Kamis, 05 April 2012

KKAEJIN MAEMEURO "PATAH HATI"

Aku dan Choi Jin Wook duduk di atas tribun deretan paling atas di gedung Istora Gelora Bung Karno. Duduk santai di kursi berwarna biru yang berjajar rapi. Berhadapan langsung dengan panggung utama.
Satu dua orang bertebaran di kursi-kursi itu dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang membaca buku, ada yang menatap panggung utama, ada yang sedang makan camilan. Ada yang duduk melamun dangan tatapan kosong jauh ke depan. Ada pula yang sedang asyik mengupil.
Aku menatap hilir mudik pengunjung pameran book fair di bawah sana. Lalu beralih menatap panggung utama. Seorang penulis novel terkenal sedang mengadakan bedah buku. Dikerumuni oleh para penggemarnya. Takjim mendengarkan penuturan sang novelis. Tentang ide cerita novel yang telah dia buat.
”Eotteohkaji, Kang Dey? (Apa yang harus aku lakukan, Kang Dey)”
Jin Wook memutus pengembaraan mataku. Aku beralih menatap mata kecil dengan kelopak mata tunggal itu. Mata itu terlihat muram.
Ia baru saja putus dengan pacarnya. Dan ia masih belum bisa menerima kenyataan. Akan kandasnya hubungan percintaannya.
”Keumanhae (Sudahlah). Lupakan saja dia. Dunia ini kan tidak selebar daun talas, Jin Wook”
”Tapi dia itu cinta pertamaku, Kang. Sulit melupakan dia begitu saja. Aku juga ingin melupakannya. Tapi aku tidak bisa. Andweyo, Kang Dey (Tidak bisa, Kang Dey)”
Ia mengucapkan kata-kata itu dengan wajah nelangsa.
”Bukan tidak bisa, Jin Wook. Tapi belum. Dengan berlalunya waktu, aku yakin. Kamu akan bisa melupakannya”
”Algo ittneundeyo. Eojol su ebseoyo (Aku tahu sih. Tapi, tidak ada cara lain). Untuk saat ini aku masih belum bisa melupakannya”
Choi Jin Wook tertunduk. Kedua tangannya meremas-remas rambut gondrongnya. Terlihat frustasi sekali.
Aku mengenal cowok Korea ini secara tak sengaja.
Setahun yang lalu, aku hendak ke book fair. Saat busway transit di Harmoni. Aku bergabung dengan antrian panjang ke arah Senayan.
Tiba-tiba saja seseorang dibelakangku mendorong tubuhku hingga aku nyaris terjerembab jatuh. Untung saja, seorang Bapak di depanku sigap menahan tubuh olengku.
”Aissshhh, cinca!”
Aku mendesis. Tanpa sadar aku menggunakan kosa kata bahasa Korea. Kata-kata itu sering digunakan dalam drama Korea yang aku tonton. Saat orang sedang kesal karena suatu hal.
”Mianhae. Mianatahaeyo (Maaf. Maafkan saya)”
Aku menoleh. Melihat seorang cowok seusia denganku. Memiliki wajah menyanjung dengan tulang pipi tinggi atau persegi dan mata kecil dengan kelopak mata tunggal. Tipikal orang Korea.
Berulangkali menundukkan kepalanya. Meminta maaf padaku.
Ia tak sengaja. Ada dorongan kuat dari arah belakangnya sehingga dia merangsek ke arahku. Dan aku pun terdorong.
Ia menjelaskan. Wajahnya penuh penyesalan.
”Gwaenchanayo. (Ya, sudah. Tak apa-apa)”
Aku beranikan diri menggunakan bahasa Koreaku yang belum fasih. Setelah yakin bahwa cowok itu orang Korea. Lumayan, bisa mempraktekkan bahasa yang aku gemari itu. Meskipun badanku jadi panas dingin karenanya.
Selama ini aku ingin sekali mempraktekkannya, tapi tak ada lawan untuk kuajak bicara. Jadi seringnya berbicara sendirian seperti orang gila.
”Wa, neoneun hanggugeoreul malhal su itgunyo? (Kamu bisa berbahasa Korea rupanya)”
Ia terlihat girang.
”Ne, geurojiman geureoke jal haji mothaesseoyo (Bisa, tapi nggak terlalu fasih menggunakannya)”
Dan kami pun berkenalan.
Namanya Choi Jin Wook. Ia orang Korea yang sudah lama menetap di Indonesia.
”Kang Dey...”
Panggilan itu menyadarkanku yang tenggelam dalam arus lamunan. Mengingat awal kami berkenalan.
Aku tersenyum. Menutupi malu karena ketahuan sedang melamun.
”Mian (Maaf) Museun irindeyo? (Ada apa?) Malhae bwayo (Katakan saja)”
”Eotteohkaji? (Apa yang harus aku lakukan?)”
Ini kedua kalinya ia mengatakan kata-kata itu dengan wajah memelas. Tak bergairah. Seolah hidup segan, mati pun tak mau.
Aku menghela nafas perlahan.
”Saat kamu memutuskan untuk jatuh cinta pada seseorang. Seharusnya sejak awal kamu harus sudah siap dengan resiko yang akan kamu tanggung. Salah satunya yaitu putus cinta. Dengan mengetahui resiko apa saja yang akan kamu hadapi kelak. Kamu pasti tidak akan terlalu sakit hati apalagi sampai frustasi seperti sekarang ini. Hanya karena dia memutuskanmu dan pergi meninggalkanmu”
”Keuraeso, naega calmothaeso? (Jadi, aku yang salah?)”
”Aku tidak menyalahkanmu, Jin Wook. Aku hanya mengatakan bahwa dalam hidup ini. Apa pun yang kita lakukan pasti ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Apapun itu. Jadi, saat kamu memutuskan berpacaran, kamu harus siap dengan resiko putus. Saat kamu memutuskan sendiri, tanpa pasangan, kamu juga harus siap dengan ucapan orang lain pada kamu. Misalnya dibilang tidak laku. Atau jomblo karatan. Atau bujang lapuk. Dan lain sebagainya. Itu maksud dari ucapanku”
”Nan ihae haesseo (Aku sudah mengerti)”
Choi jin Wook menjawab lirih. Nyaris seperti bisikan.
Kita memang tidak bisa menganggap putus cinta itu hal yang sepele. Bagaimana bisa disebut sepele, kalau gara-gara putus cinta ada orang yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Berita itu begitu marak menghiasi pemberitaan di televisi akhir-akhir ini.
Dan melihat kondisi sahabatku ini. Aku jadi khawatir. Khawatir dia melakukan hal-hal gila. Dan diluar dugaan.
”Apa yang membuat kalian putus?”
Aku mulai mengorek keterangan darinya.
“Dia jatuh cinta pada orang lain”
“Mengapa dia jatuh cinta pada orang lain?”
“Mungkin karena aku dinilai tidak pantas berdampingan dengannya”
“Kalau itu alasannya. Mengapa tidak dari awal saja”
”Mungkin, dia hanya ingin coba-coba saja denganku”
”Kata lainnya adalah mempermainkanmu, begitu?”
”Geureon geot gathayo (Sepertinya begitu)”
”Kamu yakin dengan hal itu?”
”Aku juga tidak yakin, Kang”
” Keuttae (Lalu?)”
“Mungkin dia bosan padaku, Kang”
“Jawabanmu selalu mungkin dan mungkin. Itu artinya sesuatu yang belum pasti. Hanya praduga semata. Mengapa kamu tak bertanya langsung padanya. Kenapa kau putuskan aku? Begitu…”
“Aku sudah menayakannya, Kang. Dia bilang, kita sudah tidak ada kecocokan lagi”
“Apakah kamu merasakan hal itu. Bahwa benar diantara kalian sudah tak ada kecocokan lagi?”
“Aku merasa, kami baik-baik saja. Kalau tidak ada kecocokan, buat apa selama ini kami merajut kisah bersama. Mengapa baru sekarang dia mengatakan soal ketidakcocokan itu? Mengapa tidak dari awal saja. Supaya aku tidak berdarah-darah seperti ini karena ditinggalkannya”
“Kalau menurutku, itu hanya alasannya saja. Alasan supaya hubungan diantara kalian berakhir. Pada dasarnya, dia memutuskan hubungan denganmu, karena dia sudah bosan denganmu. Itu saja...”
Aku mengelus bahu Jin Wook. Menyalurkan kekuatan kepadanya. Dan melanjutkan kata-kataku.
”Dia telah merasakan segala apa yang ingin dia rasakan denganmu. Saat rasa itu telah habis. Ia ingin berhenti untuk merasa. Dan mencari rasa yang lainnya. Kalau diibaratkan kamu rasa melon, dia mungkin ingin rasa mangga, nanas, apel dan lain sebagainya. Yang mungkin, dia pikir dia bisa menemukan berbagai macam rasa itu pada diri orang lain”
“A, geurogunyo (Oh, begitu, ya). Tapi mengapa dia lakukan hal itu padaku, Kang? Mengapa dia mencampakkan aku begitu saja? Padahal aku adalah cowok setia. Tapi mengapa kesetiaanku dia lukai. Kepercayaanku dia hancurkan. Ketulusanku dia injak-injak”
Ia meradang. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh dengan tekanan.
Bulir bening menggenangi wajah putihnya. Ia terisak.
Ya, Tuhan. Please, jangan menangis. Aku paling nggak bisa menghadapi orang menangis.
“Jebal, uro hajima (Tolonglah, jangan menangis). Dangdanghake sarara (Kamu harus tegar, Jin Wook)”
Terbata-bata aku mengatakan kata-kata itu. Aku pikir kata-kata itu yang paling cocok untuk mewakili perasaanku. Menghiburnya.
“Mengapa dia lakukan hal itu padaku, Kang?”
Dia mengulangi lagi pertanyaannya itu. Tangannya sibuk menghapus air yang melelehi wajahnya.
Aku terdiam.
Tanganku sibuk mengelus-elus sampul novel yang tadi aku beli. Novel dari pengarang yang sedang berbicara di panggung utama sekarang.
”Neomu aphayo, Kang (Sakit sekali rasanya, Kang)”
Aku menghela nafasku perlahan.
”Aku mengerti. Tapi apapun alasan dia memutuskanmu. Yang jelas, sekarang dia sudah bersama dengan orang lain. Itu artinya, kamu juga harus belajar untuk melupakannya. Buat apa kamu memikirkan orang lain yang sudah tak memikirkanmu lagi. Rugi. Buang-buang waktu dan tenaga saja”
Aku mencoba memberi masukan padanya. Mungkin saja kata-kataku bisa menjadi penawar untuk hatinya. Yang terkontaminasi racun patah hati.
”Kalau dia tahu, kamu masih memikirkannya. Dan kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Dia pasti akan bahagia sekali. Karena ada manusia bodoh sepertimu. Yang masih memikirkannya sementara dia sudah tak ingin mengingatmu lagi”
”Geulseyo (Entahlah). Neomu phigonhaeseo iraeyo (Aku lelah sekali, Kang)”
”Keokjeongma, naega ittjanha, Jin Wook (Jangan khawatir, aku ada disampingmu, Jin Wook). Aku akan selalu menjadi sahabatmu. Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri dalam kesedihan ini”
Aku mengucapkan kata-kata itu seolah-olah sedang memainkan peran dalam drama kehidupan ini.
”Gomawo, Kang Dey (Terima kasih). Neomu kamkyeok haeso nunmuri nanda (Menyentuh banget, sampe mau nangis nih)”
Aku meringis.
”Nae seongjil geondeulijima (Jangan bikin aku grogi deh)”
Jin Wook mulai tersenyum kembali.
“Eottaeyo? Jigeum gwenchanayo? (Bagimana? Kamu sudah merasa baikan sekarng?)
“Ne, mani gwaencanajyeoseoyo (Ya, aku sudah jauh lebih baik)”
“Geurom dahaengiyeyo (Untunglah)”
Aku lega sekarang. Perasaan Jin Wook sudah jauh lebih baik sekarang.
Kami terus berbincang-bincang di atas tribun. Sementara itu kemeriahan pesta book fair masih berlangsung di bawah sana.
Balaraja, 15 Maret 2012

2 komentar:

  1. salam gan ...
    menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
    Tetaplah semangat memulai hal baru !
    di tunggu kunjungan balik.nya gan !

    BalasHapus