Kau datang padaku setelah hitungan bulan kita tak bertemu. Aku pikir kamu akan memelukku erat. Untuk menuntaskan kerinduan. Namun, tak kusangka kau bersikap ala kadarnya. Menjaga jarak, seolah aku orang yang baru kamu kenal. Ada apa denganmu?
Wajahmu tak bercahaya lagi. Sebagai gantinya terpajang wajah kusut, kusam dan seperti menyimpan was-was akan suatu hal. Tak ada lagi wajah imutmu yang berseri. Aku merasa kehilanganmu yang dahulu. Kamu yang aku kenal.
Apakah kau terpaksa datang ke rumahku, mengingat akulah yang memaksamu datang? Atau karena kondisi tubuhmu yang sedang tidak fit hingga kau bersikap seperti itu. Memang sih aku sudah biasa dengan sikap anehmu itu, karena kalau tidak bersikap aneh, itu artinya bukan kamu. Itu stempel yang telah terpasang diwajahmu. Unsociable.
Entahlah. Sometime, I didn’t understand you.I cannot fathom your mind.
“Aku benci sekali sama dia, Dey. Kebencianku sepenuh bumi. Ia begitu nista dan menjijikkan. Dia bajingan tengik. Aku muak padanya, Dey. Ingin aku hancurkan dan kurobek-robek wajah yang sok baik itu. Ingin kuhancurkan dia hingga menyerpih” semburmu dengan nafas memburu.
Aku terperangah. Tak percaya dengan pendengaranku. Kutatap wajahmu yang mengeras. Dipenuhi guratan kebencian yang tak kau tutupi, untuk dia yang kau benci. Tanganmu tanpa sadar terkepal kuat. Andai ia ada dihadapanmu, mungkin kepalan itu mampu merontokkan semua gigi-gigi utuhnya.
“Boleh tau kenapa?” tanyaku halus.
Berusaha menyelami kedalaman jiwamu. Kamu yang sangat irit bicara itu tiba-tiba saja obral bicara. Bahkan diskon gede-gedean. Memuntahkan uneg-uneg yang bercokol dibatok kepalamu. Kata-katamu meluncur deras. Seolah air dalam tempayan yang dicabut sumbatannya.
Aku agak bergidik menyaksikan sisi lain dari dirimu yang berbeda dari yang kukenal. Kamu yang lembut meski terbungkus oleh tampilan wajahmu yang datar, kaku dan dingin. Ucapan-ucapan wise-mu yang membuatmu terlihat dewasa. Meski usiamu jauh dibawahku. Aku kadang salut pada kedewasaanmu itu. Tapi kini kau berubah menjadi sosok yang menyeramkan meski tanpa taring, dua tanduk juga asap yang menyelubungimu.
Semburan emosimu itu berangkat dari persoalan yang membelit keluargamu. Masalah yang telah mencapai titik puncak kesabaranmu hingga menyedotmu habis dirimu. Lungkrah. Kau marah. Kau kolaps. Kau benar-benar tak terkendali.
Nasehatku sama sekali tak berguna bagimu. Kedatanganmu kali ini bukan untuk meminta saran atau nasehat tapi untuk menumpahkan semua yang bertahta dalam gelora dadamu yang membara. Membuncah. Bak lelehan lava gunung berapi.
Dan kali ini aku hanya cukup menjadi pendengarmu saja.
Baru kusadari kini, mengapa sinar wajahmu meredup. Hatimu dipenuhi oleh dendam dan kebencian. Hatiku sakit melihatnya. Perih menoreh geronggang jiwaku. Saat kulihat galur kesedihan yang panjang membentang dalam kejoramu. Ingin sekali kurengkuh kau dalam pelukku agar galau dalam dirimu juga beban dihatimu bisa sedikit berpindah padaku. Tapi sepertinya kau enggan kusentuh.
Kebisuan melanda kita. Hanya alunan nasyid dari winampku terdengar lirih.
“Gimana hubunganmu dengan…” kau sebut nama gadis yang akhir-akhir ini dekat denganku. Merubah topik pembicaraan. Menatapku dengan hampa.
Banyak teman-teman kita yang tak nyaman dengan tatapanmu itu. Tatapanmu itu begitu dingin dan tak bersahabat. “Heran, kamu bisa tahan dengannya, Dey” selalu itu yang teman-teman kita kumandangkan saat melihat kebersamaan diantara kita.
Wajar aku rasa mereka berkata seperti itu. Karena casingmu memang seperti itu. Dingin. Cuek. Mereka tak mampu menyelami dan memahami sifat juga karaktermu yang seperti itu. Mereka sulit memahamimu. Menerjemahkan gerak tubuhmu. Aku saja masih belajar terus untuk memahamimu. Agar persahabatan ini tidak kandas. Meski aku harus banyak mengorbankan perasaanku.
“Masih. Kemarin kami habis jalan-jalan ke toko buku.”
“Oh, sekarang kamu sudah berani copy darat sama dia ya, Dey. Interaksinya udah nggak sekedar melalui telpon dan sms dong” suaramu mengandung ketidaksukaan mendengar kebersamaan diantara kami. Dan itu tak kau tutupi.
Aku mengangguk. “Aku tau dalam pandangan Islam itu disebutnya berkhalwat-berdua-duan dengan non-mahrom. Dan itu nggak diperbolehkan. Tapi toh aku jalan bareng juga. Mengapa? Karena aku jalan berdua denganya bukan ke tempat sepi (always in crowded place), tidak mojok berduaan atau bergandengan tangan. Sama sekali tidak. We just go for a walk together. That all. Kami jalan dan mengobrol pun memakai jarak, not too closed” aku berargumen.
“Itu pembenaran diri atau apa?” ucapmu pelan tapi penuh penekanan, menyindirku.
Aku tersenyum. “Bisa jadi” jawabku singkat malas berdebat. “Semua perbuatan kembali pada niatnya bukan? Niatku dan dia spending time together hanya untuk menjajagi karakter dan kepribadian kami masing-masing”
“Pacaran dong, Dey”
Aku nyengir. “Aku nggak tau hubungan yang kami jalani itu judulnya apa. Disebut pacaran juga nggak tepat, aku rasa. Coz kami nggak melakukan hal-hal yang biasa dilakukan dua sejoli yang sedang memadu kasih. We just friend. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan dan kedekatan kami”
“Mula-mula memang berteman, Dey. Tapi dengan intensitas pertemuan kalian, apa nggak mungkin lama kelamaan kalian akan falling in love. Turning a friend into a lover…”
Aku tertawa.
“Imposible banget dua orang berlainan jenis bersama-sama dengan intens, tapi nggak ada sesuatu di dalam hatinya” lanjutmu getas.
“Aku nggak memungkiri perasaan itu. Di dalam hati kami masing-masing telah tumbuh persaaan-perasaan yang nggak bisa dijabarkan dengan kata-kata, because complicated. Cukup kami berdua saja yang merasakannya” aku sok berfilsafat.
“Bukannya kamu dulu kamu sering sesumbar, kalau kamu benci sekali saat melihat dua orang berlainan jenis jalan berdua, terutama yang berartribut muslim?”
“Sekarang pun masih…” jawabku santai.
Kamu melongo. “Tapi kamu sekarang melakukannya. Lantas apa bedanya kamu dengan mereka?” cecarmu getas.
“Of course different, Bro. Mereka yang kubenci itu, yang jalan barengnya pakai gandengan tangan, rangkulan, pelukan, ciuman naudzubillah. Aku benci sekali itu. Tapi selama jalannya mereka just go for a walk together, without do negarif something, bagiku pribadi nggak ada masalah. Meski dalam pandangan Islam itu tetep salah. Dan nggak boleh. Karena essensinya tetep aja jalan berduan dengan non-mahrom”
“Berarti kamu menentang ajaran Islam dong”
“Sembarangan. Nggak segitunya kali. Aku nggak berani. Selama jalannya aku dengan non-mahrom bukan dalam rangka maksiat, ya udah aku jalan deh sama dia. Tapi kamu jangan ikut-ikutan ya, that not good idea”
Kamu mendesis. “Siapa juga yang mo ngikutin kamu” kau memalingkan wajahmu. “Kata kamu setan itu dekat sekali dengan kita, ia berada dipembuluh nadi darah kita”
“Memang. That true. Banyak hal-hal negarif yang dilakukan dua sejoli saat mereka bersama. Karena memang pada dasarnya tujuan mereka hang out bareng itu ya emang untuk berasyik masyuk. Berarti mereka memang dengan sendirinya mengundang setan. Orang nggak diundang aja dia datang sendiri, saat dua orang berlainan jenis berduaan. Tapi aku mah beda. Jalan ya jalan. Ngobrol ya ngobrol. Tanpa embel-embel lainnya. No touch. No hug. No kiss. No face to face.”
“Tapi sesekali mah pengen kali kamu ngapain gitu”
“Kalau ngapain gitu yang kamu maksud adalah touch hand her, of course pengen lah. Normal kali. But you believe or not, aku nggak melakukannya. Aku menahan diri untuk melakukan hal itu. Dia belum halal untukku. So I’m not brave”
“Udah tau belom halal, ngapain juga kamu jalan bareng dia” ujarmu sengit.
Aku tertawa melihat wajah sewotmu itu. Lucu banget. “Capeek deeh. Kok ya jadi balik kesono lagi-kesono lagi sih. Iya aku tau , aku salah. Dan kamu bermaksud baik nasehatin aku. Tapi ya itu tadi, selama jalannya nggak ngapa-ngapain, aku akan tetep jalan sama doi…” aku keukeuh.
Kamu mendengus. “Dasar headstone. Bukan ngasih contoh yang baik buatku, ini malah error”
“I don’t give a darn” jawabku cuek.
Itu percakapan yang berlangsung beberapa bulan yang lalu. Dan baru beberapa hari yang lalu aku melihatmu berjalan berdua dengan seseorang. I saw it with my own two eyes.
Aku shock banget. Perih merambati jiwaku. Seperti ada yang meremas-remas perutku.
Kamu yang selama ini saklek dalam memahami berbagai hal. Tiba-tiba saja melakukan apa-apa yang kamu anggap tabu. Tak boleh. Haram. Seperti lontaran-lontaran pedasmu yang selalu kau alamatkan kepadaku.
Waktu itu aku benar-benar tak mempercayai penglihatanku. Tapi benar itu kamu. Setelah benar bahwa mata ini tak berdusta.
Ingin aku tanyakan kebenaran itu padamu langsung. Tapi aku tak berani. Aku tak ingin menyakiti perasaanmu. Dengan mengorek-orek kehidupan pribadimu. Aku ingin kamu sendiri yang menceritakan semua yang kulihat itu dengan mulutmu. Penglihatanku itu benar dan diperkuat oleh cerita seseorang yang ucapannya aku percayai keabsahannya.
Pertanyaan yang ingin kuajukan itu bukan untuk menghakimimu, karena aku pun tak jauh lebih baik darimu. Aku hanya ingin tau mengapa selama ini kau tak jujur padaku. Bukankah aku selalu berbagi cerita denganmu. Meski ada satu dua hal yang aku tutupi darimu. Tapi intinya aku selalu cerita padamu.
Dan kini kau bersikap tak jujur padaku. Untuk urusan yang selama ini kau anggap tabu. Aku tertipu. Hatiku pilu. Kelu. Dan tak menentu.
Sekarang apa bedanya kau denganku? Kemana prinsip yang selalu kau pegang erat itu?
Nevertheless, aku masih berharap kamu bukan orang yang menganut prinsip ‘other time other ways’
Meski kini, aku kehilanganmu, sahabat…! Kehilanganmu yang dahulu.
Senin, 05 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar