Minggu, 01 April 2012

MALU KARENA GIGI

Aku berdiri di atas balkon lantai tiga mall di daerah Serpong. Menatap semua yang terhampar dihadapanku. Sambil merasakan belaian angin. Semilirnya mengelus setiap inchi tubuhku. Membuat pikiranku fresh seketika.
Aku menunggu teman facebook yang tinggal tak jauh dari mall. Ia mengajak copy darat saat tahu aku akan ke mall melalui status yang aku buat.
”On the way mall Serpong...berburu buku murah hehe…”
Begitu bunyi sebaris status yang aku buat.
Tak lama kemudian. Sebuah pesan menyambangin inbox-ku. Dari seseorang yang bernama Aku YangSelalu Tersakiti.
”Mau nggak ketemuan ma aku, Kang Dey. Kebetulan, aku tinggal di daerah Serpong juga. Nggak jauh dari mall. Mau, ya. Penasaran ma Kang Dey setelah membaca note2nya”
Aku mengiyakan permintaan teman facebook-ku itu. Tak ada salahnya bertemu dengan orang yang menyebut dirinya, Si Aku YangSelalu Tersakiti. Lumayan, menambah teman dalam artian sebenarnya. Tak hanya sekedar dalam daftar teman facebook saja.
Percuma punya teman bejibun, kalau tak menjadi benar-benar teman.
Siapa tau copdar ini akan menambah erat tali silaturahmi yang terjalin.
Setiap liburan anak sekolah, aku memang kerap mendatangi mall ini. Menghadiri pameran buku dengan diskon gila-gilaan. Bayangkan, diskonnya hingga 80 persen. Membuatku sakit kepala kalau hanya membawa duit pas-pasan. Maklum, predator buku. Huhu.
”Maaf, permisi. Ini Kang Dey, bukan?”
Sebuah suara mengejutkanku. Memutus lamunan.
Aku membalikkan badan.
Seorang pemuda sebayaku. Dengan postur tubuh lebih tinggi sedikit dariku. Memakai kaos lengan panjang bergaris-garis. Sebuah topi berwarna hitam menutupi kepalanya.
Aku tersenyum. Mengangsurkan tanganku. Mengajak bersalaman.
Ia menjabat tanganku. Kepalanya tertunduk. Terlihat grogi. Dan seolah tak percaya diri.
Kami pun berkenalan.
Namanya Syaiful Anwar. Umurnya 27 tahun. Wajahnya terlihat sedikit lebih tua dari usia sebenarnya.
“Kang Dey bener, usianya sekarang 33 tahun?”
Ia bertanya dengan tatapan tak percaya. Meragukan usiaku.
Aku hanya nyengir mendengar pertanyaan itu.
Dia orang yang kesekian yang tak percaya pada usiaku. Hanya karena melihat postur tubuh juga wajahku yang jauh lebih muda dari usiaku yang sebenarnya.
”Bagaimana perasaan kamu setelah ketemu aku, Kang? Pasti kecewa, ya...”
Ia melontarkan kata-kata itu tanpa menatapku. Ia menatap kejauhan. Entah apa yang ia lihat.
Aku tersenyum.
”Kenapa harus kecewa, Ful?”
Aku memberanikan diri menyebut namanya. Seolah kami dua orang sahabat yang telah lama tak bersua.
Sok akrab ceritanya. Aku kan begitu orangnya. Mudah akrab dengan orang lain yang terlihat menerima aku apa adanya.
”Melihat kondisiku yang seperti ini...”
Suaranya terdengar nyaris seperti bisikan.
”Kondisi seperti apa maksudnya? Yang aku lihat, kamu baik-baik saja. Sehat, bugar, tak ada cacat”
Ia menatapku dengan pandangan sinis.
”Gigiku yang menonjol ini, Kang”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan raut wajah yang terlihat tak nyaman. Ia seperti tertekan.
”Kenapa aku harus kecewa, Ful? Aku berteman dengan siapa aja. Tanpa memandang rupa, fisik, pekerjaan dan lain sebagainya. Aku mau berteman. Kamu mau berteman. Ya, sudah. Kesamaan itulah yang membuat aku nggak perduli dengan kondisi seperti apapun yang dimilikinya. Mau berteman kok repot amat”
“Tapi kebanyakan orang sepertinya menyesal kalau udah ketemu aku, Kang”
”Ah, itu sih perasaan kamu aja, Ful”
”Bener, Kang Dey. Buktinya, mereka ngga mau diajak ketemuan lagi ma aku. Terus juga nggak mau komen-komen lagi di status-status aku. Apa coba namanya, kalau bukan nggak suka ma aku. Itulah sebabnya, kenapa aku pakai foto yang bukan diriku. Tapi wajah-wajah selebritis Korea yang mancung hidungnya. Bukan mancung giginya seperti aku”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan gemas. Merepet tanpa jeda. Ia seperti bak yang sumbatnya dicabut. Lalu mengalirlah air yang selama ini terkungkung di dalam bak.
Setiap orang memang mengidamkan penampilan fisik yang serba ideal. Yang body-nya gemuk ingin kurus, yang kulitnya item ingin putih, yang rambutnya kriting ingin lurus, yang hidungnya rata ingin mancung, yang bibirnya tebal ingin tipis, yang tubuhnya pendek ingin tinggi semampai.
Banyak sekali yang menjadikan itu sebagai obsesi. Sehingga krisis pede pun melingkupi orang yang bersangkutan.
Aku pikir, krisis pede itu sesuatu yang nggak enak banget. Aku juga pernah mengalami hal itu. Aku selalu ngerasa nggak nyaman, karena terus-terusan memikirkan kekurangan yang ada padaku.
”Padahal pola pikir seperti itu malah akan membuat orang lain ngerasa nggak nyaman ma kita, Ful. Mereka akan mikir dan nyari apa sih yang bikin kita jadi pendiem dan minder. Dan saat mereka menemukan apa yang jadi keminderan kita. Ya, udah. Habislah kita jadi bahan ledekan mereka”
”Coba kalau kita nyantai aja dengan penampilan fisik kita. Menerima diri dengan penuh rasa syukur. Waktu dan energi kita yang terbuang percuma, karena kita hanya memikirkan kekurangan kita melulu. Lebih baik kita gunakan untuk mengembangkan banyak potensi yang masih tersembunyi dalam diri kita”
”Tapi aku ngerasa, nggak punya potensi apa pun, Kang Dey”
”Siapa bilang?”
”Akulah, Kang Dey. Barusan, kan...”
Syaiful mengatakan itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Kami pun tertawa bersama.
”Potensi kita tuh banyak, Ful. Kecerdasan, organisasi dan keterampilan komunikasi. Kalo kita bisa tampil supel dengan segala potensi dan kelebihan-kelebihan diri kita, ditengah-tengah kekurangan yang kita punya. Orang lain nggak akan nyari-nyari kekurangan yang ada pada diri kita”
”Yakin, kang Dey?”
”Kamu harus yakin dong. Buktinya aku”
Syaiful mencebikkan mulutnya. Tak percaya padaku.
”Kamu nggak dengar suaraku yang halus kayak cewek. Juga gayaku yang agak gemulai ini”
Syaiful nyengir mendengar ucapanku.
”Hal itu pernah membuat aku down banget, Ful. Aku juga sempat terkukung dalam dilema berkepanjangan. Harus bersikap gimana dengan kondisiku ini. Tapi lama-lama, aku sadar. Bahwa aku adalah manusia yang ngga bersyukur banget. Kufur nikmat pangkat seratus. Kalo aku terus-terusan menjadi manusia yang terpuruk hanya karena kondisiku itu”
”Padahal Allah udah ngasih banyak kelebihan ma aku. Tapi kenapa kelebihan itu nggak aku gali dan munculkan. Jadi berangkat dari pemikiran itu, aku pun bangkit dan berbenah. Untuk menjadi pribadi yang percaya diri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku miliki”
”Dan seperti yang kamu lihat sekarang. Aku tampil apa adanya aku. Tanpa ada yang aku tutup-tutupi. Orang mau menerima aku, alhamdulillah. Sesuatu banget, ya”
”Syahrono kale...”
Syaiful nyeletuk.
Kami pun ngakak bareng.
”Kalo ngga mau menerima, kebangetan sekali”
Aku pura-pura lemas.
Syaiful tertawa.
”Aku nggak nyangka, kalo Kang Dey juga pernah ngalamin apa yang aku rasakan. Kirain aku doang. Perasaan tertekan itu. Dan merasa tidak diterima itu”
Ia mengatakan itu seolah-olah tak percaya. Hal demikian pernah terjadi padaku.
”Itu dulu, Ful. Sekarang tidak lagi”
Aku menirukan kata-kata pada iklan shampoo di teve.
”Lanjut, Kang Dey. Aku suka dengan uraian, Kang Dey. Cepat masuk ke otakku”
Syaiful cengengesan.
”Ya, itu tadi. Mereka udah terlanjur respek dengan kelebihan yang kita punya. Intinya mah mereka udah suka ma kita, karena potensi yang kita miliki. Jadi mana sempet mereka nyari-nyari kekurangan kita, Ful”
”Gini aja deh. Saat kita memiliki kekurangan yang nggak mungkin di rubah, kita harus pinter-pinter menggali dan nemuin kelebihan lain yang bisa kita tampilkan. Itu yang dulu aku lakuin”
Syaiful mengangguk-anggukkan kepalanya. Meresapi yang barusan aku ucapkan.
Kami berdua menatap matahari yang mulai condong ke arah barat. Magrib segera tiba.
”Dan kamu harus inget, Ful. Allah nggak menilai rupa dan fisik hamba-Nya. Tapi yang jadi penilaian adalah iman kita. Jadi kalau kamu bisa menerapkan prinsip ini dalam kehidupan kamu, maka kamu akan jadi manusia pede yang berjalan dimuka bumi ini”
”Kamu nggak usah repot-repotlah mikiran bentuk gigilah, mulutlah, gusilah, hidunglah. Semua itu bukanlah segala-galanya dalam hidup ini, Ful. Yang penting nih, Ful. Mulut kamu itu masih berfungsi dengan baik. Nggak sakit saat makan, minum dan berbicara. Dan yang paling penting lagi, mulut kamu itu nggak ngerugiin orang lain. Dan nggak dipakai buat nyakitin orang lain dengan kata-kata kamu. Bener nggak, Ful”
”Bener banget, Kang Dey”
Wajah Syaiful berbinar-binar. Tak seperti saat pertama ketemu tadi. Kusut dan ditekuk-tekut. Blas, nggak nyaman dilihat.
”Allah udah mengfungsikan organ tubuh kita dengan sebaik-baiknya, Ful. Bukan bentuk gigimu yang harus kamu pikirin. Tapi mulut kamu yang kamu gunakan untuk murah senyum, murah hati, menuturkan kata-kata yang sopan, santun, bijak dan itu yang akan bikin orang lain nyaman sama kamu. Bukan rasa nggak nyaman akan bentuk gigimu lagi”
”Dengan begitu malah mendatangkan penghargaan dari orang lain, kan. Hati kita juga penuh syukur. Kata-kata yang kita ucapkan lebih berarti, menumbuhkan kharisma juga rasa confident. Percaya diri. Jadi, mulai saat ini, say good bye aja deh sama tuh minder. Oke, Ful?”
Syaiful mengangguk mantap.
“Ngedenger kata-kata Kang Dey, aku jadi semangat banget. Nggak pernah aku ngerasa sesemangat ini dalam hidup. Sumpah, Kang Dey. Aku seperti hp yang ngedrop. Trus di cas sampe full. Itulah yang aku rasain sekarang, Kang. Makasih banget...”
Mata Syaiful berkaca-kaca. Dan tiba-tiba saja dia terisak-isak.
Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana.
Selama ini aku emang paling nggak bisa menghadapi orang yang lagi mellow. Kalau istriku sedang sentimentil aja aku suka kelabakan. Nggak tau harus bagaimana menghadapinya.
Balaraja, 06 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar