Kamis, 10 Desember 2009

Kau Yang Berani Mengambil keputusan

Apa kabar, sobat. Sudah lama ya, kita tak bersua. Bermula dari dimutasikannya dirimu oleh bosmu ke daerah lain. Dari situlah kita sudah jarang bertemu dan bersama-sama lagi untuk menghabiskan waktu yang terasa pendek, terutama kalau kita sudah mengobrol kesana-kemari. Membicarakan berbagai hal.
Mengapa tiba-tiba saja aku mengingatmu, setelah selama ini aku melupakanmu. Maafkan kata-kata di atas itu ya. Bukan maksudku benar-benar melupakanmu. Tapi kesibukanku sebagai penulis amatiran, membuatku harus selalu berkutat dengan komputer, kata-kata, ide cerita, media masa juga hunting keberbagai tempat untuk mendapatkan sekeping ide.
Karena kegemaranku pada menulis juga membaca membuatmu sering kali melontarkan kata-kata nyinyir penuh canda kepadaku.
Hobi membacaku misalnya, kau bilang aku si kutu kupret yang sering nyelip di buku. Dan kau katai aku si perpustakaan berjalan saat aku mengatakan berbagai hal dihadapanmu. Nyerocos tiada henti. Petasan kebakar katamu.
Kau juga mengatai aku pujangga kesasar karena ucapan-ucapanku yang seolah berpuisi. Dan untuk kegiatanku menulis kau katai aku, si usil pengorek-ngorek kehidupan orang lain. Karena setelah kau baca karya-karyaku terutama cerpen-cerpenku, kau baru ngeh ternyata aku selalu menjadikan cerita setiap curhatan orang lain kepadaku. Hanya saja dengan pintarnya aku membumbui cerita itu sehingga agak beda dengan versi yang diceritakan orang yang bersangkutan.
Dan kau salut juga kagum padaku, bukan. Betapa pandainya aku meracik semua itu.
Ah, mulai deh narsis. Kau katakan itu dengan sebal dan mimik wajah lucumu kalau aku sudah membanggakan diriku sendiri dihadapanmu. Hehe.
Namun jangan disangka kalau persahabatan kita baik-baik saja ya. Kita sering sekali berantem untuk hal-hal yang sepele dan nggak penting. Kau mau begini, aku mau begitu. Kau ingin ini, aku ingin itu. Ini itu-ini itu banyak sekali. Loh, itu kan lagu sountracknya Doraemon ya, hehe. Tapi bener kok, kita sering tak ketemu kata sepakat kecuali salah satu dari kita mengalah. Tapi kalau kita sudah keras kepala semua. Hasil akhirnya adalah diem-dieman alias tak bertegur sapa. Mogok bicara deh.
Kalau bukan kamu yang berbesar hati mendatangiku untuk mengajak baikan lagi, aku rasa kita tak akan pernah bersahabat selama ini bukan? Aku kan egois banget ya. Tapi kamu juga kok. Dan hanya kamu yang bisa menerima hal itu meski pada awalnya berat aku rasa. Tapi karena sudah terbiasa, kamu lama-lama kebal juga dengan virus errorku hehe.
Pada mulanya, aku akan menanggapimu dengan setengah hati, acuh tak acuh saja. Kamu pasti keki dan gondok banget ya. Tapi seriiring dengn bergulirnya cerita-cerita lucu berhamburan dari mulutmu itu maka lama-lama kekakuan itu pun mencair juga. Aku bisa langsung terkikik geli mendengar ocehan-ocehanmu yang selalu meninggalkan lengkung disetiap ujung kalimatmu. Lalu hati kita pun menyatu kembali. Akrab lagi. Bermain lagi. Entar marahan lagi hehe. Kayak anak kecil saja. Tapi itu dulu ya. Sekarang mah udah enggak lagi deh, malu sama anak-anak TK hehe.
Ah, lama juga ya kita tak bertemu. Aku jadi rindu kata-kata usilmu tentangku, Sobat. Namun seolah kau tau bahwa aku sedang merindukanmu, tiba-tiba saja selembar sms kau kirim padaku disaat aku sedang menulis tentangmu.
“Aslkm, pujangga tengil hehe. Kau harus datang kepernikahanku, ya. HARUS. Sebentar lagi juga surat undangan yang aku poskan akan menubrukmu hingga kau terjengkang jatuh karena terkejutnya dirimu. Wsslkm.
Aku benar-benar terkejut dengan sms yang kau kirimkan itu. Semula aku pikir kau hanya mencandaiku saja dengan sms isengmu itu. Karena memang itu hobimu. Mengerjaiku dengan canda-candamu yang nggak lucu. Tapi kok bisa ya membuatku tertawa? Namun, kedatangan surat undangan berwarna krem dengan tampilan yang begitu luxs dan elegan. Membuatku tak mampu berkata-kata. Asli bungkam.
Kau akan menikah. Aku benar-benar tak percaya. Perasaanku berbaur menjadi satu. Bahagia, sedih dll.
Kau yang selalu diejek orang dan diganggu orang hanya karena kau feminim akan menikah. Me-ni-kah. Luar biasa. Apa kata dunia tentang pernikahanmu itu ya?
Berbicara tentang feminim. Kita berdua selalu dianggap ‘twins’. Karena kita sama-sama feminim, kemayu, gemulai. Kemana-mana kita selalu bersama, sandal jepit saja tak bisa menyaingi kebersamaan kita selama ini. Bahkan kita sering dikatai “dua homo jadi satu”. Jahat sekali ya mereka itu. Tapi toh kita tak perduli dengan semua itu. Kita anggap semua itu sebagai angin lalu. Meski jauh didalam hati kita masing-masing, ada perih merajam. Mencabik-cabiknya hingga tak berdefinisi lagi.
Namun the so must go on. Kita hadapi semua itu dengan lapang dada. Menganggap itu hanya selingan dalam hidup yang tidak harus kita jadikan beban apa lagi masalah. Meski kita sama-sama tau, seringsek apa hati kita.
Bahkan kau sering menyengajakan apa yang mereka kata-katai pada kita. Dengan pedenya akan kau songsong pelecehan-pelecehan itu baik secara lisan maupun perbuatan.
Kamu ingat saat kita ke pasar bersama? Saat penjual daging yang bertelanjang dada ittu berbisik lirih pada kita.
“Mau nggak kalian bercinta dengan saya” ucapnya kurang ajar sambil tersenyum liar dan menjamah bokongmu.
Aku terkesiap atas ketidaksenonohannya itu. Mataku melotot dan tanganku sudah gatal untuk menampar mulut kurang ajar itu. Namun dengan santai dan senyum manismu, kau malah menyengajakannya. Mengikuti arus permainan yang dilakukan penjual daging itu. Yang tak akan pernah sanggup aku mainkan. Dalam drama apa pun meski bayarannya sepenuh bumi.
Dengan kerling dan senyum nakal seolah kau adalah pelacur murahan, seperti anggapannya. Kau berucap tak kalah lirih dan mesra darinya.
“Abang berani bayar saya berapa?” konyol sekali ucapanmu itu, Sobat. Aku tak menyangka kamu sanggup mengatakan itu dengan sempurna, seolah benar dirimu seperti itu.
Merasa kau tanggapi, Si Abang itu semakin berani. Merapatkan tubuhnya padamu dan menyebutkan sejumlah angka-angka.
“Aduh, maaf, Bang. Harga segitu mah hanya cukup untuk pemanasan doang…” ucapmu sambil tertawa sinis sambil menggaetku berlalu dari tempat itu. Meninggalkan penjual daging itu dengan sumpah serapah yang tak sedap didengar oleh yang namanya manusia.
Dan saat kita berjalan bersama hendak bermain. Kita sering sekali diteriaki bocah-bocah “bencong, banci, beti” dengan songongnya. Seolah kita dua orang gila yang bagusnya disorakin rame-rame. Tapi masih untung nggak disambitin pakai batu ya. Hehe.
Kalau kau sedang mood, kau biarkan saja mereka berteriak-teriak sesuka hati mereka, nanti juga berhenti sendiri, katamu. Padahal aku telah kepanasan. Ingin kutabokin mulut-mulut usil itu. Tapi kalau kau sedang angot. Kesel plus bete. Jangan ditanya deh. Kau akan datangi mereka. Menjambak rambut salah satu dari mereka sambil berseru dengan wajah sehitam jelaga.
“Awas, kalo berani-berani ngatain gue lagi. Gue gundulin lo, ngerti…” gertakmu dengan mata yang hampir meloncat keluar. Dan suara yang benar-benar laki. Membahana.
Bocah-bocah itu ketakutan hingga tanpa sadar salah satu dari mereka pipis dicelana. Bisa juga ya, kamu nakut-nakutin orang. Padahal aku yakin, kamu nggak akan sanggup melakukan hal itu. Kamu terlalu baik dan lembut untuk melakukan tindakan kriminil seperti itu. Boro-boro ngegundulin rambut orang, lihat uler melingker aja kamu udah ngibrit. Hehe…nggak ada hubungannya, ya.
“Hey, manis! Godain kita dong…”
Kata-kata ini begitu sering dilontarkan orang, terutama anak-anak muda yang sering nongkrong dipinggir jalan.
“Boleh…” tantangmu berani sambil mendekati anak-anak bragajul itu dengan santai. “Tapi kalau godaanmu nggak menggoda dan membuatku konak maka siap-siap aku tato bibirmu dengan puntung rokokmu itu” katamu gemulai tapi penuh penekanan.
Ah, lucunya dirimu. Aku sering ngakak kalau kau sudah berkata-kata. Namun masih ngakakan mereka saat mengata-ngatai namamu yang unik itu. Entah apa artinya. Dan apa maksud orang tuamu memberi nama itu. Dan kau tak pernah ambil pusing dengan asal-usul namamu itu.
“Masih mending gue dikasih nama Dey. Dari pada gue dipanggil hey, hey gitu”
Itu argumenmu selalu saat orang-orang menanyakan arti namamu yang unik itu dan hanya satu-satunya dijagat raya ini. Hehe.
Terlepas dari namamu yang unik itu kau orang yang paling lelaki yang aku kenal. Kita sering melakukan hal-hal yang menurut orang-orang tidak bisa kita lakukan. Memanjat pohon, mencangkul, bawa yang berat-berat dll. Juga naik motor vespa. Kita benar-benar menikmati hal-hal gila untuk membuktikan bahwa kita mampu melakukan hal-hal yang mereka sepelekan dari kita. Meskipun sebenarnya itu tidak perlu kita lakukan. Toh, kita tahu siapa diri kita.
“Tapi dunia perlu bukti, Dey” ucapmu bersungut-sungut. “Semua orang selalu menilai orang seperti kita miring bahkan sebelah mata. Seolah kita manusia berpenyakitan. Padahal nggak semua cowok yang gemulai dan lemah lembut itu lantas bencong dan penyuka sesama jenis. Contohnya kita. Kita ini laki-laki. Hanya casingnya aja yang cewek. Justru yang casingnya cowok, tapi dalamnya cewek banyak banget. Tapi mereka nggak pernah jadi sorotan. Giliran kita aja, kemana-mana pergi selalu saja menjadi sorotan bak selebritis. Capek deh!” semburmu geram.
Aku hanya mengangguk setuju. Itulah manusia disekitar kita, bukan?
Dan kembali ngomong-ngomong soal motor, kalau bukan karenamu, sampai saat ini kujamin aku tak akan pernah bisa dan berani mengendarai sepeda motor. Apalagi vespa yang berat dan besarnya nauzubillah itu.
Kamu benar-benar motivator aku.
Dan sekarang kau akan menikah. Aku sangat bahagia sekaligus salut atas keberanianmu memutuskan hal yang sangat-sangat aku takuti dalam kehidupanku. Menikah. Momok yang sangat menakutkan bagiku. A night mare for me. Tapi kau berani melakukannya.
Namun ternyata dugaanku salah. Seminggu menjelang hari H kau telpon aku. Dengan gugup dan terbata-bata kau berucap.
“Kalau undangan belom disebar, ingin rasanya aku lari keujung dunia untuk menyembunyikan diri dari pernikahan ini, Dey…”
Aku terkejut. “Kenapa? Please, jangan lakukan itu ya…” pintaku tak mengerti.
“Pernikahan ini terjadi karena kedua orang tuaku yang memaksanya. Sehingga aku minta bantuan teman dekatku di pabrik untuk mencarikanku wanita yang sudah siap menikah. Dan tak dinyana Allah mengabulkanya dengan mudah padaku. Seorang wanita sederhana bersedia menikah denganku. Tanpa memandang bagaimana aku, rupaku dan siapa aku. Yang diinginkannya adalah mengarungi mahligai pernikahan denganku. Menghabiskan sisa hidupnya denganku”
Memang. Kalau Allah telah berkehendak, siapa pun dan apa pun tak ada yang kuasa untuk menolaknya. Semoga Allah pun memudahkan pernikahanku kelak. Juga perjumpaanku dengan pendamping hidupku itu.
“Lalu mengapa kau tadi berbicara seperti itu” kataku heran.
“Aku juga nggak tau” ucapmu lemas.
“Apakah dia meragukanmu?”
“Sama sekali tidak”
“Lalu apalagi yang memberatkanmu. Kalau tak ada lagi yang harus kau risaukan”
“Aku takut, cemas…”
“Apa yang kau cemaskan?”
“Kalau kamu jadi aku, apa yang kamu cemaskan?” Kamu balik tanya.
“Kalau semuanya sudah oke. Nggak ada masalah baik dari pihak mempelai juga keluarganya. Aku rasa tak ada lagi yang harus kita cemaskan. Kita tinggal ijab kabul, lalu bereskan” ucapku menggampangkan. Padahal jauh di dalam hatiku, aku pun pasti ketakutan setengah mati dengan pernikahan itu. Kalau itu terjadi sekarang-sekarang ini padaku.
Apa yang kutau tentang pernikahan. Aku rasa aku tak punya bayangan apapun. Kecuali bahwa menikah itu sunah Rasul.
Dan kukatakan hal-hal yang baik saja padamu karena aku takut kamu ketakutan lalu pernikahanmu nggak jadi. Bisa berantakan dunia persilatan.
Jadi gampangkan berkata-kata itu, beda dengan pelaksanaannya. Anak TK juga bisa ngomong doang mah, but pelaksanaannya? Tak semua orang bisa melakukan apa yang dikatakan mulutnya.
“Begitu aja tanggapanmu, Dey” ucapmu tak puas.
“Lantas aku harus bicara apa lagi. Tinggal ijab kabul aja bereskan. Dan aku rasa ketakutan-ketakutanmu yang tak beralasan itu, pernah dialami juga oleh jutaan kaum Adam diseantero bumi ini. Pastilah semua juga merasakannya” ucapku semangat. Membesarkan hatinya.
“Tapi yang ini beda. Aku takut nggak bisa melakukannya” bisiknya lirih.
Aku tertawa sumbang. “Nggak lucu, ah. Kita sudah sering menonton film itu, membicarakannya dan teorinya juga udah ngelotok banget, aku rasa. Tinggal prakteknya aja kan” kataku sambil cengengesan.
“Kalau aku nggak bisa gimana? Aku akan malu sekali”
“Please deh. Aku yakin itu tak akan terjadi. Kalau pun, kalau pun itu terjadi, kamu kan bisa buat alesan. Lagi capek, misalnya. Jadi nggak usah dilanjutkan. Besok lagi saja. Aku rasa ia pasti mengerti” lagi-lagi aku sok tau dan sok bijak menasehatimu.
“Aku juga takut dikemudian hari dia malu berjalan denganku, malu mengakui aku sebagai suaminya. Dan yang paling parah, anak-anak yang dilahirkannya akan malu punya ayah seperti aku” cerocosnya getir dan berbalut putus asa.
“Trust me, itu nggak akan terjadi”
“Siapa bisa menjamin?”
“Aku sih nggak bisa menjamin. Karena aku belum menjalaninya. Tapi jalani aja deh. Mengalir seperti air. Yang terjadi. Terjadilah. Toh, itu baru ketakutan kamu aja. Yang belum tentu dikemudian hari akan kejadian” kembali aku menyemangatinya.
“Kalau terjadi?”
“Itu nasib yang harus kita jalani. Sementara itu biarkanlah semua berjalan apa adanya, oke?”
“Oke deh” ucapmu tak yakin.
Namun setelah seminggu lewat dan setelah pernikahanmu selesai dilangsungkan. Kau bilang berhasil melakukannya, meski nyaris gagal.
“Aku bahagia banget menikah. Kalau tau sebahagia ini, kenapa nggak sedari dulu aja aku menikah ya…” ucapmu cengengesan.
Aku tau kamu menggodaku dan memanasi aku supaya segera mengikuti jejakmu. Mengarungi bahtera rumah tangga.
Menurut pengakuan jujurmu, kau sangat bahagia memiliki istri seperti dia. Yang selalu mengerti kebutuhan-kebutuhanmu, sabar, penyayang, begitu mencintaimu dan ia begitu takut kehilanganmu. Dan kau begitu besar kepalanya kamu menyadari besarnya pengaruhmu itu kepadanya. Ada kebaganggaan tersendiri karena kau pun bisa berharga untuk seorang wanita. Kamu pikir selama ini, tak akan ada seorang wanita pun dibumi ini yang mau menghabiskan sisa hidupnya denganmu. Menjadi pendamping hidupmu. Karena kegemulaianmu itu.
Tapi syukurlah, apa yang kau pikirkan itu tidak terjadi bukan. Kau tau kenapa? Karena setiap manusia telah memiliki jodohnya masing-masing. Semua makhluk mempunyai pasangannya masing-masing. Namun semua tak semudah yang kita kira memang. Jodoh itu ada yang cepat datangnya ada juga yang terseok-seok, lamban dan tak menghiraukan kekahawatiran kita yang begitu takutnya dikatakan lapuk, tak laku dan jomblo forever.
Tinggal giliranku sekarang. Kapan ya, bidadari itu datang? Namun berpedoman pada kata Nabi bahwa laki-laki baik-baik untuk wanita baik-baik dan laki-laki buruk untuk laki-laki buruk juga. So aku nggak pernah mengkhawatirkan jodohku. Yang kukhawatirkan hanyalah bagaimana memantapkan hati ini agar ketakutan-ketakutan tak beralasan itu tak mencengkramku. Dan aku bisa say good bye pada ketakutan-ketakutan tak beralasan itu.
(Sebuah persembahan untuk seorang sahabat yang kini berbahagia dengan momongannya yang cantik, jadi ayah euy! Ternyata kamu bisa juga ya, jadi laki-laki, suami dan kini seorang ayah. Bravo! Doakan aku agar segera menyusulmu, ya…)
18 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar