Anggi bergegas menyusuri koridor rumah sakit Medical Health, tempat ia setahun ini bekerja sebagai perawat. Koridor itu temaram dan berbau disinfektan.
Ia terus berjalan, dan sesekali ia melambaikan tangannya pada beberapa teman sesama perawat yang baru datang.
Semalam ia mendapat giliran jaga malam di Vip. Tempat yang lumayan enak dan nyaman. Dengan peralatan dan fasilitas yang serba mewah. Maklum hanya orang-orang yang berada saja yang dirawat di tempat itu.
Tidak seperti sebelumnya, ia ditugaskan di Poli. Tempat untuk golongan menengah ke bawah. Ia benar-benar lelah menangani pasien-pasien yang lumayan bawel dan sangat merepotkan. Seringkali ia harus menahan dongkol saat mendapat caci maki dari pasien. Entah itu soal obat yang harus ditebus, jenuh menunggu dokter yang datang terlambat dan tetek bengek permasalahan dari pasien. Tidak mau tahu, bahwa dia hanya seorang perawat saja.
Sesampainya Anggi di depan jalan raya, ia menyebrang. Rambut sebahunya berkibar-kibar tertiup angin pagi yang sejuk. Ia melenggang menuju kost-annya. Kost tempat ia dan seorang temannya tinggal.
Ia terkejut mendapati sahabat karibnya, Nani, sudah menunggunya di teras kost-annya. Duduk di kursi yang terbuat dari semen. Memanjang di sepanjang depan kost-kostan itu.
“Gila, Lu. Dari Tangerang jam berapa? Sepagi ini udah nyampe…” ucap Anggi menghampiri, dan menempelkan pipinya kiri dan kanan. Kangen.
“Aku nggak dari Tangerang kok, Gi. Aku nginep di Teteh aku di Cikampek” kata Nani mengekori Anggi, masuk ke dalam ruangan 4 x 3 meter.
Nani menyapukan pandangannya. Kamar itu lumayan rapi. Ada dua buah lemari berselorok dari plastik. Juga dua buah kasur berdampingan, dibagi dua. Untuk tidur.
“Aku baru tau, Gi. Kalau kamu nggak pake jilbab, saat bekerja…” Nani miris.
Dia paling tidak suka melihat orang yang buka-pake jilbab. Kesannya kok mengotori keagungan penutup aurat itu ya.
Anggi tertunduk diam. Dan menarik nafas.
“Pengennya sih, aku juga pake terus, Nan. Tapi, kamu kan tau sendiri. Di rumah sakit MH nggak boleh pake jilbab. Aku mau ke luar, sayang. Nyari kerja zaman sekarang kan susah…” Lirih ia beralasan.
“Sorry ya, Gi. Aku nggak tau kalo peraturan di tempat kerjamu seperti itu,”
Anggi tersenyum “Nggak pa-pa lagi, Nan. Kayak gue ini siapa aja,”
“Memang yang punya RS itu orang non, ya?”
Anggi mengangguk.
“Aku bukannya nggak berusaha loh, Nan. Untuk minta keringanan, supaya aku diperbolehkan pake jilbab. Tapi tetep, nggak boleh…” ucapnya berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
“Katanya, kamu lumayan akreb sama dokter-dokter disitu, Gi?”
“Iya, akreb. But, sama yang punyanya mah nggak atuh…” Anggi sibuk membuat minuman. “O, ya, Nan. Aku punya kenalan baru, loh…” ucapnya senang, mengalihkan pembicaraan.
Nani membulatkan matanya. “O, ya?”
“Yup! Namanya Do-di,”
Mata Anggi berbinar saat menyebut nama itu.
Nani melongo. “Deuuu…segitunya. Kenal dimana?”
“Dia pasien aku di Vip…” jawabnya santai. “Udah dua minggu ini, dia dalam perawatanku,”
“Pasien?” Nani tak mengerti.
Anggi mengangguk. “Arsitek, bow…! Tapi dia harus bedrest”
“Sakit apa?”
“DHF…”
Nani mengangguk. Mengerti. “Trus kenapa? Kamu suka dia, gitu…” godanya cengengesan.
“Sembarangan…!” Anggi manyun. “Ada juga dia kali yang naksir aku,”
“Trus, kamunya sendiri gimana?”
Wajah Anggi langsung merona merah.
“Aku juga suka dia, Nan…” ucapnya mencicit. Malu.
“Ya, udah langsung meried aja,” tembak Nani langsung. “Katanya udah kebelet pengen meried,”
“Ngaco, ah! Siapa yang kebelet, nyokapku tuh yang kebelet, ribuuut mulu nyuruhin aku merit. Malu katanya, sama omongan orang. Padahal peduli amat sih, orang ini…!” Anggi bersungut-sungut. Sebal. Ingat perang demi perang yang sering terjadi antara ia dan ibunya.
“Maried kali. Bukan merit, emang obat pelangsing, hihi…” Nani terkikik geli. “Ya, sa-mmm-ma. Nyokapku juga nyanyi mulu, nyuruhin aku cepet kawin. But, gimana ya, blom ada yang nyantol sih,”
“Nyantol, nyantol…kamunya aja tuh, terlalu pilih-pilih. Kemarin aku kenalin si Anjar, ogah. Padahal kurang apa coba dia,”
“Enak aja, pilih-pilih…” Nani sewot. “Orang aku nggak sreg kok, dipaksa-paksa, nggak ada cemistrinya tau…”
“Iya, lain kali mah ogah aku ngenal-ngenalin ke kamu lagi,” ucap Anggi tak kalah sewot.
“Bo-dooo!” cibir Nani memonyongkan bibirnya satu senti ke depan, hehe…panjang amat!
“Trus aku harus gimana ya, Nan?” tanya Anggi kembali serius.
“Dibilang-in langsung menikah aja. Gitu aja kok repot!” sarannya cepat. “Jangan tunggu lama-lama, nanti lama-lama diambil orang…” Nani bernyanyi, menirukan lagu dangdut kesukaan Anggi.
Keduanya ngakak.
“Kamu nginep aja ya, Nan. Biar besok gampang, berangkat ke Ancolnya langsung dari sini. Barengan sama aku…” Anggi menyarankan.
Mereka memang punya rencana untuk ke Dufan Ancol. Rekreasi. Melepas kepenatan, setelah mereka sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Sebagai perawat di rumah sakit yang berbeda.
“Lha, Sari gimana?” Nani menyebutkan nama teman sekamar Anggi.
“Dia kan lagi cuti…”
“Oh, ya udah,” Nani setuju.
♥♥♥
Keesokan harinya.
Di Dufan, Anggi dan Nani celingukan di depan loket pembayaran.
“Dia nunggu dimana sih, Gi?” tanya Nani tak sabar, yang sedari tadi sudah tak tahan kepanasan. Keringat sudah berleleran membanjiri wajah putihnya.
“Di sms sih, bilangnya ya, nunggu disini!” Anggi ikut-ikutan resah sambil matanya nyalang, menatap orang-orang yang berseliweran di depannya.
“Tuh, diaaa…! Si Mita…” teriak Anggi kenceng, membuat Nani terlonjak.
“Heh, tengil! Bujuk buneeeng, lama bener Lo,” Anggi langsung menyemprotnya.
Gadis berkerudung ala burung merak itu cengengesan. Nafasnya masih ngos-ngosan.
“Sorry, tadi di terminal, angkotnya ngetem dulu. Lamaaa bener!” ucapnya beralasan setelah acara peluk cium usai. Lalu mengekori dua sohibnya memasuki Dufan. Untungnya tidak terlalu mengantri.
“Hal-lah! Kamu mah kebiasaan, Ta. Lelet…!” cibir Anggi sadis.
Anggi memang terbiasa menumpahkan uneg-unegnya sampi tuntas, kalau ia ingin tenang. Kalau memendam rasa, ia bisa sakit kepala.
“Udah sih, ri-but aja!” lerai Nani jemu.
Katanya datang kesini untuk rekreasi, ini malah ngotot-ngototan.
“Tau tuh, Nenek Lampir bawel! Orang udah minta maaf juga…” Mita menyalahkan. Cemberut.
Anggi melotot. Tidak terima dikatain bawel.
“Buah duku dicawel-cawel. Lu tuh, Mita yang baweeel…” Ia berpantun.
Disambut ger tawa Nani dan Mita.
Anggi memang teman yang sangat unik dan lucu buat mereka. Selain mudah merepet seperti tadi, dia juga cepet baiknya. Belum lagi sifat gokilnya itu, bisa membuat mereka tertawa ngakak. Orang yang mendengar suara tawanya saja, akan ikut tertawa saking lucunya.
Mereka bertiga kemudian ikut mengantri untuk menaiki wahana yang ingin mereka naiki. Wahana pertama yang mereka pilih adalah Niagara.
Kembali di wahana ini, Anggi membuat kedua temannya, juga orang disebelahnya tertawa ngakak. Kejadiannya begini, saat wahana itu baru mulai bergerak. Dan orang-orang yang naik belum berteriak ngeri. Wanita disebelah Anggi sudah teriak duluan. Saking takutnya.
“Bel-looom…!” ucap Anggi kenceng.
Otomatis, wanita itu langsung ngakak. Dan hilang sudah raut ketakutan di wajahnya.
Matahari bersinar terik, saat ketiganya melenggang puas setelah menaiki semua wahana yang mereka inginkan. Kecuali Mita yang tidak turut serta saat kedua sohibnya naik Halilintar. Dia takut.
Mereka berjalan menuju tempat makanan siap saji. Setelah sedari pagi teriak-teriak, menaiki wahana demi wahana. Ketiganya kelaparan.
Sambil menikmati hidangan yang telah disajikan, Anggi memulai pembicaraan.
“Ada hal serius yang ingin aku omongin…” ucap Anggi dengan wajahnya yang dipasang misterius. Tidak seperti biasanya, yang selalu mirip dakocan hehe…
“A-pa?” Nani dan Mita bertanya bareng. Lalu tertawa.
“Terutama buat kita berdua, Nan…”
Nani menautkan kedua alisnya. Sedangkan Mita mengedikkan bahunya.
“Semalem di kost-an aku lupa ngomong”
“Iya, apa Gi? Kelamaan…bikin penasaran aja,”
Mita menngangguk. Mengaminkannya.
“Soal jodoh kita, Nan. Kenapa kok gak nongol-nongol juga…” ucapnya sendu.
“Emang kenapa? Belum waktunya aja kan?” jawab Nani santai.
“Disamping itu juga, ada yang membuat jodoh kita tuh terhambat,”
“Apa sih, Gi? Bikin takut aja loh…” ucap Nani ngeri juga.
“Kata nyokap aku, yang mendatangi orang pinter. Katanya, ada orang yang ngerjain kita, Nan,”
“Ngerjain apa?” Nani tak mengerti juga sebal, karena ucapan Anggi dinilainya terlalu bertele-tele.
“Iya, ngerjain kita…”
“Ngerjain apaaa?” geram Nani hilang sabar.
Anggi dan Mita terlonjak kaget.
“Sab-bar napa, Nan…” ucap Anggi setelah hilang rasa kagetnya. Ia menarik nafas sesaat. “Wajah kita berdua, akan terlihat tua sama orang yang naksir kita,”
“Kok bisa?” Nani tak percaya.
Ngomong berbelit-belit dari tadi, ternyata hanya hal ngaco saja yang didengarnya.
“He-eh, apa hubungannya?’ timbrung Mita yang sedari tadi mendengarkan.
“Ya, bisalah! Buktinya kenapa, hayo! Setiap orang yang mau kenalan sama kamu, langsung pada kabur setelah copy darat sama kamu. Padahal sewaktu sms-an aja, gencarnya nggak ketulungan…” ucap Anggi semangat mengemukakan alasannya.
“Ya, belom jodoh kali…’ ucap Nani cuek, walau didasar hatinya terselip juga pemikiran aneh itu. Menjalari hatinya, benar kah itu?
Semua lelaki yang Anggi kenalkan kepadanya melalui sms, begitu semangat dan menggebu-gebu ingin berjumpa dengannya. Puluhan sms diterimanya. Namun setelah bertemu dan mengobrol, besok-besoknya lagi, boro-boro mengajaknya untuk bertemu kembali. Sms saja, tidak satu pun. Mereka seperti lenyap ditelan bumi.
“Tapi bisa aja sih…” Mita akhirnya menyetujui ucapan Anggi.
“Ah, tau deh…” Nani akhirnya tak ambil pusing.
“Kamu mah nggak percayaan sih, Nan. Orang yang Emakku datangi itu benar-benar orang pinteeer…!” Anggi mendongkol. Informasinya disepelekan.
“Pinter apa, Gi? Pinter ngibul mah iya kali, hehe…” Nani tertawa membalikkan ucapan Anggi barusan.
Anggi cemberut. “Ya, udah kalo nggak percaya. Kalo menurutku sih, kemungkinan itu bisa aja terjadi…” ucapnya menutup pembicaraan.
♥♥♥
Anggi bergegas ke luar dari ruangan Vip, setelah tugas terakhirnya selesai. Menangani pasien di ruangan itu.
Ia memasuki kamar ganti, membuka locker-nya dan mulai mengganti seragam putih-putihnya dengan celan jins gombrang dengan atasan kemeja lengan panjang warna senada. Memandang dirinya di cermin, memeriksa letak jilbabnya. Ia siap.
Anggi melesat menuju restoran Selera Anda, di dekat rumah sakit itu. Menemui Dodi. Pria ganteng yang pernah menjadi pasiennya enam bulan yang lalu. Setelah itu mereka sering bertemu untuk makan siang atau hanya sekedar jalan-jalan ke Mall.
Saat Anggi sedang bertugas tadi, pria itu mengirim sms kepadanya, mengajaknya untuk bertemu di restoran itu. Hatinya berdebar-debar memikirkan hal penting apa yang akan dibicarakan pria itu.
Dua puluh menit kemudian, Anggi mempercepat langkahnya dari tempat parkir ke restoran. Bersamaan dengan masuknya ia ke dalam restoran, hujan lebat turun mengguyur.
Anggi menebarkan pandangannya, menatap kesekeliling ruangan yang cukup ramai. Mencari pria itu. Dimana tepatnya ia duduk. Setelah dilihatnya pria itu, ia menuju meja segi empat di dekat dinding.
Berkata dalam hati bahwa ia gemetar karena udara yang dingin, bukan karena membayangkan senyum pria yang telah menjadi sangat berarti baginya itu.
Karena wajah pria itu menghadap ke ujung meja, Anggi jadi dapat mengamati wajah arsitek muda itu dari samping. Dia suka sekali memandangi helai-helai rambut mengilat tergerai dikeningnya, membuat pria itu tampak rileks, tanpa beban.
“Assalamualaikum…” sapa Anggi lirih setelah berada di dekat pria itu.
Pria itu tersentak, tak menyadari kedatangan Anggi. Kemudian ia menjawab salam itu dan menyilakannya duduk.
“Maaf, kalo Kak Dodi nunggunya kelamaan…” ucapnya basa-basi. Menenangkan debaran jantungnya yang tidak karuan.
“Nggak pa-pa…”
Mereka memesan makanan dan mulai mengobrol kesana kemari, sampai Anggi akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk membicarakan alasan pertemuan mereka.
Anggi berdehem. “Kak Dodi katanya ingin membicarakan sesuatu yang serius dengan saya…” ucapnya menirukan sms yang dikirimkan kepadanya.
“Oh, iya itu…” ucapnya kikuk sambil tersenyum. Kemudian ia membasahi tenggorokannya. “Langsung aja ya, Gi. Kita kan udah lama saling mengenal. Oleh karena itu saya… berniat…melamar Anggi…”
Anggi tersentak, terkejut dengan ucapan pria itu. Ia tak percaya pada pendengarannya sendiri. Kepalanya tiba-tiba pening, menerima kabar yang cukup menggembirakan sekaligus mengejutkannya.
“Gimana, Gi?” tanya Dodi halus dan penuh harap. Suara bas pria itu serasa mengelus gendang telinganya.
Anggi menunduk semakin dalam.
“Kak Dodi…serius? Ingin melamar saya,” tanyanya memastikan.
“Bukan serius lagi, dua rius malah, hehe…” jawabnya bercanda mencairkan suasana kaku yang sempat tercipta diantara mereka.
Anggi ikut tertawa sumbang. “Tapi…Kak Dodi kan tau sendiri, kalo adik saya banyak,” ucapnya menguji kesungguhan lelaki itu.
“Ya, nggak masalah…”
“Terus saya juga…” Anggi ragu.
Haruskah aku mengatakan ini kepadanya?
Anggi bimbang.
Ia takut perkataannya nanti membuat pria dihadapannya itu berubah pikiran. Kemudian ia memantapkan hatinya, kalau dia benar-benar mencintainya dan menginginkannya menjadi istri. Dia harus bisa menerima apa yang akan dikatakannya itu.
Pria tampan dengan lesung pipi di wajahnya itu menunggu.
“Saya…”
“Ya, kenapa?”
“Saya…punya hobi…makan bau-bauan” plong, tercetus juga kata-kata itu dari mulutnya.
Dodi menautkan alisnya tak mengerti. “Maksudnya? Bau-bauan itu apa, ya?”
“Saya suka makan…jeng-kol…”
Di luar dugaan pria dihadapannya itu tertawa lumayan keras, hingga beberapa pengunjung lain menoleh ke arah mereka.
Anggi semakin tertunduk. Wajahnya memerah. Panas.
Setelah puas tertawa, Dodi berujar.
“Itu mah nggak usah dipikirin, Gi. Hobimu itu nggak masalah buat saya. Saya juga suka kok sama jengkol, terutama kalo disemur…” ucapnya sambil nyengir.
Anggi terbeliak.
“Saya sungguh-sungguh loh, Gi,” sambar Dodi cepat seolah tahu apa yang berkecamuk dibenak Anggi.
Anggi tersenyum senang.
Ia percaya pria ini tak berbohong padanya. Dan yang jelas ternyata mereka punya kesamaan. Sama-sama suka makan semur jengkol.
“Gimana, Gi? Kapan saya boleh ke rumahmu?” tanya Dodi serius.
“Terserah Kak Dodi…” Suara Anggi bergetar.
“Itu artinya, kamu setuju menikah dengan saya?” ucap Dodi antusias. Senang.
Anggi mengangguk. Wajahnya merona merah.
Ia bahagia sekali. Jodoh yang selama ini dinantinya, telah hadir dihadapannya. Mengajaknya untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Dan itu menandakan bahwa yang dikatakan ‘orang pinter’ itu benar-benar bohong. Selama ini dia percaya penuh pada ucapan orang itu, hingga membuatnya gelisah tak tentu arah.
Namun ternyata waktu membuktikan segalanya. Sang Pangeran telah datang menjemputnya. Tak sabar ia ingin memberitahukan kabar gembira ini pada keluarganya juga sahabat-sahabat terdekatnya. Bahwa ia akan segera menikah.
♥♥♥
Siang itu, Anggi bersama dua sahabatnya, Nani dan Mita sedang asyik menikmati es krim yang mereka pesan. Mereka duduk melingkar menghadapi meja bundar.
“Aku mo meried, bulan ini sama Dodi…” ucap Anggi senang memberitahukan berita besar itu. Dan ia menikmati wajah terkejut kedua sohibnya.
“Bener?” kata Mita tak percaya. Anggi kan doyan becanda pikirnya.
“Serius, Lo…?” Nani kelihatan seperti akan pingsan.
Anggi mengangguk pasti. “Kenapa sih, Nan? Bukannya senang temennya mo menikah”
“Iya, aku juga senang, Gi. Hanya saja…”
“Kenapa? Kamu keberatan? Karena kita pernah berikrar bahwa kita mo menikah bareng-bareng, tapi kenyatannya aku dapet jodoh duluan, gitu?” potong Anggi nyerocos.
Nani tersenyum. “Justru itu yang ingin aku katakan, Gi. Menikah bareng-bareng…”
“Maksudmu?”
Anggi tak sanggup melanjutkan perkataannya, ia senang bukan main. Seperti mendapat durian runtuh. Meski ia nggak doyan duren, hehe…
“Kalian kenapa sih? Pada aneh gitu…” ucap Mita tak mengerti, ke arah mana sebenarnya pembicaraan kedua sohibnya.
“Kita mo menikah bareeeng…!” ucap keduanya kompak.
Kemudian tertawa bersama.
“Apa? Gila lu pada…” Mita sangsi. “Kamu emang mo kawin sama sapa, Nan?” ucapnya menatap Nani lekat-lekat.
“Bukan kawin, Ta. Me-ni-kah…” ralat Nani cepat.
“Sama aja kan? Kawin”
“Beda atuh, kawin mah sebelum menikah juga bisaaa…” Anggi nyengir.
“Sama siapa, Nan?” kejar Mita lagi penasaran.
“Mas Anhar…”
“Anhar siapa? Perasaan kamu nggak punya kenalan yang namanya Anhar deh,” Anggi yang mulanya senang tapi akhirnya sangsi juga.
Mungut cowok dimana tuh anak, dia kan jomblo, hehe…
Mita mengangguk setuju. “He-eh, siapa sih Anhar? Ngarang deh Nani…”
“Aku serius. Sebenernya aku juga nggak kenal?”
“Tuh kan, bokis abis!” potong Anggi gemas.
“Aku kan belum selesai ngomongnya, Gi. Aku kenal Mas Anhar tuh pas ta’aru,f”
“Siapa yang ngenalin?” Anggi menyelidik.
“Teh Nia. Katanya sih Mas Anhar itu adik teman Teh Nia. Katanya lagi, dia lagi nyari calon istri. Pas Teh Nia ngasih tau kalo Teteh punya adik yang belum menikah, maksudnya aku gitu…” tunjuk Nani kedadanya. “Dia pengen dikenalin. Dan gitu deh, dia cocok sama aku. Dia dokter loh, seperti yang kuinginkan selama ini…” mata Nani berbinar-binar. Senang.
“Iya?” tanya Anggi takjub.
Nani mengangguk pasti.
“Syukurlah, akhirnya kesampaian juga, kita nikah bareng ya, Nan?” ucap Anggi serak, dua bulir bening menggenangi pipinya.
“He-eh” kata Nani terharu, ikut-ikutan menangis.
Mita hanya bisa bengong menyaksikan dua sohibnya itu bertangis-tangisan. Tangis bahagia.
“Omongan ‘orang pinter’ itu nggak terbukti kan, Gi?” celetuk Mita tiba-tiba.
“Iya. Nyesel deh, aku sempat mempercayai omongan itu. Sampe-sampe, aku hampir tiap malam baca ayat Kursi sambil ngaca untuk menghilangkan ‘muka tua’ dari wajahku…” ucapnya menyesal.
Kedua sohibnya itu tertawa pelan. Mentertawakan kebodohan Anggi.
“Lha, ngaca sambil baca ayat Kursi itu pepatah dari siapa?” tanya Nani diiringi dengan tawa tertahan.
“Tetanggaku…” ucap Anggi lirih dengan wajah memerah. Malu.
Nani dan Mita ketawa lagi.
Kemudian Nani terdiam.
“Kenapa, Nan? Kok tiba-tiba langsung diem…” Anggi heran.
“Aku juga sempet percaya sama ucapan orang pinter itu, Gi,” ucapnya jengah.
Anggi terbeliak. “Sumpe, Lu? Bukannya waktu itu kamu nggak percaya?”
“Mulanya sih iya, aku nggak percaya. Tapi…”
Diceritakannya pada kedua sohibnya itu bahwa ia sempat kepikiran akan hal itu. Dan tanpa disengaja ia mengatakan hal itu pada Mamanya. Sang Mama yang pada dasarnya masih percaya pada hal-hal seperti itu, langsung menyuruhnya mandi tengah malam dengan berbagai macam bunga. Tidak tanggung-tanggung sepuluh rupa, bukan tujuh lagi.
“Malam apa mandinya?” tanya Anggi antusias.
“Jumat Kliwon…”
Anggi ngakak.
“Kenapa? Iya sih aku emang bodoh. Termakan ucapan orang yang kamu bilang pintar itu, juga terbujuk ucapanmu,” ucap Nani semakin menunduk. Malu hati.
“Bukan itu, Nan. Aku bukan ngetawain kebodohanmu, tapi…aku juga sama,”
“Sama gimana?” Nani mengangkat kepalanya.
“Aku juga mandi kembang tengah malam…”
Nani dan Mita melongo. Kemudian ngakak bareng.
“Jangan bilang, malam Jumat Kliwon juga?” ujar Mita sambil menahan tawa.
Anggi mengangguk lemah.
Kembali kedua sohibnya itu tertawa ngakak.
Nani sampai memegangi perutnya, saking gelinya mendengar akan hal itu. Dia pikir hanya dirinya saja yang bodoh, ternyata Anggi dua kali lipat lebih bodoh darinya.
“Makanya, lain kali jangan asal percaya aja,” ucap Mita mengingatkan. “Hari gene! Masih percaya ‘orang pinter’ hik hik…” sindirnya tajam.
“Udah sih, malu aku, aaah…” Anggi nyanyi.
Keduanya tertawa lagi.
“Buat pelajaran tuh, Gi. Asal percaya aja, yang ada kamu sendiri yang jadi paranoid,” saran Nani sok bijak.
“Kamu juga!” selak Anggi tak mau kalah.
“Baik, Mak…”
“Mak, Mak…kapan aku kawin sama Bapakmu!” jitak Anggi pelan.
Mereka tertawa bersama.
♥♥♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar