Senin, 14 Desember 2009

Pasar Ceplak dan Perempuan itu

Hari ini adalah jadwal pasar Ceplak beroperasi. Dan itu artinya kemacetan. Bagaimana nggak macet coba, lha jalan sempit untuk dua arah itu dipadati oleh para pedagang yang menggelar dagangannya di bibir jalan.
Padahal pasar yang baik itu menurutku adanya di dalam los-los, berkapling dan bertenda. So nggak akan mengganggu arus lalu lintas deh.
Sebenarnya sih pemerintah daerah setempat udah menyediakan los-los itu. Tapi dengan dalih takut jualan mereka nggak laku karena letak los yang di dalam. Mereka membandel menggelar dagangannya dibibir jalan. Meski mereka kerap mengeluh macet akibat ulah mereka sendiri. Juga dagangan mereka sering harus diseret-seret, digulung-gulung saat truk-truk besar lewat. Otomatis dagangan mereka berceceran dan terinjak-injak pejalan kaki juga ban kendaraan. Sayangkan tuh dagangan, acak-acakan gak keruan. Nah loh, salah siapa coba?
Jalan sempit untuk dua arah, pedagang memadati bibir jalan berbaur dengan pembeli yang berjubel mengerumuni pedagang-pedagang untuk transaksi jual-beli. Ditambah pula pengendara sepeda motor terkadang mencaplok jatah dari arah sebaliknya. Macet. Padat. Merayap. Bising karena suara klakson bersahut-sahutan, tanda yang punya kendaraan-kendaraan itu nggak sabaran. Asap knalpot membumbung menyesaki pernafasan. Polusi.
Sampah berserakan dari penjual-penjual yang seenak perutnya membuang dagangan mereka yang udah busuk dan nggak layak jual ke jalanan. Tomat busuk, cabe busuk, kentang busuk, sayuran-sayuran busuk, ikan busuk dan juga jengkol busuk. Pokoknya yang busuk-busuk dan bau berkumpul menjadi satu. So bayangkan sendiri deh, apa hasil akhirnya. Becek pula. Eh, ada ojek pula, halah.
Pasar identik dengan banyak orang. Itu artinya kita harus rela berdesak-desakan. Nah, aku juga harus bersabar. Dan kesabaranku benar-benar teruji. Harus tetap tersenyum meski ujung sandal belakangku terinjak orang, masih untung aku nggak nyungsep. Paling banter oleng dan menabrak orang yang di depanku dengan imbalan aku dimarahi orang yang kutabrak itu tanpa memahami bahwa aku juga nggak sengaja menabraknya. Dan paling sial, sandalku putus. Dan harus kujinjing dengan wajah dongkol plus malu hati.
Harus tetap tersenyum meski bajuku ternoda bau anyir air ikan dari kantong plastik yang mereka jinjing. Dan masih banyak lagi hal-hal yang memuakkan terjadi di pasar, tapi sekali lagi, aku harus tetap tersenyum meski hatiku dongkol banget. Lha, gimana aku mo nyap-nyap coba. Yang nginjek aja ibu-ibu, berabe kan kalo dilawan. Tau sendiri bagaimana dasyatnya ibu-ibu kalo udah nyap-nyap kan. Gempa bumi yang ada. Hehe.
Bayangin aja, apa enaknya coba memasuki dunia seperti itu? Macet, bising, polusi, bau dan harus berdesak-desakan dengan kaum Hawa yang mendominasi. Dengan segala kecerewetannya. Dan berkolaborasi pula ama teriakan-teriakan dari para penjual supaya pembeli yang sering jual mahal mendekat hehe. Berisik. Gaduh. Benar-benar hanya ada tiga kata untuk semua itu, nggak nyaman banget.
Tapi dengan segala ketidaknyamanan itu, disitulah aku berada dan harus berbaur menjadi satu. Yup, ke pasar. Itu menjadi jatahku setiap hari pasar Ceplak, hari rabu dan minggu. Untuk belanja warung juga kebutuhan dapur.
“Kok laki-laki ke pasar sih?”
Pertanyaan basi yang ogah aku menjawabnya.
Aku terpaksa.
Kenapa terpaksa?
Ya, iyalah terpaksa. Bagaimana nggak terpaksa coba, aku kan paling nggak tahan dengan aroma-aroma nggak sedap yang seperti aku sebutkan di atas juga kesemrawutannya dan kebisingannya itu. Juga malu saat bertemu dengan teman-teman cewek saat sekolah SLTP dulu. Tau kalo aku sekolah tinggi-tinggi, taunya cuma rajin masuk pasar bukan masuk kantor hehe.
Terus kenapa masih dilakukan juga kalau memang nggak nyaman, malu dan terpaksa?
Ya, mau bagaimana lagi? Emak udah tua dan kakinya sudah nggak kuat lagi untuk berputar-putar di pasar untuk mencari, memilih juga menawar apa yang akan dibeli untuk keperluan di rumah.
Belum lagi kalau Emak ke pasar pasti ada aja embel-embel yang nggak enak. Saat ia pulang dari pasar ia akan mengomel panjang banget. Sepanjang jalan Tangerang-Purbalinggo. Tentang belanjaannya yang sering banget ketinggalan entah dimana rimbanya.
Dan seringnya aku yang mendapat jatah untuk menyisir pasar agar belanjaan yang sudah dibeli itu nggak sia-sia. Bertanya kesana kemari seperti orang dungu menanyakan apakah mereka melihat ini dan itu yang tertinggal. Dan hasilnya kafiran banget coz tuh barang udah raib entah kemana. Benar-benar gak ada jejaknya.
Jadi dari pada kejadian itu terus berulang dan membuatku stress, mendingan aku aja deh yang ke pasar dengan resiko menghadapi ketidaknyamanan itu. Dengan tabah, sabar dan lapang dada. Karena memang nggak ada pilihan lain. Duh, kesannya teraniaya sekali ya hehe.
Ya, sudahlah. Mungkin itu memang jatahku dalam kancah drama kehidupan ini. Harus memerankan tokoh laki-laki yang harus ke pasar meski dengan ketidaknyamanan.
Ditambah pula aku femi. Udah deh jadi sasaran empuk ledekan abang-abang yang jualan. Suaraku juga kan lembut banget, kain sutra aja kalah lembut. Halah. Yang ada aku sering banget dipanggil “Mbak, atau Neng”. Duh, teganya. Gak liat apa, jakun plus jenggotku yang kiwir-kiwir? Seenak udelnya aja panggil-panggil orang.
But, sutralah…casingku emang begini. Mo difermak kayak levis ups salah, kayak laki-laki sejati juga gak bisa.Emang udah jatah dari sononya kayak gini, mo gimana lagi. Ya udah deh, terima nasib aja jadi bahan tertawaan, senyum mengejek plus lirikan laki-laki jalang. Yang doyannya laki juga. Hehe.
Balik ke pasar lagi. Tapi jangan salah loh, di pasar ternyata nggak melulu adanya ketidaknyamanan. Ada juga hal-hal yang menarik juga lucu dari banyak karakter orang. Dan pada hari ini aku punya cerita yang menarik tentang kejadian yang terjadi di pasar. Dan kejadian ini bisa aku bawa pulang dan aku simpan sebagai bahan pembelajaran.
Saat aku sedang membeli kelapa yang sedang (tua nggak, muda banget juga nggak) untuk urap. Karena menu hari ini ingin membuat urap. Dan diantara kelapa-kelapa yang sudah dikupas itu nggak ada satu pun kelapa yang memenuhi kualifikasi kelapa yang layak untuk urap. Sehingga penjualnya berinisiatif untuk mengupaskan kelapa yang dianggap memenuhi standar kelayakan yang aku butuhkan itu. Halah, bahasanya baku banget hehe.
“Mang, minta tali itu dong…”
Seorang perempuan kira-kira berumur dua puluh enam tahunan dengan rambut dikucir kuda, tiba-tiba merangsek kearahku, menunjuk tali rapia berwarna biru yang teronggok didekat kelapa-kelapa yang masih belum dikupas. Ditangan sebelah kanannya ada karung belanjaan yang perlu diikat.
Penjual kelapa itu dengan wajah datar-datar aja, menghentikan pekerjaannya. Menjamah tali itu.
“Wah, ini mah talinya terlalu pendek…” mungkin itu yang ada dibenak penjual kelapa itu. Karena tiba-tiba saja ia membuang tali itu dan beranjak pergi.
Wajah perempuan disebelahku itu langsung berubah. Ia membuang mukanya. Di wajahnya ada bauran antara kecewa, marah juga sedih. Matanya berkaca-kaca. Lha, wong minta tali sepotong aja pelitnya minta ampun. Mungkin itu yang ada dipikirannya.
Nggak lama kemudian penjual kelapa tadi balik lagi sambil membawa seutas tali rapia berwarna abu-abu yang lumayan panjang. Yang ia rasa cukup pas untuk mengikat karung itu. Rupanya ia meminta seutas tali pada tukang pisang disebelahnya.
“Ini, Teh talinya…” penjual kelapa itu menyodorkan tali rapia yang dipegangnya pada perempuan yang ternyata masih ada disebelahku, hanya bergeser menjauh beberapa langkah saja. Kirain aku udah pergi.
“Nggak usah. Saya nggak butuh lagi…” timpalnya dengan ketus dan wajah muram.
Penjual kelapa itu mengedikkan bahunya. Nggak ngerti dengan sikap perempuan itu. Dikasih yang bagus kok, nggak mau.
Aku yang menyaksikan penjual kelapa yang akan berbuat baik itu ngerasa sebal dan gemas banget ama perempuan itu. Ia terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Langsung men-judge penjual itu pelit, lalu ia marah dan berpaling. Sehingga ia nggak ngeliat kebaikan yang akan dilakukan penjual kelapa itu.
Dan saat aku akan beranjak dari tempat itu karena kelapa yang kubutuhkan sudah kudapat. Aku melihat perempuan tadi akan naik angkot dengan karung ditangannya. Dan tiba-tiba aja karung itu merosot dan dagangannya pun berhamburan. Sumpah serapah berhamburan dari bibir tipisnya.
Aku miris melihatnya. Kuurut perlahan dadaku seraya berujar dalam hati. “Coba nggak pundungan (cepat tersinggung), belanjaannya pasti nggak akan berantakan seperti itu…”
Aku tercekat. Apa hakku men-judge perempuan itu? Bukankah dulu aku juga seperti itu? Pundungan.
Sekarang juga masih, walau kadarnya agak sedikit berkurang seiring dengan kedewasaanku yang semakin bertambah. Sehingga bersikap arif dan bijaksana sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dan kasus belanjaan berantakan perempuan itu nggak akan terjadi, kalau kita nggak mudah tersinggung. Karena kadang apa yang kita anggap nggak baik, ternyata bisa jadi ia jauh lebih baik dari apa yang kita perkirakan.
Jadi saat aku pulang dengan naik becak. Angin pagi dihari yang mendung itu membelaiku. Mengantarkan pesan padaku agar aku selalu bersikap bijak dalam menghadapi setiap kejadian yang menghampiriku. Juga harus segera kubuang rasa maluku juga rasa terpaksa yang menggayutiku saat aku akan melangkah ke pasar. Itu kan ibadah juga, meringkankan pekerjaan Emakku.
So, ke pasar? Siapa takut…!!!
Rabu, 07 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar