnya panjang lebar membela diri.
“Terserah. Saya nggak mau tau. Kalau kamu nggak bayar hari ini, ya nggak saya alirin…” ucapnya keras sekali. Hingga beberapa pengunjung warung makan itu melirik ke arah mereka. Mencuri dengar apa yang sebenarnya terjadi pada dua orang yang sedang bertikai itu.
Rahmat menundukkan wajahnya. Ia malu sekali. Karena beberapa orang dari pengunjung warung makan itu juga langganan belanja di kios rokoknya.
“Ya, udah atuh Mang. Saya ambil duitnya dulu,” ucap Rahmat mengalah. Ia memang sudah terbiasa mengalah untuk segala hal. Mungkin sudah menjadi suratan nasibnya. Mengalah dan mengalah. Pikirnya getir.
Padahal kalau pemutusan aliran listrik itu hanya karena hal sepele seperti itu, mengapa tak dikatakan saja. Tidak perlu pakai memutuskan aliran listrik segala. Toh, ia juga akan mengalah membayar listrik itu tanpa harus ada keributan seperti itu.
“Nah, begitu kan enak…” sambar Bi Ijah, istrinya Mang Juned judes. Berteriak lantang dari dapur, tempat dimana ia sedang sibuk memasak untuk keperluan warung nasinya itu.
Berbicara soal Bi Ijah, Rahmat juga masih menyimpan seribu dongkol pada wanita bermulut pedas itu. Ia yang selama ini rutin makan di tempat itu, tiba-tiba harus dihadapkan pada sejumlah bon yang harus dibayarnya. Tapi jumlahnya tidak sama dengan apa yang dicatat di buku bonnya.
Rahmat memang punya kebiasaan ngebon setiap makan di warung nasi itu. Dan setiap akhir bulan saat para karyawan pabrik melunasi hutang-hutangnya pada kios rokoknya. Ia juga akan membayar hutang makannya pada Bi Ijah. Dan ia tak pernah lupa untuk mencatat jumlah hutangnya setiap ia habis makan di warung itu.
Namun kejadian kemarin membuatnya harus menelan pil pahit kekecewaan. Ia harus membayar sejumlah uang di luar batas nominal pengeluarannya selama ini.
“Loh, Bi. Hutang saya gede amat. Setau saya, hutang saya cuma 40 ribu. Kok ini bisa jadi 70 ribu. Saya nggak ngerti,” ucapnya protes saat ia akan melunasi hutang makannya bulan kemarin.
“Yeuh, catatannya ada. Saya mah moal bakal bohong,” ucap Bi Ijah getas, penuh penekanan.
Rahmat menghela nafasnya. Berat. Entah mengapa wanita gendut dihadapannya ini selalu saja kasar, keras dan cerewet kalau berbicara. Semula ia pikir, wanita ini hanya padanya saja berprilaku tak menyenangkan seperti itu. Namun ternyata pada semua orang pun dia melakukannya.
Andai warung nasi lainnya tak sejauh itu letaknya dari pabrik. Ia yakin, dagangan wanita itu sudah tak laku. Karena sebagian karyawan yang belanja di kiosnya sering sekali mengeluhkan prilaku wanita bertubuh subur itu.
“Saya juga ada catatannya, Bi. Hutang saya tuh cuma 40 ribu doang…” ucap Rahmat berusaha meyakinkan wanita berwajah masam itu pelan. Berusaha menekan perasaan muak yang melingkupinya.
“Kamu tuh, kalau nggak mau bayar hutang bilang atuh. Nggak usah banyak alesan sagala,”
“Yang nggak mau bayar hutang siapa, Bi? Saya cuma bilang, kalau hutang saya cuma 40 ribu, itu aja. Naha jadi ngelantur kamana-mana,” jawab Rahmat emosi dengan logat Sundanya yang medok.
“Lagian kamunya juga sih. Udah jelas catetannya 70 ribu, kamu malah ngotot bilang 40 ribu. Gimana sih. Masih mending kamu boleh ngahutang disini. Di tempat laen mah moal aya anu daek ngahutangan,yeuh,” ucapnya ngotot hingga mulutnya berbusa-busa. Dan urat lehernya bertonjolan.
Rahmat terdiam. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Catatan siapa sebenarnya yang salah. Miliknya atau milik Bi Ijah. Tapi ia yakin, seyakin-yakinnya kalau hutangnya itu hanya 40 ribu rupiah, tak kurang dan tak lebih. Ia belum pikun. Dan ia juga sangat teliti mengenai hutang piutang itu. Tak sekali pun ia lupa untuk mencatat bon pembeliannya pada bon miliknya sendiri, yang ia simpan rapi di bawah kasur lepek yang ditidurinya.
Jadi bagaimana mungkin selisihnya sejauh itu. Kalau selisihnya sedikit sih ngga apa-apa, sangat manusiawi sekali. Tapi ini, benar-benar kelewatan. Batinnya kisruh.
“Rek dibayar moal. Malah bengong deui…” sungut Bi Ijah mengingatkannya dari lamunan.
Rahmat tersentak. Ia baru sadar kalau ia sedari tadi masih berdiri mematung di warung makan itu.
“Ya, udah, Bi. Nih, 40 ribu heula. Rahmat ambil yang tiga puluhnya dulu…” ucapnya akhirnya mengalah pasrah. Wajahnya sendu sambil melangkah meninggalkan warung nasi itu. Sementara itu Bi Ijah tersenyum penuh kemenangan. Berhasil mengelabui pemuda tanggung berwajah ganteng itu. Hatinya membuncah gembira.
♥♥♥
Rahmat menatap tetesan air hujan yang jatuh ke atas ember di hadapannya. Suara gemuruh hujan yang menderu di atas atap yang sudah lapuk itu berkolaborasi dengan suara kilat, guntur dan air yang berkelotak masuk keember. Seperti sebuah simfoni indah yang kerap menemani kesunyiannya dalam kesendirian. Hanya sesekali tikus-tikus got yang sangat besar dan menjijikkan melongok kesendiriannya.
Hatinya pilu. Air matanya berloncatan membasahi pipi mulusnya seolah berlomba dengan air hujan di luar sana. Ia sedih sekali. Menghadapi masalah demi masalah yang seolah-olah bertubi-tubi menghampiri. Belum selesai masalah yang satu muncul kembali masalah yang lain.
Bermula dari rusaknya radio butut yang kerap menemani dendang sunyi hatinya. Lalu charger-nya. Masalah dengan para satpam yang tak jua mau membayar hutang-hutangnya. Pemutusan aliran listrik. Teman baiknya yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri, telah pergi menjauhinya. Meski ia sadar itu akibat ulahnya sendiri, tapi ia kan sudah minta maaf. Tapi mengapa ia masih saja mengabaikan semua sms dan telpon darinya. Ia tak mengerti. Begitu besarkah dosa keisengannya itu?
Lalu seorang gadis dari pesantren putri yang tinggal di daerah sekitar situ juga yang terus menerus mengejar-ngejarnya. Mengharapkan ia menjadi kekasihnya. Itu pun atas kebodohannya sendiri yang telah bermain api dengan gadis itu.
Juga ulah para preman yang kerap mengambil dagangannya tanpa membayar sepeser pun. Mereka juga berjudi serta mabuk-mabukan di depan kiosnya hingga larut malam, hingga mengganggu aktifitas tidurnya. Yang seharusnya ia bisa tidur lebih awal, ini ia harus rela bergadang karena para preman itu melarangnya menutup kiosnya tersebut.
Belum lagi ingatannya harus dirampas paksa oleh bayang-bayang kehadiran Bapak-Ibunya, yang berusaha ia lukis dalam jagat ingatannya akan seraut wajah-wajah yang sama sekali belum pernah ia lihat dan ia kenal. Kecuali melalui rangkaian cerita Nini dan Aki yang sering mereka dongengkan untuk mengantarkannya ke alam mimpi. Di saat ia masih kecil.
“Akiii…Niniii…! Rahmat kangeeen…huhuuuu….” Teriaknya pilu sambil menahan gigil tangis yang merayapi hatinya.
“Ya, Rabb…mengapa Kau membiarkan aku hidup, kalau kepedihan, penderitaan dan nestapa selalu menemani hidupku. Aku tak kuat menanggungnya..ya, Allah…” ratapnya seraya memeluk bantal lepek, lusuh dan bau karena sudah beberapa hari belum ia cuci sarungnya. Karena ia terus berkubang dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Tiba-tiba ia tersentak saat ponselnya menjerit nyaring, tanda pesan pendek masuk. Empat pesan pendek memenuhi inbox-nya. Ia baca tulisan yang tertera di layar ponsel itu satu per satu.
“Jgn brsedih, adikku..krna Allah akn sllu brsamaMu. Jgn nangis, tar ga gnteng lagi loh hehe…qm jg msh pnya akang. Yg akn sllu ada utkmu, jk Rahmt mmbutuhkn bntuan akng, oke. Usbur ba’a…!”
Rahmat tersenyum membaca sms dari Kang Deni, seseorang yang telah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Ia selalu menghibur di saat ia bersedih. Dan selalu memberinya spirit. Kekuatan agar ia terus bertahan dalam menghadapi kehidupan ini.
“Ingat, adik kecilku. Allah sngat sayang pdmu hingga Ia mmberikan rentetan ujian padamu. Dan tak ada ujian yg diberikan-Nya, diluar batas kmampuanmu utk menanggungnya. Bkn qm aza yg pnya mslah tth juga punya kok hehe…! Jgn sedih lg ya, sayang…” Sms dari Teh Mutia. Rahmat tersenyum.
“Sabar ya, ustad Mansur hehe…nasibmu sama denganku. Bedanya, Rahmat kebocoran, kalo Nadia kebanjiran hehe…! Doaku sllu menyertaimu, saudaraku…” Sms dari Teh Nadia. Rahmat tertawa kecil.
“Anjar akn sllu mndoakan Kang Rahmat. Agr sllu tabah dlm mnghadpi berbagai ujian dari-Nya, amin…” Sms dari Dek Anjar. Hatinya membuncah gembira.
Ia terharu membaca sms-sms itu, hatinya semakin gerimis atas perhatian demi perhatian dari orang-orang yang telah menganggapnya saudara mereka sendiri. Meski mereka beda usia, beda kehidupan dan beda perjalanan hidupnya.
Namun yang pasti mereka semua menyayanginya. Dan itu adalah anugerah terindah yang diberikan Allah untuknya.
Air matanya terus berderai-derai membasahi pipi mulusnya. Menangisnya kini bukan karena beban kesedihan yang menghimpitnya. Tapi tangisan yang syarat akan kebahagiaan. Bahagia dipertemukan dengan orang-orang yang lembut hatinya.
“Terima kasih ya, Allah…Alhamdulillah…telah Kau pertemukan hamba dengan orang-orang yang baik hati dan perhatian sama Rahmat. Duh, indahnya ukhuwah dalam Islam itu. Dan akulah bukti yang merasakan keindahan persaudaraan dalam Islam itu…”
♥♥♥

Nah, Loh...

Kusingkirkan buku yang ada dipangkuanku. Dan kucopot kaca mata yang bertengger dihidungku. Ugh! Capek juga dari tadi membaca buku. Pusing. Perlahan kurebahkan kepalaku kesandaran sofa, lalu kuraih remote teve.
Klik! Kutekan tombol power-nya.
“Selamat sore pamiarsa muda. Berjumpa kembali bersama saya… Dalam acara reality show pertama di Indonesia. Yaitu acara tembak menembak pasangan. Dalam acara…”
Klik! Chanel kuganti.
Acara apaan tuh, mengajak orang untuk berbuat maksiat.
“Jangan diganti, Teteh! Lagi seru juga!” teriak Andin tiba-tiba.
Ugh! Bikin kaget saja, dikira ada apa.
Ia merebut remote dari tanganku. Dan duduk paling depan menghadapi layar teve. Aku menggeleng-gelengka kepala. Heran, acara seperti itu kok digandrungi. Padahalkan tidak mendidik.
“Ih.., bego banget tuh cowok! Ditembak cewek kok lari. Nurunin harga diri cewek aja!” Andin menggerutu sendiri.
Idih.., si Andin sewot. Ada juga tuh cewek kali yang gak punya harga diri.
Sudah tahu cowoknya tidak mau, masih dikejar-kejar juga. Jaga izah dong.
“Jomblo berkualitas minggu ini adalah seorang cewek manis, cantik..,” presenter itu dengan semangatnya mempromosikan cewek jomblo itu.
Cewek cantik kok promosi, tidak laku-laku apa? Terlalu pilih-pilih kali, yee..., padahal kriteria pasangan yang baik dalam Islam kan, yang baik agamanya.
“Teteh…! Asyik kali ya, kalau Andin masuk HQJ, hehe..,” ucapnya konyol.
“Kamu, Din?” Andin mengangguk, “Kamu mah gak laku, Din! Abis..., Low Quality sih, hehe..,” gurauku tak kalah konyol.
Andin cemberut. “Ampun deh si Teteh. Adeknya bukan didukung, ini malah dibuat down,” Ia manyun.
“Idih kebagusan! Ngedukung kamu? Tak use, yee…! Kalau kamu ikut pengajian, baru Teteh dukung.”
“Tak use juge, yee…! Ngapain ikut pengajian? Gak level”
Aku melotot. “Gak level? Ngaji dibilang gak level? Kelewatan anak ini. Istigfar dong, Din…istigfar…”
“Astagfirallahaladzim…” ucapnya penuh penekanan “Udah, Teh, puas?” sementara matanya tak lepas dari layar kaca. Kelewatan.
Aku mengurut dada. “Acara picisan kayak gitu aja jadi tontonan wajib. Giliran ada acara Tausiah Aa Gym aja, boro-boro ditonton ngelirik aja ogah tralala” ucapku gemas.
“Jelas dong. Ngeliat apa tadi? Tahu-sia, hehe…males. Abis Aa-nya nyentil-nyetil mulu plus nyindir Andin supaya jadi wanita sholehah, berkerudung kayak Emak-emak…”
Sembarangan. Orang pakai jilbab dibilang mirip Emak-emak, tidak lihat apa, betapa sang Teteh terlihat anggun dan cantik begini, hihi…muji sorangan.
“Ya, ampuuun…ditolak!” teriak Andin mengagetkanku lagi. “Ganteng-ganteng gitu kok ditolak. Coba kalau gue yang ditembak, Ugh! With all my heart..,” ceracaunya kacau.
Ugh! Dasar!
Kualihkan pandanganku ke layar teve. Seorang cewek berjilbab sedang ditembak oleh cowok yang lumayan keren.
Syukurin! Tuh cowok ditolak, cian deh…!
Tidak peka sekali tuh cowok. Sudah tahu cewek berjilbab, masih diganggu-ganggu juga.
@@@

“Nis! Tau nggak?”
“Nggak!”
Afi manyun. Lucu sih, baru datang kok ditanya-tanya. Enggak nyambunglah…
“Dooo…segitu sewotnya,” kujawil pipinya, “Ada apa?”
Aku menghempaskan tubuhku ke kursi. Dan menghadap ke arahnya.
“Cewek yang ditembak di teve kemarin tuh ternyata jadian loh! Muna’ ya? Di teve aja berlagak gak butuh. Padahal kegeeran tuh!” cerosos Afi sewot.
Setelah terdiam sesaat. Aku baru ngeh’ apa yang diocehkan Afi barusan. Ternyata, tentang acara itu.
Ihh…aku kira ngomong apaaa…gitu! Tidak bermutu sekili sih.
“Kamu tahu dari mana, Fi? Bisa jadi itu hanya gosip!” ujarku acuh tak acuh.
“Ih, bener, Nis. Cewek itu kan, temennya Ririn. Ya kan, Rin?” todongnya pada Ririn yang sedang asyik menekuri bukunya.
“He-eh,” ditutupnya buku yang dipegangnya, “Padahal si Nina itu terkenal alim, loh! Heran deh, bisa berubah gitu. Gak malu apa, ya? Pada jilbab yang dipakainya.”
Ya, Allah. Tak kusangka sohib-sohibku hobi gosip juga.
“Eh, Nis. Kalau kamu kejadian ditembak kayak temennya Ririn, gimana?” tanya Afi culun.
“Aku? Tak use, yee! Emangnya aku akhwat apaan?” elakku cepat. Yang bener saja. Ditembak?
Hiiiy…gak kebayang deh, bisa mati aku!
“Ah, yang bener?” goda Ririn konyol.
“Pacaran? Gak ada kamusnya, Non! Jagalah hati....” timpalku bernyanyi.
“Aku sih mau aja ditembak…” Ririn cengar-cengir.
Aku melongo. “Kamu, Rin?”
Ririn mengangguk. “Tapi setelah ditembak gak pacaran lagi, but…langsung meried, hehe…”
“Udah kebelet nih ceritanya…” goda Afi mesem-mesem, “Perlu perantara, Rin?”
“Wualaaah…sok naik daun!” cibir Afi greget.
Ririn manyun. “Naik daun, emang ulet…”
“Iya, Rin. Ulet yang kebelet kawin, hehe…”
“Udah ah, becandanya” ucapku menengahi perbincangan yang tak ada juntrungannya itu. “Aku mau ke Perpus, ah…nyari buku, buat tugas Typografi”
Aku bangkit. Dan bergegas ke luar kelas.
“Aku ikuuut…!” teriak keduanya kompak.
@@@
Aku membolak-balik buku yang tergeletak dihadapanku. Sayup-sayup sampai terdengar percakapan, dua gadis yang duduk di seberang meja.
“Aku juga mau ditembak kalau cowok-cowoknya ganteng gitu. Seperti…” terdengar cekikikan halus keduanya.
Ya, Allah. Ternyata bukan hanya adikku aja yang keranjingan acara tersebut. Temen-temen sekelasku juga. Dan ini lagi dua cewek, masih sempat-sempatnya cekikikan di Perpus. Mau baca, apa mau bergosip sih? Kalau mau bergosip di luar napa!
Aku mengumam gemas.
“Apa, Nis?” Afi menyenggol bahuku.
“Enggak.”
“Saya mau menembak seorang cewek yang udah lama saya taksir..,” tiba-tiba saja seorang cowok memegang mic masuk ke dalam Perpus. Diikuti oleh seorang kamerawan.
Serentak semua penghuni Perpus menengok ke asal suara. Tanpa terkecuali. Yang serius membaca, mengangkat kepalanya. Yang sedang nyari-nyari buku di rak, ikut-ikutan menyembulkan kepala.
“Ada apa sih? Xyzzzzx...,” terdengar kasak-kusuk disana-sini. Berdengung seperti suara lebah.
“Arif..,” ucapku, Ririn dan Afi kompak. Kami saling berpandangan.
Arif adalah teman sekelas kami. Dia terkenal sebagai anak yang paling kalem dan pendiam di kelas. Benar-benar tak disangka.
“Mau menembak siapa, ya, si Arif?” Bisik Afi ke arahku.
“Tau…”
“Sudah lama saya memperhatikan cewek ini. Dia itu bla, bla, bla..,” ujar cowok itu semangat di depan para penghuni Perpus. Gayanya sudah seperti sales menawarkan dagangannya, hehe…
Semua masih H2C (Harap-harap Cemas) menuggu siapa yang akan ditembak cowok itu.
Tiba-tiba Arif mendekati meja dimana aku dan dua sohibku duduk. Cahaya lampu kamera menyorot ke arah kami.
Nah, loh…kami bertiga kan para jilbaber? Siapa coba yang mau ditembak? Si centil Afi, apa ya?
“Nisa, sebenarnya sudah lama aku mencintaimu..,” terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan suitan disana-sini.
“Nis, kamu ditembak!” Ririn mengagetkanku yang sama sekali belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Deg!
Jantungku melorot. Mukaku memerah. Panas.
Belum sempat kuanalisa apa yang sedang berlangsung. Seorang wanita menyorongkan mic-nya ke mulutku.
Aku beristigfar. Aku masuk acara…?
Apa-apaan ini? Tidak! Ini tak mungkin terjadi. Ini hanyalah mimpi! Bagaimana mungkin aku masuk acara yang selama ini aku anggap picisan.
Arif menyorongkan dua buku kehadapanku. Buku Indahnya Pernikahan Dini (IPD) dan Kupinang Kau Dengan Hamdalah (KKDH) karangan M.Fauzil Adim.
“Kalau memilih KKDH berarti kamu menerimaku. Kalau memilih IPD berarti kamu menolakku,” ujarnya memintaku memilih.
Aku terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Perasaan malu dan terhina berbaur menjadi satu. Menggumpal didadaku.
Tega sekali si Arif melakukan ini padaku!
“Ayolah, Nis?” Ia memohon dengan wajah memelas.
Aku tak bergeming. Semua yang hadir menatap ke arahku. Menanti jawaban.
Tiba-tiba aku teringat ucapan Ririn di kelas tadi.
Perlahan aku bangkit. Menarik nafas sesaat.
“Kuhargai keberanianmu untuk mengungkapkan perasaanmu padaku, Rif. Tapi..,” Aku menggantung ucapanku, “…akan sangat lebih aku hargai lagi, kalau kamu berani datang ke rumahku. Mengungkapkan semua perasaanmu kepada kedua orang tuaku. Untuk melamarku.”
Deg!
Wajah tampan dihadapanku terperangah. Memerah. Jengah.
Kembali dengungan terdengar disana-sini.
“Dan..,” Semua yang hadir terdiam, “…kalau kamu tak berani datang ke rumahku. Berarti, semua ucapanmu barusan hanyalah kebohongan belaka,” ucapku tajam.
“Terima kasih…” aku menyeruak diantara kerumunan orang. Dan bergegas pergi.
Tak kuhiraukan teriakan dua sohibku. Juga teriakan-teriakan lainnya. Hanya satu yang kuinginkan. Segera lari dari tempat ini. Kabur.
@@@
Setelah acara “aku ditembak Arif” tayang. Orang serumah pada geger. Terutama Andin.
“Salut deh sama Teteh, orang sekaliber Teteh ada yang nembak, hehe…kuereeen, nampang di teve euy!” ucap Andin semangat. Konyol.
“Boro-boro keren, Din. Teteh malu tau…” aku gemas.
“Makanya jangan suka mencela suatu tayangan, Teh” Andin menyalahkan, “Kena batunya deh, gak tanggung-tanggung ditembak lagi, haha…”
Andin ngakak, sejadi-jadinya.
Aku manyun.
Apa yang Andin ucapkan belum seberapa, dibandingkan ucapan orang-orang di komplek perumahan dimana aku tinggal.
“Neng Nisa geulis pisan aya di tivi…”
“Teh Nisa payah, cowok ganteng gitu kok ditolak…”
“Suiiit…suit…! Nisa, aku mencintaimu…”
“Kalau Aa yang tembak terus dilamar mau gak, Neng?” ucap tukang ojek yang mangkal dipersimpangan depan.
Menyebalkan…!
“Kok sebel sih, Nis. Kan bagus jadi seleb dadakan, hehe…” ucap Afi saat kutelpon untuk mengadukan kekesalanku.
“Boro-boro seleb, yang ada aku kelelep saking malunya” ucapku gemas. “Ini gara-gara si Arif sih pake acara nembak-nembak segala”
“Ya, udahlah, Nis. Ambil hikmahya aja…”
“Hikmah apaan?” jawabku sewot.
“Kali aja kamu tiba-tiba dilamar Arif, hehe…walimahan deh”
“Ngaco, kamu!”
Ting nong! Ting nong!
“Udah dulu ya, Fi. Ada suara bel tuh. Assalamualaikum…” kuletakkan gagang telpon di tempatnya. Kemudian bergegas ke arah pintu.
Clek…!
Pintu terkuak.
“Assalau’alaikum, Nis...,”
“A…Arif!” aku terperanjat melihatnya. Ia berdiri tegak di ambang pintu.
“Iya, ini aku…” ucapnya tersenyum manis.
“Ada perlu apa?” tanyaku, setelah hilang rasa gugupku.
“Lha, menurutmu, aku harus berani datang ke rumahmu. Apabila ingin melamarmu. Dan sekarang aku datang bersama kedua orang tuaku, untuk melamarmu,” ucapnya telak mengenaiku.
“Ini Papa-Mamaku…”
Nah, loh!
Aku terpaku. Tak tahu apa yag harus kuucapkan.
“Saha, Nis?” gawat! Mama! “Kok tamunya gak disuruh..,”
Gabruk…!!!
Aku jatuh tersungkur. Dan semuanya menjadi gelap.
@@@

Kalo Jodoh mah Gak Kemana

Anggi bergegas menyusuri koridor rumah sakit Medical Health, tempat ia setahun ini bekerja sebagai perawat. Koridor itu temaram dan berbau disinfektan.
Ia terus berjalan, dan sesekali ia melambaikan tangannya pada beberapa teman sesama perawat yang baru datang.
Semalam ia mendapat giliran jaga malam di Vip. Tempat yang lumayan enak dan nyaman. Dengan peralatan dan fasilitas yang serba mewah. Maklum hanya orang-orang yang berada saja yang dirawat di tempat itu.
Tidak seperti sebelumnya, ia ditugaskan di Poli. Tempat untuk golongan menengah ke bawah. Ia benar-benar lelah menangani pasien-pasien yang lumayan bawel dan sangat merepotkan. Seringkali ia harus menahan dongkol saat mendapat caci maki dari pasien. Entah itu soal obat yang harus ditebus, jenuh menunggu dokter yang datang terlambat dan tetek bengek permasalahan dari pasien. Tidak mau tahu, bahwa dia hanya seorang perawat saja.
Sesampainya Anggi di depan jalan raya, ia menyebrang. Rambut sebahunya berkibar-kibar tertiup angin pagi yang sejuk. Ia melenggang menuju kost-annya. Kost tempat ia dan seorang temannya tinggal.
Ia terkejut mendapati sahabat karibnya, Nani, sudah menunggunya di teras kost-annya. Duduk di kursi yang terbuat dari semen. Memanjang di sepanjang depan kost-kostan itu.
“Gila, Lu. Dari Tangerang jam berapa? Sepagi ini udah nyampe…” ucap Anggi menghampiri, dan menempelkan pipinya kiri dan kanan. Kangen.
“Aku nggak dari Tangerang kok, Gi. Aku nginep di Teteh aku di Cikampek” kata Nani mengekori Anggi, masuk ke dalam ruangan 4 x 3 meter.
Nani menyapukan pandangannya. Kamar itu lumayan rapi. Ada dua buah lemari berselorok dari plastik. Juga dua buah kasur berdampingan, dibagi dua. Untuk tidur.
“Aku baru tau, Gi. Kalau kamu nggak pake jilbab, saat bekerja…” Nani miris.
Dia paling tidak suka melihat orang yang buka-pake jilbab. Kesannya kok mengotori keagungan penutup aurat itu ya.
Anggi tertunduk diam. Dan menarik nafas.
“Pengennya sih, aku juga pake terus, Nan. Tapi, kamu kan tau sendiri. Di rumah sakit MH nggak boleh pake jilbab. Aku mau ke luar, sayang. Nyari kerja zaman sekarang kan susah…” Lirih ia beralasan.
“Sorry ya, Gi. Aku nggak tau kalo peraturan di tempat kerjamu seperti itu,”
Anggi tersenyum “Nggak pa-pa lagi, Nan. Kayak gue ini siapa aja,”
“Memang yang punya RS itu orang non, ya?”
Anggi mengangguk.
“Aku bukannya nggak berusaha loh, Nan. Untuk minta keringanan, supaya aku diperbolehkan pake jilbab. Tapi tetep, nggak boleh…” ucapnya berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
“Katanya, kamu lumayan akreb sama dokter-dokter disitu, Gi?”
“Iya, akreb. But, sama yang punyanya mah nggak atuh…” Anggi sibuk membuat minuman. “O, ya, Nan. Aku punya kenalan baru, loh…” ucapnya senang, mengalihkan pembicaraan.
Nani membulatkan matanya. “O, ya?”
“Yup! Namanya Do-di,”
Mata Anggi berbinar saat menyebut nama itu.
Nani melongo. “Deuuu…segitunya. Kenal dimana?”
“Dia pasien aku di Vip…” jawabnya santai. “Udah dua minggu ini, dia dalam perawatanku,”
“Pasien?” Nani tak mengerti.
Anggi mengangguk. “Arsitek, bow…! Tapi dia harus bedrest”
“Sakit apa?”
“DHF…”
Nani mengangguk. Mengerti. “Trus kenapa? Kamu suka dia, gitu…” godanya cengengesan.
“Sembarangan…!” Anggi manyun. “Ada juga dia kali yang naksir aku,”
“Trus, kamunya sendiri gimana?”
Wajah Anggi langsung merona merah.
“Aku juga suka dia, Nan…” ucapnya mencicit. Malu.
“Ya, udah langsung meried aja,” tembak Nani langsung. “Katanya udah kebelet pengen meried,”
“Ngaco, ah! Siapa yang kebelet, nyokapku tuh yang kebelet, ribuuut mulu nyuruhin aku merit. Malu katanya, sama omongan orang. Padahal peduli amat sih, orang ini…!” Anggi bersungut-sungut. Sebal. Ingat perang demi perang yang sering terjadi antara ia dan ibunya.
“Maried kali. Bukan merit, emang obat pelangsing, hihi…” Nani terkikik geli. “Ya, sa-mmm-ma. Nyokapku juga nyanyi mulu, nyuruhin aku cepet kawin. But, gimana ya, blom ada yang nyantol sih,”
“Nyantol, nyantol…kamunya aja tuh, terlalu pilih-pilih. Kemarin aku kenalin si Anjar, ogah. Padahal kurang apa coba dia,”
“Enak aja, pilih-pilih…” Nani sewot. “Orang aku nggak sreg kok, dipaksa-paksa, nggak ada cemistrinya tau…”
“Iya, lain kali mah ogah aku ngenal-ngenalin ke kamu lagi,” ucap Anggi tak kalah sewot.
“Bo-dooo!” cibir Nani memonyongkan bibirnya satu senti ke depan, hehe…panjang amat!
“Trus aku harus gimana ya, Nan?” tanya Anggi kembali serius.
“Dibilang-in langsung menikah aja. Gitu aja kok repot!” sarannya cepat. “Jangan tunggu lama-lama, nanti lama-lama diambil orang…” Nani bernyanyi, menirukan lagu dangdut kesukaan Anggi.
Keduanya ngakak.
“Kamu nginep aja ya, Nan. Biar besok gampang, berangkat ke Ancolnya langsung dari sini. Barengan sama aku…” Anggi menyarankan.
Mereka memang punya rencana untuk ke Dufan Ancol. Rekreasi. Melepas kepenatan, setelah mereka sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Sebagai perawat di rumah sakit yang berbeda.
“Lha, Sari gimana?” Nani menyebutkan nama teman sekamar Anggi.
“Dia kan lagi cuti…”
“Oh, ya udah,” Nani setuju.
♥♥♥
Keesokan harinya.
Di Dufan, Anggi dan Nani celingukan di depan loket pembayaran.
“Dia nunggu dimana sih, Gi?” tanya Nani tak sabar, yang sedari tadi sudah tak tahan kepanasan. Keringat sudah berleleran membanjiri wajah putihnya.
“Di sms sih, bilangnya ya, nunggu disini!” Anggi ikut-ikutan resah sambil matanya nyalang, menatap orang-orang yang berseliweran di depannya.
“Tuh, diaaa…! Si Mita…” teriak Anggi kenceng, membuat Nani terlonjak.
“Heh, tengil! Bujuk buneeeng, lama bener Lo,” Anggi langsung menyemprotnya.
Gadis berkerudung ala burung merak itu cengengesan. Nafasnya masih ngos-ngosan.
“Sorry, tadi di terminal, angkotnya ngetem dulu. Lamaaa bener!” ucapnya beralasan setelah acara peluk cium usai. Lalu mengekori dua sohibnya memasuki Dufan. Untungnya tidak terlalu mengantri.
“Hal-lah! Kamu mah kebiasaan, Ta. Lelet…!” cibir Anggi sadis.
Anggi memang terbiasa menumpahkan uneg-unegnya sampi tuntas, kalau ia ingin tenang. Kalau memendam rasa, ia bisa sakit kepala.
“Udah sih, ri-but aja!” lerai Nani jemu.
Katanya datang kesini untuk rekreasi, ini malah ngotot-ngototan.
“Tau tuh, Nenek Lampir bawel! Orang udah minta maaf juga…” Mita menyalahkan. Cemberut.
Anggi melotot. Tidak terima dikatain bawel.
“Buah duku dicawel-cawel. Lu tuh, Mita yang baweeel…” Ia berpantun.
Disambut ger tawa Nani dan Mita.
Anggi memang teman yang sangat unik dan lucu buat mereka. Selain mudah merepet seperti tadi, dia juga cepet baiknya. Belum lagi sifat gokilnya itu, bisa membuat mereka tertawa ngakak. Orang yang mendengar suara tawanya saja, akan ikut tertawa saking lucunya.
Mereka bertiga kemudian ikut mengantri untuk menaiki wahana yang ingin mereka naiki. Wahana pertama yang mereka pilih adalah Niagara.
Kembali di wahana ini, Anggi membuat kedua temannya, juga orang disebelahnya tertawa ngakak. Kejadiannya begini, saat wahana itu baru mulai bergerak. Dan orang-orang yang naik belum berteriak ngeri. Wanita disebelah Anggi sudah teriak duluan. Saking takutnya.
“Bel-looom…!” ucap Anggi kenceng.
Otomatis, wanita itu langsung ngakak. Dan hilang sudah raut ketakutan di wajahnya.
Matahari bersinar terik, saat ketiganya melenggang puas setelah menaiki semua wahana yang mereka inginkan. Kecuali Mita yang tidak turut serta saat kedua sohibnya naik Halilintar. Dia takut.
Mereka berjalan menuju tempat makanan siap saji. Setelah sedari pagi teriak-teriak, menaiki wahana demi wahana. Ketiganya kelaparan.
Sambil menikmati hidangan yang telah disajikan, Anggi memulai pembicaraan.
“Ada hal serius yang ingin aku omongin…” ucap Anggi dengan wajahnya yang dipasang misterius. Tidak seperti biasanya, yang selalu mirip dakocan hehe…
“A-pa?” Nani dan Mita bertanya bareng. Lalu tertawa.
“Terutama buat kita berdua, Nan…”
Nani menautkan kedua alisnya. Sedangkan Mita mengedikkan bahunya.
“Semalem di kost-an aku lupa ngomong”
“Iya, apa Gi? Kelamaan…bikin penasaran aja,”
Mita menngangguk. Mengaminkannya.
“Soal jodoh kita, Nan. Kenapa kok gak nongol-nongol juga…” ucapnya sendu.
“Emang kenapa? Belum waktunya aja kan?” jawab Nani santai.
“Disamping itu juga, ada yang membuat jodoh kita tuh terhambat,”
“Apa sih, Gi? Bikin takut aja loh…” ucap Nani ngeri juga.
“Kata nyokap aku, yang mendatangi orang pinter. Katanya, ada orang yang ngerjain kita, Nan,”
“Ngerjain apa?” Nani tak mengerti juga sebal, karena ucapan Anggi dinilainya terlalu bertele-tele.
“Iya, ngerjain kita…”
“Ngerjain apaaa?” geram Nani hilang sabar.
Anggi dan Mita terlonjak kaget.
“Sab-bar napa, Nan…” ucap Anggi setelah hilang rasa kagetnya. Ia menarik nafas sesaat. “Wajah kita berdua, akan terlihat tua sama orang yang naksir kita,”
“Kok bisa?” Nani tak percaya.
Ngomong berbelit-belit dari tadi, ternyata hanya hal ngaco saja yang didengarnya.
“He-eh, apa hubungannya?’ timbrung Mita yang sedari tadi mendengarkan.
“Ya, bisalah! Buktinya kenapa, hayo! Setiap orang yang mau kenalan sama kamu, langsung pada kabur setelah copy darat sama kamu. Padahal sewaktu sms-an aja, gencarnya nggak ketulungan…” ucap Anggi semangat mengemukakan alasannya.
“Ya, belom jodoh kali…’ ucap Nani cuek, walau didasar hatinya terselip juga pemikiran aneh itu. Menjalari hatinya, benar kah itu?
Semua lelaki yang Anggi kenalkan kepadanya melalui sms, begitu semangat dan menggebu-gebu ingin berjumpa dengannya. Puluhan sms diterimanya. Namun setelah bertemu dan mengobrol, besok-besoknya lagi, boro-boro mengajaknya untuk bertemu kembali. Sms saja, tidak satu pun. Mereka seperti lenyap ditelan bumi.
“Tapi bisa aja sih…” Mita akhirnya menyetujui ucapan Anggi.
“Ah, tau deh…” Nani akhirnya tak ambil pusing.
“Kamu mah nggak percayaan sih, Nan. Orang yang Emakku datangi itu benar-benar orang pinteeer…!” Anggi mendongkol. Informasinya disepelekan.
“Pinter apa, Gi? Pinter ngibul mah iya kali, hehe…” Nani tertawa membalikkan ucapan Anggi barusan.
Anggi cemberut. “Ya, udah kalo nggak percaya. Kalo menurutku sih, kemungkinan itu bisa aja terjadi…” ucapnya menutup pembicaraan.
♥♥♥




Anggi bergegas ke luar dari ruangan Vip, setelah tugas terakhirnya selesai. Menangani pasien di ruangan itu.
Ia memasuki kamar ganti, membuka locker-nya dan mulai mengganti seragam putih-putihnya dengan celan jins gombrang dengan atasan kemeja lengan panjang warna senada. Memandang dirinya di cermin, memeriksa letak jilbabnya. Ia siap.
Anggi melesat menuju restoran Selera Anda, di dekat rumah sakit itu. Menemui Dodi. Pria ganteng yang pernah menjadi pasiennya enam bulan yang lalu. Setelah itu mereka sering bertemu untuk makan siang atau hanya sekedar jalan-jalan ke Mall.
Saat Anggi sedang bertugas tadi, pria itu mengirim sms kepadanya, mengajaknya untuk bertemu di restoran itu. Hatinya berdebar-debar memikirkan hal penting apa yang akan dibicarakan pria itu.
Dua puluh menit kemudian, Anggi mempercepat langkahnya dari tempat parkir ke restoran. Bersamaan dengan masuknya ia ke dalam restoran, hujan lebat turun mengguyur.
Anggi menebarkan pandangannya, menatap kesekeliling ruangan yang cukup ramai. Mencari pria itu. Dimana tepatnya ia duduk. Setelah dilihatnya pria itu, ia menuju meja segi empat di dekat dinding.
Berkata dalam hati bahwa ia gemetar karena udara yang dingin, bukan karena membayangkan senyum pria yang telah menjadi sangat berarti baginya itu.
Karena wajah pria itu menghadap ke ujung meja, Anggi jadi dapat mengamati wajah arsitek muda itu dari samping. Dia suka sekali memandangi helai-helai rambut mengilat tergerai dikeningnya, membuat pria itu tampak rileks, tanpa beban.
“Assalamualaikum…” sapa Anggi lirih setelah berada di dekat pria itu.
Pria itu tersentak, tak menyadari kedatangan Anggi. Kemudian ia menjawab salam itu dan menyilakannya duduk.
“Maaf, kalo Kak Dodi nunggunya kelamaan…” ucapnya basa-basi. Menenangkan debaran jantungnya yang tidak karuan.
“Nggak pa-pa…”
Mereka memesan makanan dan mulai mengobrol kesana kemari, sampai Anggi akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk membicarakan alasan pertemuan mereka.
Anggi berdehem. “Kak Dodi katanya ingin membicarakan sesuatu yang serius dengan saya…” ucapnya menirukan sms yang dikirimkan kepadanya.
“Oh, iya itu…” ucapnya kikuk sambil tersenyum. Kemudian ia membasahi tenggorokannya. “Langsung aja ya, Gi. Kita kan udah lama saling mengenal. Oleh karena itu saya… berniat…melamar Anggi…”
Anggi tersentak, terkejut dengan ucapan pria itu. Ia tak percaya pada pendengarannya sendiri. Kepalanya tiba-tiba pening, menerima kabar yang cukup menggembirakan sekaligus mengejutkannya.
“Gimana, Gi?” tanya Dodi halus dan penuh harap. Suara bas pria itu serasa mengelus gendang telinganya.
Anggi menunduk semakin dalam.
“Kak Dodi…serius? Ingin melamar saya,” tanyanya memastikan.
“Bukan serius lagi, dua rius malah, hehe…” jawabnya bercanda mencairkan suasana kaku yang sempat tercipta diantara mereka.
Anggi ikut tertawa sumbang. “Tapi…Kak Dodi kan tau sendiri, kalo adik saya banyak,” ucapnya menguji kesungguhan lelaki itu.
“Ya, nggak masalah…”
“Terus saya juga…” Anggi ragu.
Haruskah aku mengatakan ini kepadanya?
Anggi bimbang.
Ia takut perkataannya nanti membuat pria dihadapannya itu berubah pikiran. Kemudian ia memantapkan hatinya, kalau dia benar-benar mencintainya dan menginginkannya menjadi istri. Dia harus bisa menerima apa yang akan dikatakannya itu.
Pria tampan dengan lesung pipi di wajahnya itu menunggu.
“Saya…”
“Ya, kenapa?”
“Saya…punya hobi…makan bau-bauan” plong, tercetus juga kata-kata itu dari mulutnya.
Dodi menautkan alisnya tak mengerti. “Maksudnya? Bau-bauan itu apa, ya?”
“Saya suka makan…jeng-kol…”
Di luar dugaan pria dihadapannya itu tertawa lumayan keras, hingga beberapa pengunjung lain menoleh ke arah mereka.
Anggi semakin tertunduk. Wajahnya memerah. Panas.
Setelah puas tertawa, Dodi berujar.
“Itu mah nggak usah dipikirin, Gi. Hobimu itu nggak masalah buat saya. Saya juga suka kok sama jengkol, terutama kalo disemur…” ucapnya sambil nyengir.
Anggi terbeliak.
“Saya sungguh-sungguh loh, Gi,” sambar Dodi cepat seolah tahu apa yang berkecamuk dibenak Anggi.
Anggi tersenyum senang.
Ia percaya pria ini tak berbohong padanya. Dan yang jelas ternyata mereka punya kesamaan. Sama-sama suka makan semur jengkol.
“Gimana, Gi? Kapan saya boleh ke rumahmu?” tanya Dodi serius.
“Terserah Kak Dodi…” Suara Anggi bergetar.
“Itu artinya, kamu setuju menikah dengan saya?” ucap Dodi antusias. Senang.
Anggi mengangguk. Wajahnya merona merah.
Ia bahagia sekali. Jodoh yang selama ini dinantinya, telah hadir dihadapannya. Mengajaknya untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Dan itu menandakan bahwa yang dikatakan ‘orang pinter’ itu benar-benar bohong. Selama ini dia percaya penuh pada ucapan orang itu, hingga membuatnya gelisah tak tentu arah.
Namun ternyata waktu membuktikan segalanya. Sang Pangeran telah datang menjemputnya. Tak sabar ia ingin memberitahukan kabar gembira ini pada keluarganya juga sahabat-sahabat terdekatnya. Bahwa ia akan segera menikah.
♥♥♥
Siang itu, Anggi bersama dua sahabatnya, Nani dan Mita sedang asyik menikmati es krim yang mereka pesan. Mereka duduk melingkar menghadapi meja bundar.
“Aku mo meried, bulan ini sama Dodi…” ucap Anggi senang memberitahukan berita besar itu. Dan ia menikmati wajah terkejut kedua sohibnya.
“Bener?” kata Mita tak percaya. Anggi kan doyan becanda pikirnya.
“Serius, Lo…?” Nani kelihatan seperti akan pingsan.
Anggi mengangguk pasti. “Kenapa sih, Nan? Bukannya senang temennya mo menikah”
“Iya, aku juga senang, Gi. Hanya saja…”
“Kenapa? Kamu keberatan? Karena kita pernah berikrar bahwa kita mo menikah bareng-bareng, tapi kenyatannya aku dapet jodoh duluan, gitu?” potong Anggi nyerocos.
Nani tersenyum. “Justru itu yang ingin aku katakan, Gi. Menikah bareng-bareng…”
“Maksudmu?”
Anggi tak sanggup melanjutkan perkataannya, ia senang bukan main. Seperti mendapat durian runtuh. Meski ia nggak doyan duren, hehe…
“Kalian kenapa sih? Pada aneh gitu…” ucap Mita tak mengerti, ke arah mana sebenarnya pembicaraan kedua sohibnya.
“Kita mo menikah bareeeng…!” ucap keduanya kompak.
Kemudian tertawa bersama.
“Apa? Gila lu pada…” Mita sangsi. “Kamu emang mo kawin sama sapa, Nan?” ucapnya menatap Nani lekat-lekat.
“Bukan kawin, Ta. Me-ni-kah…” ralat Nani cepat.
“Sama aja kan? Kawin”
“Beda atuh, kawin mah sebelum menikah juga bisaaa…” Anggi nyengir.
“Sama siapa, Nan?” kejar Mita lagi penasaran.
“Mas Anhar…”
“Anhar siapa? Perasaan kamu nggak punya kenalan yang namanya Anhar deh,” Anggi yang mulanya senang tapi akhirnya sangsi juga.
Mungut cowok dimana tuh anak, dia kan jomblo, hehe…
Mita mengangguk setuju. “He-eh, siapa sih Anhar? Ngarang deh Nani…”
“Aku serius. Sebenernya aku juga nggak kenal?”
“Tuh kan, bokis abis!” potong Anggi gemas.
“Aku kan belum selesai ngomongnya, Gi. Aku kenal Mas Anhar tuh pas ta’aru,f”
“Siapa yang ngenalin?” Anggi menyelidik.
“Teh Nia. Katanya sih Mas Anhar itu adik teman Teh Nia. Katanya lagi, dia lagi nyari calon istri. Pas Teh Nia ngasih tau kalo Teteh punya adik yang belum menikah, maksudnya aku gitu…” tunjuk Nani kedadanya. “Dia pengen dikenalin. Dan gitu deh, dia cocok sama aku. Dia dokter loh, seperti yang kuinginkan selama ini…” mata Nani berbinar-binar. Senang.
“Iya?” tanya Anggi takjub.
Nani mengangguk pasti.
“Syukurlah, akhirnya kesampaian juga, kita nikah bareng ya, Nan?” ucap Anggi serak, dua bulir bening menggenangi pipinya.
“He-eh” kata Nani terharu, ikut-ikutan menangis.
Mita hanya bisa bengong menyaksikan dua sohibnya itu bertangis-tangisan. Tangis bahagia.
“Omongan ‘orang pinter’ itu nggak terbukti kan, Gi?” celetuk Mita tiba-tiba.
“Iya. Nyesel deh, aku sempat mempercayai omongan itu. Sampe-sampe, aku hampir tiap malam baca ayat Kursi sambil ngaca untuk menghilangkan ‘muka tua’ dari wajahku…” ucapnya menyesal.
Kedua sohibnya itu tertawa pelan. Mentertawakan kebodohan Anggi.
“Lha, ngaca sambil baca ayat Kursi itu pepatah dari siapa?” tanya Nani diiringi dengan tawa tertahan.
“Tetanggaku…” ucap Anggi lirih dengan wajah memerah. Malu.
Nani dan Mita ketawa lagi.
Kemudian Nani terdiam.
“Kenapa, Nan? Kok tiba-tiba langsung diem…” Anggi heran.
“Aku juga sempet percaya sama ucapan orang pinter itu, Gi,” ucapnya jengah.
Anggi terbeliak. “Sumpe, Lu? Bukannya waktu itu kamu nggak percaya?”
“Mulanya sih iya, aku nggak percaya. Tapi…”
Diceritakannya pada kedua sohibnya itu bahwa ia sempat kepikiran akan hal itu. Dan tanpa disengaja ia mengatakan hal itu pada Mamanya. Sang Mama yang pada dasarnya masih percaya pada hal-hal seperti itu, langsung menyuruhnya mandi tengah malam dengan berbagai macam bunga. Tidak tanggung-tanggung sepuluh rupa, bukan tujuh lagi.
“Malam apa mandinya?” tanya Anggi antusias.
“Jumat Kliwon…”
Anggi ngakak.
“Kenapa? Iya sih aku emang bodoh. Termakan ucapan orang yang kamu bilang pintar itu, juga terbujuk ucapanmu,” ucap Nani semakin menunduk. Malu hati.
“Bukan itu, Nan. Aku bukan ngetawain kebodohanmu, tapi…aku juga sama,”
“Sama gimana?” Nani mengangkat kepalanya.
“Aku juga mandi kembang tengah malam…”
Nani dan Mita melongo. Kemudian ngakak bareng.
“Jangan bilang, malam Jumat Kliwon juga?” ujar Mita sambil menahan tawa.
Anggi mengangguk lemah.
Kembali kedua sohibnya itu tertawa ngakak.
Nani sampai memegangi perutnya, saking gelinya mendengar akan hal itu. Dia pikir hanya dirinya saja yang bodoh, ternyata Anggi dua kali lipat lebih bodoh darinya.
“Makanya, lain kali jangan asal percaya aja,” ucap Mita mengingatkan. “Hari gene! Masih percaya ‘orang pinter’ hik hik…” sindirnya tajam.
“Udah sih, malu aku, aaah…” Anggi nyanyi.
Keduanya tertawa lagi.
“Buat pelajaran tuh, Gi. Asal percaya aja, yang ada kamu sendiri yang jadi paranoid,” saran Nani sok bijak.
“Kamu juga!” selak Anggi tak mau kalah.
“Baik, Mak…”
“Mak, Mak…kapan aku kawin sama Bapakmu!” jitak Anggi pelan.
Mereka tertawa bersama.
♥♥♥