Kusingkirkan buku yang ada dipangkuanku. Dan kucopot kaca mata yang bertengger dihidungku. Ugh! Capek juga dari tadi membaca buku. Pusing. Perlahan kurebahkan kepalaku kesandaran sofa, lalu kuraih remote teve.
Klik! Kutekan tombol power-nya.
“Selamat sore pamiarsa muda. Berjumpa kembali bersama saya… Dalam acara reality show pertama di Indonesia. Yaitu acara tembak menembak pasangan. Dalam acara…”
Klik! Chanel kuganti.
Acara apaan tuh, mengajak orang untuk berbuat maksiat.
“Jangan diganti, Teteh! Lagi seru juga!” teriak Andin tiba-tiba.
Ugh! Bikin kaget saja, dikira ada apa.
Ia merebut remote dari tanganku. Dan duduk paling depan menghadapi layar teve. Aku menggeleng-gelengka kepala. Heran, acara seperti itu kok digandrungi. Padahalkan tidak mendidik.
“Ih.., bego banget tuh cowok! Ditembak cewek kok lari. Nurunin harga diri cewek aja!” Andin menggerutu sendiri.
Idih.., si Andin sewot. Ada juga tuh cewek kali yang gak punya harga diri.
Sudah tahu cowoknya tidak mau, masih dikejar-kejar juga. Jaga izah dong.
“Jomblo berkualitas minggu ini adalah seorang cewek manis, cantik..,” presenter itu dengan semangatnya mempromosikan cewek jomblo itu.
Cewek cantik kok promosi, tidak laku-laku apa? Terlalu pilih-pilih kali, yee..., padahal kriteria pasangan yang baik dalam Islam kan, yang baik agamanya.
“Teteh…! Asyik kali ya, kalau Andin masuk HQJ, hehe..,” ucapnya konyol.
“Kamu, Din?” Andin mengangguk, “Kamu mah gak laku, Din! Abis..., Low Quality sih, hehe..,” gurauku tak kalah konyol.
Andin cemberut. “Ampun deh si Teteh. Adeknya bukan didukung, ini malah dibuat down,” Ia manyun.
“Idih kebagusan! Ngedukung kamu? Tak use, yee…! Kalau kamu ikut pengajian, baru Teteh dukung.”
“Tak use juge, yee…! Ngapain ikut pengajian? Gak level”
Aku melotot. “Gak level? Ngaji dibilang gak level? Kelewatan anak ini. Istigfar dong, Din…istigfar…”
“Astagfirallahaladzim…” ucapnya penuh penekanan “Udah, Teh, puas?” sementara matanya tak lepas dari layar kaca. Kelewatan.
Aku mengurut dada. “Acara picisan kayak gitu aja jadi tontonan wajib. Giliran ada acara Tausiah Aa Gym aja, boro-boro ditonton ngelirik aja ogah tralala” ucapku gemas.
“Jelas dong. Ngeliat apa tadi? Tahu-sia, hehe…males. Abis Aa-nya nyentil-nyetil mulu plus nyindir Andin supaya jadi wanita sholehah, berkerudung kayak Emak-emak…”
Sembarangan. Orang pakai jilbab dibilang mirip Emak-emak, tidak lihat apa, betapa sang Teteh terlihat anggun dan cantik begini, hihi…muji sorangan.
“Ya, ampuuun…ditolak!” teriak Andin mengagetkanku lagi. “Ganteng-ganteng gitu kok ditolak. Coba kalau gue yang ditembak, Ugh! With all my heart..,” ceracaunya kacau.
Ugh! Dasar!
Kualihkan pandanganku ke layar teve. Seorang cewek berjilbab sedang ditembak oleh cowok yang lumayan keren.
Syukurin! Tuh cowok ditolak, cian deh…!
Tidak peka sekali tuh cowok. Sudah tahu cewek berjilbab, masih diganggu-ganggu juga.
@@@
“Nis! Tau nggak?”
“Nggak!”
Afi manyun. Lucu sih, baru datang kok ditanya-tanya. Enggak nyambunglah…
“Dooo…segitu sewotnya,” kujawil pipinya, “Ada apa?”
Aku menghempaskan tubuhku ke kursi. Dan menghadap ke arahnya.
“Cewek yang ditembak di teve kemarin tuh ternyata jadian loh! Muna’ ya? Di teve aja berlagak gak butuh. Padahal kegeeran tuh!” cerosos Afi sewot.
Setelah terdiam sesaat. Aku baru ngeh’ apa yang diocehkan Afi barusan. Ternyata, tentang acara itu.
Ihh…aku kira ngomong apaaa…gitu! Tidak bermutu sekili sih.
“Kamu tahu dari mana, Fi? Bisa jadi itu hanya gosip!” ujarku acuh tak acuh.
“Ih, bener, Nis. Cewek itu kan, temennya Ririn. Ya kan, Rin?” todongnya pada Ririn yang sedang asyik menekuri bukunya.
“He-eh,” ditutupnya buku yang dipegangnya, “Padahal si Nina itu terkenal alim, loh! Heran deh, bisa berubah gitu. Gak malu apa, ya? Pada jilbab yang dipakainya.”
Ya, Allah. Tak kusangka sohib-sohibku hobi gosip juga.
“Eh, Nis. Kalau kamu kejadian ditembak kayak temennya Ririn, gimana?” tanya Afi culun.
“Aku? Tak use, yee! Emangnya aku akhwat apaan?” elakku cepat. Yang bener saja. Ditembak?
Hiiiy…gak kebayang deh, bisa mati aku!
“Ah, yang bener?” goda Ririn konyol.
“Pacaran? Gak ada kamusnya, Non! Jagalah hati....” timpalku bernyanyi.
“Aku sih mau aja ditembak…” Ririn cengar-cengir.
Aku melongo. “Kamu, Rin?”
Ririn mengangguk. “Tapi setelah ditembak gak pacaran lagi, but…langsung meried, hehe…”
“Udah kebelet nih ceritanya…” goda Afi mesem-mesem, “Perlu perantara, Rin?”
“Wualaaah…sok naik daun!” cibir Afi greget.
Ririn manyun. “Naik daun, emang ulet…”
“Iya, Rin. Ulet yang kebelet kawin, hehe…”
“Udah ah, becandanya” ucapku menengahi perbincangan yang tak ada juntrungannya itu. “Aku mau ke Perpus, ah…nyari buku, buat tugas Typografi”
Aku bangkit. Dan bergegas ke luar kelas.
“Aku ikuuut…!” teriak keduanya kompak.
@@@
Aku membolak-balik buku yang tergeletak dihadapanku. Sayup-sayup sampai terdengar percakapan, dua gadis yang duduk di seberang meja.
“Aku juga mau ditembak kalau cowok-cowoknya ganteng gitu. Seperti…” terdengar cekikikan halus keduanya.
Ya, Allah. Ternyata bukan hanya adikku aja yang keranjingan acara tersebut. Temen-temen sekelasku juga. Dan ini lagi dua cewek, masih sempat-sempatnya cekikikan di Perpus. Mau baca, apa mau bergosip sih? Kalau mau bergosip di luar napa!
Aku mengumam gemas.
“Apa, Nis?” Afi menyenggol bahuku.
“Enggak.”
“Saya mau menembak seorang cewek yang udah lama saya taksir..,” tiba-tiba saja seorang cowok memegang mic masuk ke dalam Perpus. Diikuti oleh seorang kamerawan.
Serentak semua penghuni Perpus menengok ke asal suara. Tanpa terkecuali. Yang serius membaca, mengangkat kepalanya. Yang sedang nyari-nyari buku di rak, ikut-ikutan menyembulkan kepala.
“Ada apa sih? Xyzzzzx...,” terdengar kasak-kusuk disana-sini. Berdengung seperti suara lebah.
“Arif..,” ucapku, Ririn dan Afi kompak. Kami saling berpandangan.
Arif adalah teman sekelas kami. Dia terkenal sebagai anak yang paling kalem dan pendiam di kelas. Benar-benar tak disangka.
“Mau menembak siapa, ya, si Arif?” Bisik Afi ke arahku.
“Tau…”
“Sudah lama saya memperhatikan cewek ini. Dia itu bla, bla, bla..,” ujar cowok itu semangat di depan para penghuni Perpus. Gayanya sudah seperti sales menawarkan dagangannya, hehe…
Semua masih H2C (Harap-harap Cemas) menuggu siapa yang akan ditembak cowok itu.
Tiba-tiba Arif mendekati meja dimana aku dan dua sohibku duduk. Cahaya lampu kamera menyorot ke arah kami.
Nah, loh…kami bertiga kan para jilbaber? Siapa coba yang mau ditembak? Si centil Afi, apa ya?
“Nisa, sebenarnya sudah lama aku mencintaimu..,” terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan suitan disana-sini.
“Nis, kamu ditembak!” Ririn mengagetkanku yang sama sekali belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Deg!
Jantungku melorot. Mukaku memerah. Panas.
Belum sempat kuanalisa apa yang sedang berlangsung. Seorang wanita menyorongkan mic-nya ke mulutku.
Aku beristigfar. Aku masuk acara…?
Apa-apaan ini? Tidak! Ini tak mungkin terjadi. Ini hanyalah mimpi! Bagaimana mungkin aku masuk acara yang selama ini aku anggap picisan.
Arif menyorongkan dua buku kehadapanku. Buku Indahnya Pernikahan Dini (IPD) dan Kupinang Kau Dengan Hamdalah (KKDH) karangan M.Fauzil Adim.
“Kalau memilih KKDH berarti kamu menerimaku. Kalau memilih IPD berarti kamu menolakku,” ujarnya memintaku memilih.
Aku terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Perasaan malu dan terhina berbaur menjadi satu. Menggumpal didadaku.
Tega sekali si Arif melakukan ini padaku!
“Ayolah, Nis?” Ia memohon dengan wajah memelas.
Aku tak bergeming. Semua yang hadir menatap ke arahku. Menanti jawaban.
Tiba-tiba aku teringat ucapan Ririn di kelas tadi.
Perlahan aku bangkit. Menarik nafas sesaat.
“Kuhargai keberanianmu untuk mengungkapkan perasaanmu padaku, Rif. Tapi..,” Aku menggantung ucapanku, “…akan sangat lebih aku hargai lagi, kalau kamu berani datang ke rumahku. Mengungkapkan semua perasaanmu kepada kedua orang tuaku. Untuk melamarku.”
Deg!
Wajah tampan dihadapanku terperangah. Memerah. Jengah.
Kembali dengungan terdengar disana-sini.
“Dan..,” Semua yang hadir terdiam, “…kalau kamu tak berani datang ke rumahku. Berarti, semua ucapanmu barusan hanyalah kebohongan belaka,” ucapku tajam.
“Terima kasih…” aku menyeruak diantara kerumunan orang. Dan bergegas pergi.
Tak kuhiraukan teriakan dua sohibku. Juga teriakan-teriakan lainnya. Hanya satu yang kuinginkan. Segera lari dari tempat ini. Kabur.
@@@
Setelah acara “aku ditembak Arif” tayang. Orang serumah pada geger. Terutama Andin.
“Salut deh sama Teteh, orang sekaliber Teteh ada yang nembak, hehe…kuereeen, nampang di teve euy!” ucap Andin semangat. Konyol.
“Boro-boro keren, Din. Teteh malu tau…” aku gemas.
“Makanya jangan suka mencela suatu tayangan, Teh” Andin menyalahkan, “Kena batunya deh, gak tanggung-tanggung ditembak lagi, haha…”
Andin ngakak, sejadi-jadinya.
Aku manyun.
Apa yang Andin ucapkan belum seberapa, dibandingkan ucapan orang-orang di komplek perumahan dimana aku tinggal.
“Neng Nisa geulis pisan aya di tivi…”
“Teh Nisa payah, cowok ganteng gitu kok ditolak…”
“Suiiit…suit…! Nisa, aku mencintaimu…”
“Kalau Aa yang tembak terus dilamar mau gak, Neng?” ucap tukang ojek yang mangkal dipersimpangan depan.
Menyebalkan…!
“Kok sebel sih, Nis. Kan bagus jadi seleb dadakan, hehe…” ucap Afi saat kutelpon untuk mengadukan kekesalanku.
“Boro-boro seleb, yang ada aku kelelep saking malunya” ucapku gemas. “Ini gara-gara si Arif sih pake acara nembak-nembak segala”
“Ya, udahlah, Nis. Ambil hikmahya aja…”
“Hikmah apaan?” jawabku sewot.
“Kali aja kamu tiba-tiba dilamar Arif, hehe…walimahan deh”
“Ngaco, kamu!”
Ting nong! Ting nong!
“Udah dulu ya, Fi. Ada suara bel tuh. Assalamualaikum…” kuletakkan gagang telpon di tempatnya. Kemudian bergegas ke arah pintu.
Clek…!
Pintu terkuak.
“Assalau’alaikum, Nis...,”
“A…Arif!” aku terperanjat melihatnya. Ia berdiri tegak di ambang pintu.
“Iya, ini aku…” ucapnya tersenyum manis.
“Ada perlu apa?” tanyaku, setelah hilang rasa gugupku.
“Lha, menurutmu, aku harus berani datang ke rumahmu. Apabila ingin melamarmu. Dan sekarang aku datang bersama kedua orang tuaku, untuk melamarmu,” ucapnya telak mengenaiku.
“Ini Papa-Mamaku…”
Nah, loh!
Aku terpaku. Tak tahu apa yag harus kuucapkan.
“Saha, Nis?” gawat! Mama! “Kok tamunya gak disuruh..,”
Gabruk…!!!
Aku jatuh tersungkur. Dan semuanya menjadi gelap.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar